Customer Experience Strategy (CES): Tantangan Implementasi

www.marketing.co.id – Seminar yang langsung dibawakan sendiri oleh Prof. Bernd Schmitt, pencipta konsep Customer Experience Strategy (CES), yang sudah mendunia ini mendapatkan sambutan yang sangat baik dari para marketer di Indonesia. Bahkan berbagai forum dan mail-list sudah banyak dibentuk agar para marketer seluruh dunia dapat saling berbagi strategi mereka dalam customer experience.

Walau dalam seminar di pertengahan Februari 2006 lalu yang saya pandu itu sudah banyak contoh lokal yang saya kemukakan, harus diakui, konsep CES masih menyisakan banyak pertanyaan. Maklum, implementasi dari konsep ini dapat dikatakan masih belum sering dijumpai. Bisa jadi, sebagian perusahaan sebenarnya sudah melakukan, hanya saja mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah bagian dari Customer Experience Strategy.

Mempertimbangkan hal ini, akhirnya saya menyetujui permintaan redaksi MARKETING untuk menulis dalam kolom ini sekali lagi tentang Customer Experience Strategy, sekaligus memberikan jawaban atas banyak pertanyaan yang masih dirasakan belum tuntas. Paling tidak, terdapat lima pertanyaan yang paling sering dilontarkan.

Pertama, apakah Customer Experience Strategy hanya cocok digunakan untuk produk atau pelayanan yang ditujukan ke segmen premium atau konsumen-konsumen yang memiliki daya beli kuat? Jawabannya jelas, yaitu tidak. Memang, konsumen premium sudah pasti memiliki harapan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan tingkat implementasi customer experience yang lebih kompleks dan lebih canggih. Ditambah lagi, perusahaan-perusahaan yang menargetkan kelompok premium ini, biasanya juga sudah memperhatikan faktor-faktor customer experience dalam menciptakan kepuasan dan loyalitas. Akhirnya, diferensiasi menjadi lebih sulit.

Salah satu produk minuman yang sukses di pasar Indonesia ketika itu adalah Pop Ice. Ini adalah merek minuman di mana target pasar utamanya adalah konsumen golongan menengah dan bawah. Dengan meminjam dari produk-produk premium di mana konsumen harus mencampur minuman ini dan mengocok terlebih dahulu, ternyata menimbulkan suatu pengalaman mengkonsumsi produk yang baru. Hasilnya, kita bisa melihat bagaimana minuman ini mendapat sambutan yang hangat. Walau banyak komentar menyatakan bahwa rasanya tidak superior tetapi konsep produk ini, yang menjanjikan adanya pengalaman yang baru dalam mengkonsumsi, telah memberikan kisah sukses tersendiri.

Produk telekomunikasi juga telah mengajarkan bagaimana customer experience dapat diimplementasikan untuk pengguna golongan bawah. Mereka memang tidak dapat membeli casing telepon seluler (ponsel) yang mahal tetapi mereka juga sangat getol dengan berbagai aksesoris untuk membuat penampilan dan desain ponsel mereka lebih memiliki “feel” yang positif dan sekaligus menjadi bagian dari gaya hidup bertelepon mereka. Ini yang disebut dengan “act” dan “relate” atau merupakan dua komponen terakhir dari 5 komponen customer experience.

Bahkan berbagai produk rokok, yang mayoritas perokoknya adalah konsumen kelas menengah dan bawah, berani menggunakan iklan-iklan yang membuat konsumen untuk berpikir. Ini menunjukkan bahwa customer experience yang mereka ingin kembangkan adalah komponen “think”. Para konsumen diajak untuk lebih terlibat dengan cara melibatkan komponen “think” sebagai bagian untuk membentuk asosiasi dalam benak mereka. Tidak jarang, asosiasi ini kemudian baru dimengerti setelah mereka melihat iklan tersebut lebih dari 10 kali atau setelah menjadi pembicaraan di media massa dan masyarakat luas. Keberanian ini tentu saja ditunjang oleh besarnya budget yang akan mereka keluarkan untuk program komunikasi. Hasilnya, ternyata cukup sukses dan sanggup menciptakan suatu iklan yang menancap kuat dan mendorong mereka untuk loyal.

Kedua, apakah Customer Experience Strategy hanya lebih cocok untuk industri jasa? Jawabannya jelas tidak. Bahkan, Prof. Schmitt sendiri sebenarnya saat pertama melahirkan konsep ini terlihat lebih fokus kepada consumer goods. Asumsi ini cepat masuk dalam benak kita mungkin karena termakan dari kata “customer experience” yang langsung merujuk kepada kata pengalaman pelanggan. Kalau kita bicara sosal pengalaman, maka kita langsung berpikir mengenai pelayanan.

Padahal, sangatlah jelas bahwa sumber-sumber yang menciptakan customer experience dapat dibagi menjadi dua, yaitu Brand Experience dan Customer Interface. Kalau kita perhatikan experiential provider untuk Brand Experience, justru banyak terletak kepada hal-hal seperti logo, warna, grafis, style, desain kemasan atau interior ruangan. Jelas, consumer goods seringkali lebih mendominasi dalam menciptakan sumber-sumber Brand Experience.

Di pasar Indonesia, consumer goods masih merupakan merek-merek yang mempunyai budget iklan yang terbesar. Lihat saja produk shampoo yang total iklan gross-nya bisa mencapai sekitar 300 miliar per tahun. Dalam berbagai iklan shampoo, beberapa iklan menonjolkan aspek “sense” dan “feel”. Tidak jarang, komponen “think” juga terlihat dengan cara menonjolkan bahan aktif dari shampoo tersebut. Kemudian, komponen “act” juga terlihat melalui gaya hidup dan faktor yang mendorong mereka agar bertindak cepat untuk membeli.

