Dagadu 10 tahun Smart, smile, djokdja

Ketika sebuah kota ibarat produk, beginilah salah satu cara memasarkannya: pakai cenderamata. Dan ketika kota itu adalah Jogja, salah satu cenderamatanya adalah Dagadu. Sejak kehadirannya sepuluh tahun lalu, Dagadu semakin berkibar dengan produk-produknya yang lucu, menggelitik, dan kadang-kadang nakal. Sedikit bergaya radikal dalam metode pemasarannya, dan dibarengi dengan diversifikasi usaha, bisnisnya tambah maju.

“Pilihan boleh beda, liburan tetap ke Djokdja.” Bunyi tulisan yang tersablon pada sepotong kaos itu memang memicu tanya, apa maksudnya? Pemilu 2004 semakin dekat. Bagi sementara kalangan, terutama pebisnis, tahun 2004 ini dinilai cukup mengkhawatirkan. Ada yang cemas bakal terjadi kerusuhan. Ada yang meragukan kemampuan pemerintah yang baru. Ada yang takut tanpa sebab yang jelas. Ujungnya sama: tidak bikin apa-apa.

Namun, ketakutan seperti itu tidak berlaku bagi Dagadu. Sebaliknya, nyali mereka seperti dipantik: bikin sesuatu donk! Benar saja. Ramainya bincang-bincang soal pemilu memancing Dagadu untuk melemparkan produk seri Oblong Kampanye. Sepuluh seri tema kampanye dikeluarkan sekaligus, di antaranya berbunyi “Who wants to be e pesinden? You don’t need a chair, just lesehan”, “Partai Kebangkitan Tjanda; Loetjoe Sepandjang Waktoe”, “Lowongan: Dicari (segera) Presiden Malioboro”, “2004: Dengan tidak mengurangi rasa hormat dimohon pemberian suara tidak berupa bingkisan atau karangan bunga”. Secara berseloroh, Dagadu boleh dituding telah mencuri start kampanye.

Itulah Dagadu yang sedari awal memang berbisnis di sektor image dan kreativitas. Maka, dalam situasi apa pun naluri pemasaran tetap ada. Kejelian menangkap celah dan memasukinya menjadikan produknya mendapat tempat khusus di benak konsumen. Selain kaos oblong, aneka cenderamata lain seperti gelas, gantungan kunci, dompet, tas, topi, stiker, tempat ponsel, mug, kartu pos, dan pembatas buku pun gegap gempita diluncurkan.

Marketing Manager PT Aseli Dagadu Djokdja, Fuad Budhi, kepada MARKETING menuturkan bagaimana Dagadu memposisikan diri sebagai “pemasar” Jogja. Sebagai catatan, sebelum Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memperkenalkan brand “Jogja”, Dagadu telah menyodorkan brand khas mereka, yakni “Djokdja”. Dan brand itu ditegaskan dalam tagline Dagadu “smart, smile, djokdja”.

“Kami ingin Jogja dikenang sebagai kota yang inspiratif dengan keramahannya,” cetus Fuad. Dan inspirasi itu diharapkan ditemukan orang dengan datang ke Jogja. Unsur datang sangat ditonjolkan. Sebagai pembuat cenderamata, Dagadu hanya menjual produknya di Jogja. Lewat dua outlet di kantor pusat Jalan Pakuningratan dan di Lower Ground Mal Malioboro itulah produk-produknya dipajang.

Hermawan Kertajaya (dalam Dagadu for Beginners) menilai keberadaan Dagadu yang hanya di Jogja sebagai sebuah kehebatan. Ia membandingkan dengan Hard Rock Café yang menerbitkan kaos dan topi bertuliskan kota besar tertentu di dunia. Kaos itu menjadi tanda bahwa pemakainya pernah berkunjung ke kota-kota tersebut. Begitu pula dengan Dagadu. Produk Dagadu menjadi tanda bagi pemakainya bahwa ia pernah ke Jogja, karena cenderamata itu hanya bisa didapatkan di sana. Memang, pada akhirnya Dagadu berkompromi dengan kemauan konsumen yang bersikeras mau membeli Dagadu tapi tidak punya waktu untuk datang ke Jogja. Layanan Pesawat (pesanan lewat kawat) pun dikenalkan. Meski demikian, tetap saja barangnya didatangkan dari Jogja.

Soal targeting dan positioning yang menyasar anak muda, lagi-lagi Hermawan menilai Dagadu cerdik membaca pasar. Menurutnya, kultur yang diusung Dagadu lewat produknya sangat sesuai dengan karakter anak muda yang cenderung melawan kemapanan. “Prestasi terbesar Dagadu adalah bisa menang dan terus tumbuh di pasar anak muda. Bagaimana pun anak muda bukan pasar yang gampang dibidik. Anak muda adalah pasar yang sangat dinamis, sehingga kalau sebuah produk tidak bisa mengikuti perkembangan tren, maka umurnya tidak panjang,” puji Hermawan.

