Co-Creation: Siapkah Konsumen Indonesia? (Bagian 1)

Nike+ adalah produk Nike yang menjadi kebanggaan dari perusahaan ini. Apakah ini sepatu model baru? Walau menggunakan nama merek yang sama, sesungguhnya ini adalah produk kombinasi antara sepatu, sensor dan produk dari Apple, yaitu iPod atau iPhone.

Nike meluncurkan produk ini di tahun 2008. Sebuah produk yang ditujukan untuk mereka yang punya hobi berlari. Adanya sensor canggih yang dilekatkan di sepatu dan kemudian dilengkapi dengan receiver di iPod atau iPhone, memungkinkan Nike dapat melibatkan para pengguna sepatu lebih dalam. Para pelari yang menggunakan Nike+, seolah-olah memiliki tokoh dirinya sendiri yang disebut sebagai “youto”. Youto ini bisa menjadi sebuah statistik dan juga sekaligus sebagai kawan hidup yang memerhatikan para pengguna sepatu.

Pelari dapat mengetahui persis berapa banyak dia telah berlari pada hari ini atau selama periode tertentu. Mereka juga dengan mudah mengetahui jumlah kalori yang telah mereka bakar selama berlari. Bahkan pengguna Nike+ dapat membuat sebuah target yang harus mereka capai di waktu-waktu mendatang, misalnya target mengenai jarak yang harus mereka tempuh atau kalori yang harus mereka bakar. Bila kemudian target ini telah tercapai, terdapat suara Lance Amstrong yang memberikan ucapan selamat atas pencapaian tersebut.

Melalui Nike+ ini, setiap pelari juga dapat berhubungan dengan pelari yang lain dalam sebuah komunitas virtual. Mereka bisa saling berinteraksi. Mereka juga dengan mudah mendapatkan informasi mengenai tempat-tempat favorit untuk berlari. Program ini, pada akhir tahun 2009, telah dipakai lebih dari 1,3 juta pelari dan hingga tahun 2010, tidak kurang dari 2 juta pelari telah menggunakan Nike+.

Apa keuntungan buat pelari sehingga mereka mau menggunakan produk ini? Pertama, pelari mendapatkan pengalaman baru yang sungguh menyenangkan. Mereka merasa dilibatkan dalam banyak hal saat menggunakan produk ini. Mereka menentukan musik apa yang diunduh dan apa saja yang akan mereka lakukan dalam aktivitasnya berlari. Kedua, para pelari menjadi lebih bersemangat. Data, informasi, dan sasaran yang ingin mereka capai, menjadi bagian untuk melakukan pengukuran, evaluasi, dan membuat perbaikan-perbaikan di masa mendatang. Ketiga, Mereka mendapatkan banyak kawan yang memiliki hobi yang sama. Ini jelas meningkatkan kualitas gaya hidup mereka. Mereka bisa berkumpul bersama dalam sebuah event yang diadakan oleh Nike atau inisiatif komunitas sendiri.

Apa keuntungan buat Nike? Pertama, Nike mampu mendapatkan informasi mengenai perilaku para pelari yang menjadi konsumen mereka. Dengan mengetahui informasi seperti ini, dapat dibayangkan bahwa Nike akhirnya mendapatkan banyak ide untuk melakukan perbaikan. Nike tahu persis bagaimana kebiasaan mereka berlari, seperti berapa lama berlari, lagu apa yang sering mereka dengar selama berlari, dan berbagai informasi lainnya yang sangat penting untuk melakukan perbaikan dan inovasi. Kedua, Nike mampu menciptakan loyalitas dengan para konsumen. Keterlibatan mereka dengan produk Nike ini menjadi lebih totalitas. Konsumen secara emosional sangat terlibat dengan produk tersebut. Karena mereka juga terlibat dalam komunitas, bisa dibayangkan bila kemudian loyalitas mereka menjadi tinggi. Beralih dari merek Nike, sama saja mereka harus meninggalkan komunitas mereka.

Ketiga, Nike mampu melakukan cross-selling dengan cara yang efisien dan efektif. Perusahaan ini dapat menjangkau mereka lebih cepat. Secara komunikasi, biayanya pasti lebih efisien. Dalam cross-selling, sangat penting adalah juga efektivitasnya, yaitu berapa persen keberhasilan menjual kepada para prospeknya. Karena data dan informasi yang diperoleh Nike sangat lengkap, tidak mengherankan bila cross-selling menjadi lebih mudah berhasil.

Keempat, Nike melaporkan bahwa brand awareness dan brand image mereka meningkat walaupun bujet promosi di media konvensional mengalami banyak pengurangan. Artinya, return on investment (ROI) dari investasi promosi yang mereka belanjakan menjadi lebih tinggi.

Keuntungan Co-Creation

Studi kasus dari Nike+ di atas adalah contoh kesuksesan sebuah strategi co-creation. Banyak pelaku bisnis di dunia terutama perusahaan yang sudah tersentuh dengan teknologi digital, sangat meyakini bahwa co-creation adalah strategi masa mendatang. Perusahaan yang tradisional berpendapat bahwa nilai tambah kepada konsumen atau pelanggan haruslah diciptakan melalui serangkaian proses supply chain. Perusahaan harus membuat produk yang berkualitas melalui proses R&D yang benar. Demikian juga, perusahaan harus mengomunikasikan kepada konsumen dengan baik, memerhatikan proses delivery, dan kemudian memberikan pelayanan purnajual.

