Tahun 2000, setahun setelah meluncurkan Indonesian Customer Satisfaction Index, saya mencoba merumuskan bagaimana membuat survei yang mampu menghasilkan indeks kekuatan merek di Indonesia.
Sebuah survei yang sanggup menghasilkan indeks kekuatan merek yang berguna bagi para marketer di seluruh Indonesia. Marketer perlu tahu kekuatan merek mereka relatif terhadap pesaing dan bagaimana mereka perlu merumuskan strategi untuk meningkatkan kekuatan dan kesehatan mereknya.
Apa yang menjadi referensi utama saya untuk mengembangkan konsep pengukuran kekuatan merek? Ternyata, sepanjang ingatan saya saat itu, selain tidak banyak yang dapat diperoleh juga belum terlihat adanya metode pengukuran yang dominan dan menjadi rujukan di dunia.
Kalau dalam bidang pengukuran kepuasan pelanggan dunia sudah mengenal American Customer Satisfaction Index, ternyata pengukuran merek bersifat nasional yang melingkupi merek-merek besar yang dipasarkan di suatu negara, belum ada di tahun 2000. Riset dan studi mengenai merek masih minim dibandingkan riset-riset lain dalam hal strategi promosi, produk, distribusi, harga, atau perilaku konsumen.
Maklum, kesadaran akan pentingnya merek baru muncul di era tahun 90 saat akuisisi atau jual-beli merek mulai dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Nilai merek yang demikian mahal inilah yang kemudian menjadi pemicu yang besar bagi para akademisi untuk membuat riset dan studi mengenai merek.
Pembahasan merek seharusnya mendapatkan porsi yang lebih besar. Textbook utama bagi para mahasiswa yang belajar marketing seperti yang ditulis oleh Kotler, ternyata hanya menempatkan pembahasan merek di dalam chapter yang membahas strategi produk. Jadi, manajemen dan strategi merek hanyalah bagian kecil dari strategi produk.
David Aaker: Managing Brand Equity
David Aaker dengan bukunya Managing Brand Equity di awal tahun 90-an dan diikuti buku keduanya, Building Strong Brands, dapat dikatakan sebagai pendobrak pertama dan referensi paling top soal merek di awal tahun 90-an.
Aaker memulai dengan menunjukkan bahwa merek haruslah dikelola dengan baik karena memberikan nilai yang sangat besar bagi perusahaan. Merek bukan saja membuat perusahaan menjadi bernilai tinggi karena mampu meningkatkan profitabilitas, tetapi merek yang kuat membuat perusahaan bertahan dalam krisis dan menjadi senjata utama sebagai keunggulan bersaing.
Konsep Aaker yang paling menarik saat dia merumuskan konsep brand equity yang memiliki lima komponen. Pertama adalah brand awareness atau popularitas yang mampu menarik konsumen yang baru.
Kedua adalah brand association yang membantu konsumen untuk mudah menentukan keputusan memilih merek. Ketiga adalah perceived quality yang merupakan asosiasi yang membuat konsumen mau membeli dengan harga premium.
Keempat adalah brand loyalty yang menjadi benteng yang ampuh dari serangan pesaing. Kelima adalah brand asset lainnya seperti paten yang mampu melindungi merek karena adanya proteksi dari pihak lain seperti regulator.
Kelima komponen aset inilah yang memberikan nilai kepada konsumen dan kemudian kepada perusahaan. Perusahaan yang memiliki merek yang kuat akan memperoleh efisiensi dan efektivitas dari program marketing, perusahaan bisa bertumbuh saat melakukan brand extension atau margin yang lebih baik karena harga yang premium. Selain konsep utama brand equity ini, tentunya masih banyak pemikiran dari Aaker dalam hal manajemen dan strategi merek.
Keller: CBBE
Tahun 1992, bersama Kevin Lane Keller yang memang adalah junior dan murid Aaker, mereka memublikasikan tulisan mengenai Customer-Based Brand Equity (CBBE) di Journal of Marketing.