Tentang pasar anak muda ini, Fuad memerinci lagi bahwa kelas middle up-lah yang menjadi sasaran utamanya. Ini sesuai dengan strategi harga yang ditawarkan, di atas harga rata-rata produk sejenis. Ambil contoh sweater dijual dengan harga Rp 60.000 dan polo di atas Rp 90.000. Menurut Fuad, strategi itu sekaligus menjadi alat untuk melindungi diri dari sergapan pemalsu yang memang menjamur di Jogja. Selain itu, tambah Fuad, “Untuk kelas ini mereka tidak sensitif harga. Sebab, emosi mereka sudah kita betot. Di segmen ini harga menjadi variabel kedua.”

Bagi Dagadu, penentuan harga juga didasarkan atas keterbatasan produk yang ditawarkan. Misalnya, edisi Oblong Kampanye ini hanya dicetak sepuluh ribu unit. Begitu juga dengan seri yang lain. Sebagai gambaran, setiap minggu Dagadu mengeluarkan desain baru. Jadi, konsumen dijamin mendapatkan produk yang segar.

Suatu saat Dagadu harus menaikkan harga jual produknya, padahal kondisi makro tidak menjelaskan bahwa harga dasar material mengalami kenaikan. Maka harus ada cara sehingga kenaikan harga itu bisa diterima oleh konsumen. Diberikanlah gimmick kepada konsumen berupa akar wangi. Nah, supaya bonus itu sesuai dengan nominal, maka disisipkanlah nilai yang mau disampaikan kepada konsumen. Konsumen diberi penjelasan bahwa akar wangi tersebut mampu mengawetkan bahan tekstil yang dapat menghilangkan rengat. Informasi ini akhirnya dapat diterima oleh konsumen sebagai nilai yang sepadan dengan nominal kenaikan harga.

Keberhasilan Dagadu membetot emosi konsumennya membuahkan pemikiran baru. Jika sedari awal berdirinya, brand Dagadu ditonjolkan, maka belakangan mulai dikesampingkan. Yang menjadi tanda keaslian produk Dagadu bukan tanda “mata”, melainkan bahwa produk itu dibeli di tempat-tempat yang telah ditentukan, yakni di Posyandu (Pos Pelayanan Dagadu), UGD (Unit Gawat Dagadu), dan ULC (Unit Layanan Cepat). Untuk yang terakhir ini berupa satu unit mobil VW yang beroperasi keliling mendatangi konsumen di sembilan hotel dan sejumlah event tertentu.

Untuk mempromosikan bahwa produk Dagadu hanya bisa diperoleh “jika dan hanya jika di Jogja”, maka dipasanglah beberapa rambu petunjuk jalan. Rambu yang ditancap di pintu-pintu masuk Provinsi DIY itu dibuat persis oleh DLLAJ. Di situ, contohnya, tertulis “Kulonprogo 0,0 km”. Di bawahnya terpampang tulisan Posyandu di dekat arah panah yang harus diikuti pengguna jalan. Begitu sampai di outlet, terpasanglah rambu bertuliskan “Djokdja 0,0 km”.

Strategi lain tentu saja dengan beriklan. Hampir semua media, baik above the line maupun below the line dipakai. “Media nasional kita pakai, TV juga,” sebut Fuad. Sayang Fuad tidak bersedia menyebut angka berapa besar rupiah yang dibelanjakan untuk iklan. Pun, sayang dia juga ogah menyodorkan angka penjualan yang telah dicapai sepuluh tahun ini. Yang jelas, berdasarkan hasil perhitungan dari data yang dikeluarkan Dinas Pariwisata dan Budaya DIY dan Stuppadata, market share Dagadu berada di 7,65 persen, menjadi bagian dari market share batik (28%) yang memang menyedot sebagian besar belanja wisatawan di Jogja yang mencapai hampir 1,4 juta orang per tahun. Namun, lagi-lagi dengan gaya canda-yang-serius, Fuad menyebut bahwa ada kompetitor lain yang membuat Dagadu harus bekerja keras merebut hati konsumen, yakni bakpia dan gudeg. Apa maksudnya? Bahwa oleh-oleh dari Jogja bukan hanya bakpia dan gudeg tapi juga Dagadu.

Di usia kesepuluh, bisnis PT Aseli Dagadu Djokdja telah berkembang pesat. Kini, bukan lagi Dagadu yang disodorkan sebagai brand. Ada dua sister brand yang dilahirkan belakangan, yakni Afterhour (tentang lifestyle) dan Hirukpikuk (tentang obyek-obyek wisata di luar Yogya). Produk dari dua brand ini, bedanya dengan Dagadu, dijual di luar Jogja. (AA Kunto A)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.