Dari Pemain Menjadi Pelatih

Waralaba menjadi strategi marketing untuk membuat ekuitas merek meningkat dan penetrasi pasar berjalan cepat. Namun ketika memutuskan mewaralabakan merek Anda, maka karakter Anda pun harus berubah.

Di zaman serba instan ini, banyak orang ingin cepat mengembangkan usaha dengan sedikit mengeluarkan keringat untuk membangun merek. Sebaliknya, banyak pula pemilik merek yang ingin cepat membangun merek dengan mengurangi usaha membangun merek sendirian.

Untuk menjawab keduanya, waralaba bisa menjadi salah satu pilihan. Selama tiga dekade terakhir, waralaba memang menjadi salah satu strategi marketing populer yang bertujuan memperbesar penjualan secara cepat. Lebih dari 50% penjualan ritel di Amerika Serikat bahkan berasal dari waralaba. Itulah sebabnya banyak pemilik merek kemudian bernafsu untuk mendapatkan keuntungan cepat melalui waralaba.

Akibatnya, banyak merek kemudian mencoba membangun bisnis waralaba secara prematur. Kadang kala juga sekadar menyewa konsultan untuk membuat sistem prosedur operasional tanpa persiapan yang memadai. Konsep ini kemudian dijual kepada pihak-pihak yang juga sedang senang-senangnya berwaralaba. Akibatnya, satu-persatu jaringan merek ini pun berguguran dan justru menciptakan kerugian.

Tidak semua bisnis bisa diwaralabakan, dan sebaliknya, waralaba bukan satu-satunya cara sukses berbisnis. Teori marketing sering menempatkan waralaba sebagai bagian dari strategi distribusi. Sementara pengusaha kecil dan menengah justru menempatkannya sebagai strategi bisnis perusahaan.

Ada beberapa alasan sebuah merek ingin menjalankan waralaba. Biasanya, merek tersebut ingin memperbesar brand equity dan market share secara cepat. Di sisi lain, perusahaan juga ingin mencapai skala ekonomis dan efisiensi dalam operasional. Maksudnya, dengan luasnya jaringan waralaba membuat produksi bisa meningkat dan akibatnya menurunkan biaya produksi (skala ekonomis) serta meningkatkan margin per unit.

Selain itu, dengan menggandeng pihak lain, diharapkan bisa membantu operasional perusahaan, karena ada pihak lain yang membantu dan sharing risiko dalam membangun jaringan distribusi. Keuntungan lain, penetrasi produk pun menjadi lebih aman karena adanya jaringan distribusi yang dibangun sendiri.

Namun demikian, berbeda dibandingkan membangun jaringan sendiri, pada saat membangun waralaba maka paradigma perusahaan harus berubah. Artinya, perusahaan harus berubah dari seorang pemain (player) menjadi pelatih (coach). Ibaratnya, jika dahulu terbiasa membawa bola sendiri ke gawang lawan, kini harus membuat pemain bisa membawa bola itu ke gawang lawan.

Tentu saja diperlukan strategi khusus dalam mengenali medan pertempuran, memilih partner dalam mengembangkan waralaba, dan juga melakukan pelatihan dan pengembangan.

Strategi mengenali medan pertempuran bisa diartikan sebagai pencarian lokasi yang tepat. Distribusi yang sukses tentunya menyangkut ketepatan membangun saluran yang tepat pada target pasar yang membutuhkan. Lokasi yang benar-benar tepat adalah sebuah keputusan penting, manakala jaringan ritel dibangun. Campur tangan pemilik merek dalam pemilihan lokasi sering kali harus terjadi untuk memastikan bahwa lokasi tersebut benar-benar layak.