Artikel ini adalah salah satu artikel yang paling banyak direferensikan dalam hal merek sampai hari ini. Walau ditulis berdua, sangat jelas bahwa CBBE adalah buah pemikiran dari Keller. Konsep ini akhirnya menjadi sangat terkenal setelah Keller meluncurkan bukunya Strategic Brand Management.
Pemikiran Keller yang menyederhanakan dan membuat lebih sistematis inilah yang akhirnya menjadikan Keller sebagai pengarang buku Brand Management yang paling top di dunia. Keller secara genius memulai dengan pemikiran bahwa kekuatan merek adalah berada di dalam benak dan hati konsumen. Karena itu, komponen dari brand equity haruslah customer-based.
Komponen atau sumber dari brand equity ini kemudian dibuat Keller menjadi dua hal saja. Pertama adalah brand awareness dan kedua adalah brand image. Dua hal inilah yang berada di dalam benak dan hati konsumen.
Dengan demikian, Keller melebur komponen perceived quality ke dalam brand image. Bagi Keller, brand loyalty bukan komponen atau sumber dari brand equity, tetapi merupakan hasil atau resonansi dari brand awareness dan brand image.
Karena menggunakan kata customer-based, Keller dengan mudah tidak memasukkan faktor-faktor seperti paten atau perjanjian dagang yang melindungi merek menjadi bagian dari brand equity. Hal-hal ini tidak menjadi bagian merek yang melekat dalam benak dan hati konsumen.
Kehebatan Keller selanjutnya adalah dalam menyusun brand awareness dan brand image yang menghasilkan brand loyalty yang merupakan resonansi dari dua komponen ini. Sebuah merek haruslah memulai dengan pertanyaan “who are you?” yang merupakan identitas merek.
Setelah itu, marketer harus menjawab pertanyaan kedua, yaitu “what are you?” sehingga mampu memberikan nilai terhadap merek tersebut. Pertanyaan ketiga dan keempat adalah “what about you?” dan “what about you and me?”.
Hasil akhir yang harus dicapai dari pertanyaan pertama adalah brand awareness yang tinggi. Pertanyaan kedua dan ketiga akan dapat dijawab secara baik apabila marketer sudah mampu menciptakan merek dengan brand image yang kuat.
Pertanyaan keempat adalah perjalanan merek menuju puncak, yaitu loyalitas. Dari sinilah terlihat Keller lebih sistematis dibanding Aaker dalam menjelaskan bagaimana marketer membangun merek yang kuat.
Konsep Keller lainnya yang brilian adalah saat menjelaskan elemen yang diperlukan untuk membangun ekuitas merek yang kuat. Nama, logo, slogan, karakter, jingle, atau kemasan adalah elemen-elemen pembentuk brand equity yang kuat bila marketer bisa mengelola secara baik.
Dengan penjelasan seperti ini, semakin jelaslah bahwa yang sering dibahas sebagai strategi merek di buku-buku marketing yang meletakkan merek bagian dari produk adalah elemen-elemen pembentuk merek. Brand management process lebih dari sekadar membentuk elemen merek, tetapi hingga proses untuk menformulasikan strategi, mengukur dan memonitor kekuatan merek.
Dengan mengadopsi pemikiran Aaker dan Keller inilah kemudian saya mencoba memilih variabel yang tepat untuk membuat Top Brand Survey Index di tahun 2000. Variabel pertama yang saya pilih adalah “top of mind” yang mewakili kekuatan brand awareness dan brand image. Resonansi dari kedua komponen ini adalah brand loyalty di mana “future intention” saya pilih sebagai variabel untuk mengukur loyalitas.
Kedua variabel ini, top of mind dan future intention, adalah pengukuran kesehatan dari merek. Kekuatan merek yang kuat dalam benak konsumen haruslah tercermin dari kekuatan di pasar. Oleh karena itu, saya memilih variabel “last usage” untuk mewakili market share.
Dengan demikian, lengkaplah pengukuran indeks dari Top Brand yang sudah memiliki mind-share dari pengukuran top of mind, commitment share dari future intention, dan market share dari last usage.