Cocreative enterprise berpikir dengan cara berbeda. Konsumen atau pelanggan harus dilibatkan dalam menciptakan nilai tambah kepada konsumen. Mereka mungkin memberikan masukan terhadap produk dan layanan yang harus diciptakan perusahaan yang biasa disebut co-defining. Bila perlu, mereka kemudian diberikan media untuk menyampaikan ide-ide mereka yang lebih konkret, misalnya fitur apa saja yang mereka inginkan. Ini disebut co-designing. Pada tahap yang lebih tinggi lagi, konsumen diberikan berbagai alternatif untuk membuat keputusan terhadap produk dan layanan yang memberikan solusi kepada mereka. Dalam hal ini, perusahaan telah melakukan co-development karena konsumen benar-benar dilibatkan dalam proses pembuatan. Bahkan, mereka bisa juga harus dilibatkan dalam proses instalasi, training, dan aktivitas lain-lain yang mengintegrasikan keseluruhan delivery. Pada keterlibatan yang paling tinggi ini, perusahaan telah melakukan co-delivery.

Tidak mengherankan, bila konsep co-creation ini berhasil, perusahaan pasti akan diuntungkan. Mereka mampu meningkatkan loyalitas pelanggan yang akhirnya menghasilkan laba jangka panjang yang lebih baik. Perusahaan juga mampu mereduksi biaya karena konsumen yang terlibat dan sekaligus mengurangi risiko kegagalan produk baru.

Apakah Konsumen Kita Siap?

Dalam tulisan seri pertama ini, saya tertarik untuk membahas dari kesiapan konsumen kita. Nike+ adalah produk yang diklaim oleh Nike sebagai konsep yang sukses. Bagaimana di Indonesia? Ternyata, penetrasi nyaris tidak kedengaran. Mungkin saja kita bisa berkilah bahwa orang Indonesia yang memiliki hobi berlari relatif sedikit. Sebagian besar menyukai gerak jalan bersama-sama dimana selain sedikit olahraga, mereka juga bisa mendapatkan suasana santai yang penuh canda. Inilah ciri-ciri komunitas olahraga di Indonesia. Tidak mengherankan, program gerak jalan seperti yang dilakukan oleh Anlene relatif sukses.

Bagaimana bila di SPBU konsumen ditawarkan ”do-it yourself”? Apakah mereka tertarik? Bukankah do-it yourself adalah bagian dari co-creation walaupun tidak menggunakan platform digital? Saya ragu akan sukses. Banyak orang Indonesia yang memiliki mobil, jangankan mengisi bensin sendiri, mereka bahkan enggan keluar dari mobil. Ini adalah cara yang lebih nyaman dan memuaskan.

Mari kita lihat contoh yang lain. IKEA adalah ritel yang sukses. Mereka menjual banyak produk furnitur termasuk knock-down. Di Eropa dan Amerika, banyak konsumen yang dengan senang hati merakit sendiri. Bagaimana di Indonesia? Kita tahu, mereka yang membeli furnitur knock-down Olympic, hampir seluruhnya tidak ada yang merakit sendiri. Mereka menyerahkan kepada para tukang yang disediakan oleh pihak toko. Jangankan merakit, sebagian besar juga tidak mau mengamati atau memerhatikan bagaimana para tukang ini merakit furniturnya.

Sebagian dari kita mungkin melihat contoh SPBU dan furnitur adalah contoh dalam industri konvensional. Oleh karena itu, bisa juga hal ini tidak relevan. Ketidakberhasilan dari Nike+ di Indonesia mungkin disebabkan faktor lain, seperti harga yang masih mahal dan distribusi produknya, bukan karena tidak sesuai dengan perilaku konsumen di Indonesia.

Bagaimana kalau platformnya adalah digital? Apakah strategi co-creation ini akan mendapatkan sambutan yang baik di Indonesia? Kita bisa lihat bagaimana konsumen kita cukup senang dengan Facebook. Ini adalah media digital dimana konsumen mulai terlatih untuk terlibat. Mereka bukan membaca, tetapi juga sekaligus sebagai penulis. Mereka terlibat dan ternyata hal ini mendapatkan sambutan yang baik. Bila ini benar, maka ketidakberhasilan co-creation seperti Nike+ relatif sederhana disimpulkan.

Co-creation sangat sulit berhasil bila ditargetkan untuk konsumen kelas atas Indonesia. Mereka punya uang, tetapi mereka pemburu kenikmatan dengan cara dilayani. Selain itu, karena banyak co-creation menggunakan platform digital, padahal mereka adalah kelompok yang gaptek sehingga sulit diajak untuk terlibat dalam sebuah proses layanan. Di sisi lain, co-creation untuk generasi muda Indonesia masih menjanjikan. Sayangnya, mereka masih tidak memiliki daya beli yang cukup untuk membeli produk. Sebuah kesimpulan sederhana. Saya ingin mengulas strategi co-creation lebih mendalam pada edisi yang mendatang. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.