Memang, khusus untuk penciptaan customer experience melalui Customer Interface, perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa relatif memiliki peluang yang besar. Berbagai experiential provider termasuk dalam Customer Interface ini, seperti  pelayanan di mana terdapat para gugus depan dari perusahaan tersebut yang berinteraksi dengan pelanggan.

Pertanyaan ketiga, apakah Customer Experience Strategy juga bisa diterapkan untuk industri yang termasuk B to B? Jawabannya ya. Dalam industri B to B, terdapat kontak yang cukup aktif antara perusahaan dan pelanggan. Industri alat berat seperti United Tractors misalnya, bisa mulai melakukan CES dengan mendesain ruang kantornya. Pelanggan yang datang ke kantor akan mendapatkan impresi yang positif bisa dari desain dan interior kantor perusahaan tersebut yang memiliki style bagus dan berbeda. Dengan kata lain, perusahaan ini telah menciptakan “sense”. Apalagi bisa perusahaan ini kemudian mengadakan suatu event seperti gathering atau seminar, banyak komponen lain yang dapat diciptakan. Perusahaan dapat menciptakan komponen ”feel” dan sekaligus “relate”. Ini terjadi karena sesama pelanggan telah menjadi bagian dari komunitas dengan identitas tertentu.

Experiential provider lain yang berguna dalam industri B to B adalah web. Pelanggan yang masuk dapat web dari perusahaan yang mendesain web-nya secara apik, akan merasa bahwa perusahan tersebut telah memberikan impresi (sense) yang positif. Bahkan bila banyak dijumpai solusi yang dibutuhkan atas problem mereka, berarti perusahaan telah berhasil menggunakan komponen “act”.

Pertanyaan keempat adalah apakah Customer Experience Strategy selalu membutuhkan budget yang besar? Jawabannya adalah tergantung. Maksudnya, adalah bahwa CES memang dapat diterapkan secara holistik atau terintegrasi tetapi bisa juga diterapkan secara parsial.

Kalau perusahaan mencoba untuk mengembangkan customer experience dengan cara membangun 5 komponen sekaligus (Sense-Feel-Think-Act-Relate), sangatlah mungkin juga dibutuhkan berbagai experiential provider. Mereka harus beriklan, mereka juga harus memperhatikan urusan brand identity dan bisa jadi, mereka harus menggunakan kegiatan-kegiatan below the line yang mampu menciptakan interaksi dengan para konsumennya.

Kalau perusahaan kebetulan memiliki target pasar yang terbatas atau justru kategori produknya memang relatif khusus, sangat mungkin mereka melakukan secara parsial. Dan untuk hal ini, jelas tidak dibutuhkan suatu budget yang besar. Perusahaan ini bisa saja hanya bertumpu untuk menciptakan “relate” melalui pembentukan komunitas atau klub. Kemudian, experiential provider yang mereka lakukan juga lebih terbatas kepada pengguna internet dan aktivitas below the line saja.

Pertanyaan kelima dan terakhir adalah bagaimana Customer Experience Strategy ini dapat diukur? Jawabannya adalah: pengukuran keberhasilannya dapat dilakukan dengan parameter-parameter bisnis biasa. Ini terutama untuk mengukur keberhasilan akhir dari strategi CES. Pada dasarnya, Customer Experience Strategy adalah penciptaan kepuasan pelanggan melalui pengalaman. Jadi, tidak bertumpu kepada produk akhir dari suatu produk atau pelayanan. Karena diyakini bahwa kepuasan yang dihasilkan akan lebih tinggi, maka loyalitas yang terbentuk juga akan lebih tinggi. Pelanggan mereka menjadi bagian dari perusahaan atau brand tersebut dan memiliki tingkat “attachment” yang tinggi. Ujung-ujungnya, tentu saja loyalitas ini menciptakan revenue dan profit yang lebih baik.

Tantangan yang lebih besar adalah bagaimana untuk mengukur keberhasilan dari Customer Experience Strategy ini jauh sebelum loyalitas dan profit dari brand tersebut diperoleh. Untuk pengukuran yang sifatnya masih “antecedent” dari loyalitas dan profit perusahaan, dapat digunakan berbagai alat ukur seperti survei atau riset yang bersifat kualitatif dan observasi.

Misalnya, dilakukan evaluasi apakah iklan yang memiliki komponen pembentuk “experiential” akan lebih efektif atau tidak. Ini bisa dengan cara survei-survei yang ditujukan untuk mengukur awareness dan ad effectiveness. Dengan diketahui bahwa iklan kita lebih efektif, besar sekali kemungkinan bahwa produk juga akan lebih banyak dibeli oleh konsumen. Cara lain adalah dengan melihat tingkat kepuasan dan image yang diciptakan sebagai hasil penerapan Customer Experience Strategy. Bila ternyata indeks kepuasan lebih tinggi atau tingkat image lebih positif karena penerapan berbagai Customer Experience Strategy, kita jauh lebih yakin bahwa profit juga akan mengikuti kemudian. (Handi Irawan D.)

2 COMMENTS

  1. Saya izin bertanya, apakah ada rekomendasi khusus buku yang mengupas tuntas dan membahas tentang komponen dari customer experience? Terima kasih sebelumnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.