Dunia bisnis di era konektivitas global digital saat ini menghadapi tantangan yang semakin besar. Tantangan itu utamanya disebabkan oleh perubahan situasi pasar yang terjadi jauh lebih cepat dan lebih acak sehingga kondisi masa depan menjadi semakin sulit diprediksi. Dalam disiplin ilmu manajemen strategis, fenomena lingkungan bisnis seperti ini kerap disebut sebagai VUCA, yaitu akronim dari volatility (kebergejolakan), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kerumitan), dan ambiguity (kegalauan). Istilah ini awalnya muncul di kalangan militer pasca era Perang Dingin. Ketika itu, negara-negara besar di dunia relatif dapat dikelompokkan ke dalam salah satu dari tiga kubu, yaitu blok barat, blok timur, dan nonblok. Ketika Perang Dingin berakhir, kondisi geopolitik dunia berubah, kubu kawan dan lawan semakin sulit diidentifikasi. Istilah VUCA menjadi lebih populer ketika digunakan oleh tentara AS untuk menggambarkan situasi konflik di Afghanistan, Irak, dan Suriah.
Kondisi VUCA saat ini banyak dihadapi oleh para CEO, karena itu mereka dituntut untuk lebih mampu membaca apa yang terjadi di pasar akibat interaksi dan saling kait (interplay) yang semakin kuat antara faktor politik, ekonomi, teknologi, sosial, regulasi, dan lingkungan hidup. Diperlukan sebuah transisi paradigma dan perilaku pimpinan organisasi yang sebelumnya lebih berfokus pada pemecahan masalah, proyeksi pertumbuhan sesuai target yang ditetapkan pemilik perusahaan, dan perencanaan strategis komprehensif, menjadi bergeser fokusnya lebih ke pembingkaian masalah (problem framing), simulasi-simulasi situasi yang mungkin terjadi berikut upaya pengurangan risikonya dan pendekatan strategi adaptif yang lincah (agile) menyikapi perkembangan di pasar. Perbandingan antara paradigma komprehensif dan pendekatan adaptif dapat diilustrasikan seperti pada grafik.
Dalam paradigma komprehensif, sebuah rencana strategis terdiri dari tiga bagian utama yang statis dan linear sifatnya, yaitu analisis posisi perusahaan saat ini, posisi yang diinginkan di masa depan, dan rencana kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai posisi masa depan tersebut. Sedangkan dalam paradigma adaptif, masa depan diyakini sulit diprediksi karena lingkungan bersifat VUCA, posisi perusahaan di masa depan pun menjadi tidak bisa dipastikan akan mampu berada di titik tertentu sesuai tujuan awal, sehingga dari posisi saat ini, perlu simulasi-simulasi situasi yang mungkin dihadapi, mitigasi risiko, dan bagaimana rencana perusahaan menghadapi situasi-situasi tersebut dengan lebih lincah.
Dalam tulisannya, Prof. Mike Wade dari IMD bahkan secara provokatif mengatakan bahwa perusahaan harus segera forget strategy, embrace agility. Tentu maksudnya bukan berarti perusahaan jadi berjalan tanpa arah karena tidak ada strategi, tetapi perusahaan harus lebih lincah, tidak kaku, dan siap menyesuaikan rancangan strateginya saat dibutuhkan. Sebagai contoh, jika kita lihat dokumen rencana strategis perusahaan taksi konvensional atau perusahaan ritel elektronik empat tahun yang lalu, apakah mereka sudah mengantisipasi datangnya pemain taksi berbasis aplikasi daring dan marketplace ritel yang mampu merajai pasar seperti saat ini? Kemungkinan besar belum.
Apakah ada yang menyangka bahwa layanan antaran makanan yang bertahun-tahun didominasi oleh 3 pemain besar seperti McDonald’s, Hoka-Hoka Bento, dan Pizza Hut dalam hitungan 2 tahun berkurang drastis dominasinya karena layanan Go Food dari Gojek yang tiba-tiba membuka peluang restoran kecil untuk juga mampu mencapai pintu rumah pelanggannya? Sebuah pernyataan dari CIO Manulife, Joe Cooper, menggambarkan semakin tidak bisanya masa lalu menjadi basis untuk melakukan prediksi masa depan. ”In the 21st Century, everything about the past is more and more Google-able, while prediction about the future is more and more unknowable. Thus, agility will replace strategy.”
Asnan Furinto
Marketing Scientist
Dosen Program DRM Bina Nusantara University
MM.09.2017/W