Customer Experience Strategy

[Reading Time Estimation: 5 minutes]

www.marketing.co.id – Setelah dibombardir dengan berbagai strategi yang bernuansa kompetisi atau konsep-konsep yang menjelaskan bagaimana perusahaan membangun keunggulan bersaing, maka pelaku bisnis dan marketer kehilangan fokusnya terhadap pelanggan sebagai stakeholder utamanya.  Sebut saja beberapa konsep baru, seperti customer equity, lifetime customer value, customer experience, customer relationship marketing, dan berbagai model dalam konsep customer loyalty. Seakan-akan, marketer di seluruh dunia disadarkan lagi bahwa bisnis, ya… pelanggan itulah.

Salah satu yang konkrit adalah pergeseran dari brand equity ke customer equity. Pada  dekade 90-an, kita dibombardir dengan konsep Brand Equity. Aaker dan muridnya Keller, jelas merupakan dua sosok yang telah menghiasi perkembangan brand equity di seluruh dunia. Sekolah-sekolah MBA di seluruh dunia yang mengajarkan pemasaran, sangat getol dengan masalah bagaimana membangun merek. Dengan fakta yang tidak terbantahkan bahwa aset terbesar dari perusahaan adalah terletak dalam merek, konsep brand equity ini sangat cepat diadopsi oleh para pelaku bisnis di seluruh dunia termasuk marketer di Indonesia.

Bagi marketer, fokusnya bukan terletak dari nilai merek, tetapi bagaimana membuat  mereknya memiliki tingkat awareness yang tinggi dan image yang positif, kuat, dan mendorong konsumen untuk membeli. Ini akan menjadi jaminan bagi merek tersebut untuk bertahan dan bertumbuh dalam hal pangsa pasar dan profitabilitas.

Lalu, apa yang menjadi argumen bahwa kemudian model brand equity tidak cukup?  Perusahaan yang hanya fokus kepada brand equity, tidak akan optimal dalam menciptakan nilai bagi perusahaan dan kemampuannya untuk bersaing dalam jangka panjang. Konsep ini masih terlalu fokus kepada penciptaan produk dengan nilai tambah dengan cara mengelola nama produk, logo, slogan dan indentitas merek yang lain. Oleh karena itu, marketer tidak sungguh-sungguh diajak untuk memikirkan bagian dari brand  image yang benar-benar diinginkan oleh konsumen atau pelanggan. Konsep ini memberikan perhatian kepada pelanggan yang agak sempit, yaitu hanya sebatas hubungan pelanggan dengan penciptaan dari brand equity.

Padahal, marketing adalah profit. Profit ini jelas tergantung dari bagaimana perusahaan mengelola pelanggan untuk menghasilkan revenue dan laba—selama seseorang menjadi pelanggan dari perusahaan atau konsumen dari sebuah merek. Konsep ini juga tidak  memberikan perhatian yang cukup terhadap aktivitas dan afinitas pelanggannya.  Padahal, ini adalah suatu laten yang menjadi sumber loyalitas dan profitabilitas. Dengan pemikiran seperti ini, maka customer equity menjadi debut baru yang dirasakan lebih memberikan jawaban bagi perusahaan.

Customer Experience

Salah satu model yang mengikuti “stream” dari customer equity adalah Customer Experience. Model ini dikembangkan oleh Bernd Schmitt—guru marketing yang sudah tidak asing dengan konsepnya yang mendunia, yaitu Experiential Marketing. Sejalan dengan pemikiran dari Joseph Pine bahwa kita telah memasuki era experience economy, maka Experiential Marketing seperti menjadi magnit bagi para pelaku bisnis yang ingin menciptakan pelanggan yang loyal dan menguntungkan. Pelanggan… they don’t buy product or service but they buy experience. Jargon ini menjadi populer bagi para marketer.

Sudah pasti, Customer Experience adalah konsep yang tidak jauh dari Experiential Marketing. Tepatnya, merupakan sekuel atau kelanjutan dari Experiential Marketing. Walaupun demikian, bagi saya, buku Bernd Schmitt yang kedua ini, Customer Experience, seharusnya menjadi buku yang lebih wajib.

Pertama, Bernd Schmitt sendiri terlihat semakin menyadari akan kelemahan atau kekurangan dari bukunya yang pertama. Buku Experiential Marketing terlalu banyak konsep yang abstrak dan menyulitkan pelaku bisnis yang secara praktis ingin mengimplementasikan. Kedua, ia juga sudah semakin mengakomodasi perkembangan industri service, yang memang dalam 10 tahun terakhir ini terlihat jauh lebih cepat dari perkembangan consumer product. Ketiga, Schmitt semakin menunjukkan kekuatan strategi yang berfokuskan kepada pelanggan. Customer Experience adalah konsep yang memberikan jawaban kepada para pelaku bisnis yang benar-benar percaya bahwa pelanggan adalah aset utama yang harus dikelola.

