Marketing.co.id – Berita Marketing | Di tengah geliat energi terbarukan, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) menghadirkan inovasi yang tak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menyentuh langsung sektor pangan. Melalui pemanfaatan silika, produk sampingan dari panas bumi, PGE bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan booster pertanian bernama Katrili, yang kini mulai membawa harapan baru bagi petani lokal di Lahendong, Sulawesi Utara.
Berada di wilayah Cincin Api Pasifik, Indonesia menyimpan sekitar 40 persen potensi panas bumi dunia. Selama ini, sumber daya tersebut dimanfaatkan untuk energi listrik bersih. Namun, PGE melihat peluang yang lebih besar dengan menjadikan limbah panas bumi sebagai pupuk berkelanjutan.
“Di Lahendong, banyak masyarakat bergantung pada pertanian. Kami ingin memberikan kontribusi nyata lewat pemanfaatan panas bumi, bukan hanya sebagai sumber energi, tapi juga sebagai penopang sektor lain,” ujar General Manager PGE Area Lahendong, Novi Purwono.
Kolaborasi Berbasis Riset
Kisah booster Katrili dimulai dari inisiatif riset di masa pandemi 2020. Pri Utami, ahli panas bumi dari Departemen Teknik Geologi UGM, menganalisis sampel produksi panas bumi dari Wilayah Kerja PGE. Hasilnya mengejutkan, kandungan silika tinggi dan komposisi mineral yang menyerupai abu vulkanik memunculkan ide menjadikannya pupuk.
Tak sendiri, Pri menggandeng Ronny Martien dari Fakultas Farmasi UGM, yang merupakan ahli nanoteknologi, untuk mengembangkan booster berbasis silika tersebut. Hasilnya adalah Katrili, sebuah booster alami yang mampu meningkatkan ketahanan dan kualitas tanaman.
Namun, tantangan datang saat implementasi. Ngadisih dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM menyebut bahwa Katrili berbeda dari pupuk biasa. Oleh karena itu, perlu edukasi dan pendampingan agar petani memahami cara pakainya. Seperti halnya obat yang harus digunakan dengan dosis tepat.
Pendekatan partisipatif dan pelatihan langsung diterapkan PGE dan UGM ke para petani. Bahkan, mahasiswa UGM turut menyosialisasikan Katrili lewat program KKN ke wilayah lain seperti Wonosobo dan Magelang.
Limbah Jadi Solusi
Katrili tak hanya memanfaatkan silika, tetapi juga kitosan atau senyawa dari limbah kulit udang dan kepiting. Gabungan ini membuat tanaman lebih kuat menghadapi hama dan cuaca ekstrem. “Silika memperkuat dinding sel tanaman, sementara kitosan melindungi permukaan tanaman dan meningkatkan retensi air,” jelas Pri Utami.
Booster ini diaplikasikan dengan mencampurnya dalam air, lalu disiramkan ke tanah sesuai jenis tanaman dan kondisi tanah. Komoditas yang telah diuji antara lain tomat varietas Gustavi, kacang batik, bawang merah, dan padi.
Bagi Rommie dan Danni, petani asal Desa Tonsewer, Katrili membawa perubahan nyata. Sejak 2024, mereka menggunakannya untuk tanaman tomat dan merasakan manfaat langsung. “Buahnya lebih besar, lebih tahan gangguan, dan matang lebih merata. Kami juga lihat tanaman lebih kuat hadapi cuaca ekstrem,” kata Danni. Rommie menambahkan, “Kami bangga bisa pakai produk dari daerah sendiri. Harapannya, lebih banyak petani bisa ikut merasakan manfaatnya.”
Nama Katrili sendiri diambil dari tarian rakyat Minahasa, simbol syukur dan harmoni, merepresentasikan semangat lokalitas dan keberlanjutan. Sebagai bentuk apresiasi dan perayaan hasil kolaborasi, PGE dan UGM akan menggelar Panen Raya Katrili pada Senin (26/5) mendatang di Lahendong. Acara ini melibatkan kelompok tani dari KGPM dan GMIM, serta menampilkan kuliner khas dan Tari Katrili.
Melalui inovasi ini, PGE menegaskan komitmennya tidak hanya pada energi bersih, tapi juga pada ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Dari panas bumi, lahir solusi untuk pangan negeri.