Peritel yang kuat seperti Alfamart dan Indomaret kadang-kadang memilih lokasi waralaba sebagai bagian dari strategi mengepung pasar atau menyerang lawan. Tak mengherankan jika sering dijumpai Alfamart dan Indomaret saling berdampingan dalam jarak tak sampai 200 meter. Tapi sebagai pemilik merek, jangan juga mengikuti cara-cara seperti itu karena bisa jadi berbahaya untuk Anda. Kesalahan memilih lokasi juga diakui oleh pemegang merek restoran pizza Papa Ron’s. Cukup banyak gerainya yang harus tutup karena lokasi yang tidak tepat atau persaingan di daerah tersebut yang tidak sanggup dihadapi.

Manajemen Buruk

Namun, yang tak kalah berbahayanya dalam meruntuhkan jaringan waralaba adalah kemampuan manajemen yang buruk. Membangun waralaba bukannya sekadar bermodal “dengkul”. Dibutuhkan modal yang cukup untuk membangun sistem, tim, dan pemasaran. Juga modal yang cukup untuk me-launching jaringan baru, baik di awal maupun pada saat beroperasi.

Hubungan yang buruk antara pemilik/pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee) biasanya terjadi karena kurangnya dukungan dari si franchisor sementara franchisee-nya pun merasa cuek karena merasa didukung oleh franchisor. Dukungan yang buruk bisa juga soal supply resources yang tidak memadai, akibatnya franchisee menjalankan bisnis dengan kekuatannya sendiri.

Di samping itu, memilih partner waralaba juga harus benar-benar selektif, tidak sekadar berkantong tebal. Biasanya investor (franchisee) yang terlalu kakap justru cenderung tidak peduli dan kurang mau “turun ke bawah”. Karakter dari si franchisee jauh lebih penting, artinya si franchisee harus benar-benar memiliki karakter yang sesuai dengan waralaba yang dijalankan.

Manajemen yang buruk juga bisa menyangkut sumber daya manusia. Artinya, tidak ada manajemen yang kuat di sisi internal yang mengurusi segala hal yang menyangkut waralaba. Juga struktur dan program pelatihan yang komprehensif kepada pihak eksternal.

Franchisor besar yang sukses umumnya memiliki training center dan program pelatihan untuk menyalurkan sumber daya yang sudah siap pakai. Seperti Rudi Hadisuwarno, pemain salon ini memiliki training center dan jadwal-jadwal pelatihan yang ketat.

Strategi Marketing Tetap Ada

Tentunya yang tak kalah penting dalam membuat waralaba adalah perencanaan pemasaran (marketing plan) dan strategi yang tepat. Sama dengan membangun jalur distribusi lewat pihak ketiga, support dari si prinsipal dalam hal program-program promosi tentunya sangat dibutuhkan. Kalau tidak, produk Anda pun hanya mati di tangan distributor Anda.

Dalam hal produk, Anda harus memperhatikan life cycle produk demi kelangsungan jangka panjang. Inovasi, pengembangan produk, sampai penyegaran (rejuvenasi) produk dan merek harus menjadi bagian dari strategi waralaba. Demikian pula kebijakan harga, seperti diskriminasi dan diferensiasi harga, sampai sales promotion harus dibuat perencanaan yang matang.

Jangan pernah pula berpikir bahwa partner waralaba Anda secara otomatis akan melakukan kampanye sendiri untuk keberhasilan outlet mereka. Umumnya, franchisee adalah pemilik modal yang cuma berpikir tentang bagaimana modal mereka bisa berputar dan menghasilkan keuntungan. Mereka bukanlah marketer produk Anda, oleh karenanya mereka membutuhkan dukungan yang komprehensif dalam hal komunikasi. Mulai dari iklan, event, sampai public relations.

Bagaimanapun, pada akhirnya waralaba hanyalah menjadi manajemen saluran distribusi agar produk atau jasa Anda mencapai target yang diharapkan. Di balik itu, perlu ada strategi pemasaran yang kreatif agar produk dan jasa Anda tetap menghasilkan penjualan yang baik. Kalau tidak, lama-kelamaan produk dan jasa Anda pun akan hilang dari pasaran. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.