Banyak perusahaan memang yakin bahwa pelanggan adalah aset utama. Tetapi sesungguhnya, masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan strategi dan implementasi di mana pelanggan menjadi fokus uitama. Mereka masih saja memberikan pelayanan seadanya untuk pelanggan yang sudah loyal sekian lama. Mereka tidak berupaya—atau memang tidak sadar—untuk memberikan pengalaman yang benar-benar sesuai atau lebih dari yang pelanggan harapkan.

Bayangkan, Anda sudah menjadi pelanggan selama 10 tahun untuk sebuah surat kabar, sebuah bank, sebuah airline, sebuah restoran atau ratusan produk yang Anda konsumsi  hampir setiap bulan. Tetapi, adakah mereka telah memberikan produk, pelayanan dan pengalaman yang demikian mengesankan? Besar kemungkinananya, Anda akan memberikan jawaban tidak untuk hampir 90% dari merek yang Anda konsumsi.

Inilah sebabnya, melihat pemasaran dari kaca mata “traditional marketing”, jelaslah tidak cukup. Mereka lebih fokus kepada fitur atau benefit yang merupakan cermin dari orientasi terhadap produk atau penjualan semata. Mereka lebih banyak memperlakukan  pelanggan sebagai orang yang banyak berpikir secara rasional. Mereka melakukan diferensiasi yang belum tentu mempengaruhi kehidupan pelanggan. Ahirnya, perusahaan sesungguhnya tidak mengerti, siapa, bagaimana, dan seperti apakah harus memperlakukan mereka.

Hanya dengan berfokus 100% terhadap bagaimana pengalaman pelanggan selama mengkonsumsi produk atau menggunakan suatu layanan, perusahaan akan mengerti siapa pelanggannya. Itulah sebabnya, Customer Experience, secara sederhana adalah merupakan suatu proses, strategi, dan implementasi dari suatu perusahaan untuk me-manage pelanggan dalam konteks pengalamannya dengan sebuah produk atau layanan.   It is simple.  Produk atau layanan haruslah relevan dengan kehidupan pelanggan.

Agar strategi Customer Experience ini maksimal, pelaku bisnis perlu menjalankannya dengan tahapan-tahapan yang sistematis. Tahap pertama, yang tidak bisa dihindari, adalah dengan melakukan riset pasar untuk mencari model pengalaman yang diinginkan oleh pelanggan. Riset pasar haruslah dilakukan secara kreatif. Pertama, riset haruslah dilakukan dengan “setting” yang tidak jauh dari pengalaman pelanggan. Jadi, pertanyaan yang diajukan janganlah didominasi dengan opini saja, tetapi juga harus mendeskripsikan pengalaman mereka.

Sebisa mungkin, ketika melakukan riset, responden haruslah distimuli dengan kondisi produk atau pelayanan. Jadi, tidaklah cukup dengan hanya memberikan deskripsi mengenai suatu produk. Akan lebih baik jika memperlihatkan produk aslinya atau prototipenya bila riset dilakukan untuk produk baru.

Customer Experience adalah sebuah strategi. Dalam upaya untuk menetapkan strategi  tersebut, maka suatu riset pasar yang fokus pada bagaimana pelanggan menggunakan suatu produk atau kategori produk, akan menyingkapkan hal ini. Pengalaman menggunakan produk ini juga perlu dilihat dalam konteks sosial. Apakah mereka mengkonsumsinya bersama kolega? Adakah situasi spesifik yang mendorong mereka untuk mengkonsumsi? Apakah kebiasaan mengkonsumsi tersebut merupakan bagian dari gaya hidup? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan menentukan platform dari pembentukan strategi dalam konsep Customer Experience.

Tahap kedua, setelah memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan pengalaman pelanggan, maka pelaku bisnis dan marketer perlu menetapkan strategi positioning.  Beda dengan “traditional marketing”, di mana strategi positioning didasarkan atas diferensiasi semata; dalam Customer Experience, yang ditonjolkan haruslah Experiential Positioning yang dikonkritkan degnan experiential value promise.

Salah satu contoh terbaik adalah produk yang berbasis ring tone seperti Nada Sambung Pribadi dari Telkomsel. Kita tahu, ledakan dari penggunaan seluler adalah kepuasan dalam  menggunakannya. Sekitar 80% dari penggunaan seluler adalah bersifat emosional atau tidak berhubungan dengan nilai ekonomis. Oleh karena itu, Experiential Positioning untuk produk ini cukup jelas. Produk tersebut memberikan pengalaman bertelepon yang “fun” dan sekaligus memberikan gambaran terhadap personality melalui lagu yang dipilih. Alhasil, ini menjadi salah satu produk sukses di tahun 2005 silam.

Strategi haruslah diikuti dengan implementasi. Inilah kekuatan dari buku Bernd Schimtt yang kedua. Inilah pula yang membuat buku Customer Experience lebih membumi dan seharusnya menjadi petunjuk yang lebih jelas bagi pelaku bisnis yang ingin mengaplikasikan Customer Experience Strategy. Tahapan implementasi ini akan saya bahas pada edisi Majalah MARKETING bulan depan, beserta berbagai studi kasus di Indonesia. (Handi Irawan D.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here