Otonomi daerah membuat kota maupun kabupaten di Indonesia saling berlomba untuk menarik wisatawan, investor, maupun pendatang. City branding menjadi proses yang harus dijalankan pemerintah kota agar tujuan tersebut sukses. Apa yang harus diperhatikan dalam city branding? Kota-kota apa yang sukses dalam menjalankan city branding?
Banyuwangi adalah kabupaten yang menghubungkan antara Pulau Jawa dan Bali. Setiap kali ingin berkunjung ke Pulau Dewata, orang akan melewati kabupaten ini. Sayangnya kota ini dulu hanya dilewati saja oleh wisatawan dan tidak menjadi tempat persinggahan.
Banyak kota di Indonesia yang bernasib seperti Banyuwangi, dijadikan tempat perlintasan semata saat wisatawan berkunjung ke kota yang lebih menarik. Seperti misalnya Banyumas yang menjadi perlintasan orang yang hendak ke Kota Yogyakarta. Sekarang kota-kota yang menjadi tempat perlintasan ini tidak mau sekadar mendapat “debu kendaraan”. Mereka pun mencoba menjajakan kota mereka agar menjadi tempat destinasi, atau minimal kota transit sebelum wisatawan mengunjungi tempat lain.
City branding adalah upaya menjalankan prinsip-prinsip branding untuk sebuah kota. Tujuan branding dari suatu kota bisa macam-macam, seperti menarik wisatawan, investor, penghuni baru, maupun orang-orang berbakat. City branding sudah menjadi bahan pembahasan baik di tingkat akademis maupun praktis. Secara mendasar, city branding memang tidak berbeda dari corporate branding atau product branding dimana prinsip-prinsip branding dijalankan. Branding sendiri adalah proses komunikasi dan aktivitas yang dijalankan untuk membuat brand semakin besar dan bersinar. Ekuitas city branding menyangkut awareness, image, maupun loyalty.
Awareness dan Image
Awareness yang kuat terhadap kota menjadi keuntungan bagi kota tersebut. Misalnya saja, ketika orang ingin berkunjung ke Malaysia maka yang muncul di benak wisatawan adalah Kuala Lumpur. Atau jika orang ingin berinvestasi batubara maka awareness investor adalah kota-kota di Pulau Kalimantan.
Awareness yang kuat juga perlu dihubungkan dengan citra atau image dari kota tersebut. Kota Venesia terkenal dengan romantika berperahu di aliran sungai yang melewati rumah-rumah di kota itu. Ubud terkenal dengan lukisan dan seni patungnya. Yogyakarta terkenal sebagai kota pelajar. Adanya persaingan antarkota untuk menarik wisatawan dan investor membuat setiap kota perlu menciptakan positioning yang tepat. Sama seperti produk, point of difference yang dimiliki oleh sebuah kota perlu diangkat, sekalipun kota tersebut menawarkan banyak hal yang sama dengan kota yang lain.
Positioning inilah yang kemudian dituangkan dalam slogan maupun komunikasi kreatif kota. Ambil contoh Kota Kopenhagen yang menggunakan slogan “open for you: cOPENhagen”. Kota Amsterdam terkenal sebagai kota yang liberal, namun juga terkenal dengan kreativitas dan seninya. Oleh karena itu Amsterdam menggunakan slogan “I Amsterdam”. Huruf “I” di depan kata Amsterdam menunjukkan kebebasan dan keinginan pribadi yang bisa dilakukan di kota ini. Huruf tersebut juga menunjukkan nilai-nilai smart dan kreativitas.
POD dan POP
Untuk menciptakan point of difference dan positioning dibutuhkan upaya untuk menggali keunikan-keunikan yang ada. Keunikan ini bisa berasal dari tempat wisata yang ada di kota tersebut, infrastruktur yang ada, sumber daya alam, budaya, perilaku masyarakat, dan lain-lain. Untuk itu riset perlu dilakukan terlebih dahulu guna menggali potensi yang ada. Riset tersebut juga harus membandingkan dengan kota-kota lain di sekitarnya atau kota pesaing. Dalam teori brand Keller, point of parity (unsur-unsur yang harus dimiliki oleh setiap kota) dan point of difference (unsur-unsur yang berbeda dibandingkan kota lain).
Ketika berbicara point of difference (POD), kota tersebut harus bertanya “Apa yang membuat wisatawan atau investor tertarik untuk berkunjung atau berinvestasi ketimbang ke kota lain?” Sementara ketika berbicara soal point of parity (POP), maka harus dimunculkan pertanyaan “Apa yang penting harus dimiliki agar wisatawan atau investor tertarik untuk berkunjung atau berinvestasi?” Baik POD maupun POP harus dimiliki karena kehilangan POP bisa mengurangi kekuatan dari POD. Sebagai contoh, sebuah kota yang ingin menarik wisawatan harus memiliki pusat informasi wisata, transportasi yang memadai untuk wisatawan, internet, dan lain-lain. Tanpa itu, POD dari kota tersebut tidak memiliki kekuatan.
Ketika berbicara city branding, strategi komunikasi juga harus dibuat dengan baik. Kanal komunikasi yang terintegrasi harus dibangun, termasuk bagaimana mengemas message dengan baik. Kota tersebut juga harus memiliki aktivitas yang bisa menarik pendatang. Kota-kota seperti Jember dan Banyuwangi saling bersaing menarik wisatawan dengan festivalnya. Experiential marketing memang menjadi strategi yang banyak dipergunakan dalam city branding. Pengalaman melalui festival, kegiatan, pameran, dan lain-lain masih menjadi strategi ampuh yang banyak dijalankan.
Salah satu kota yang menawarkan experiential yang ekstrem misalnya dilakukan oleh Kota Pamplona di Spanyol. Setiap tahun di kota ini diadakan festival San Fermin dimana banteng-banteng dilepas di kota yang penuh sesak oleh pengunjung. Acara ekstrem tersebut memang membuat beberapa orang terluka karena diseruduk banteng, namun hal itu membuat kota ini banyak dikunjungi wisatawan dari mancanegara. Festival San Fermin adalah contoh penerapan experiential marketing dengan cara-cara yang unik, ekstrem, dan tidak ditemukan di tempat-tempat lain. Kreativitas yang ekstrem terkadang memang perlu dilakukan demi memenangkan persaingan antarkota.
Komitmen Para Citizen
Yang sering dilupakan oleh kota ketika melakukan branding adalah partisipasi dari para stakeholder di kota tersebut. City branding bukanlah komitmen dari pemerintah semata. Pemerintah harus mengajak semua pihak di kota tersebut untuk ikut berkomitmen memasarkan kota. Perusahaan-perusahaan swasta dan penduduk (citizen) harus dilibatkan secara aktif untuk menjadi duta-duta di kota tersebut. Sebagai contoh, kampanye Kota New York banyak dilakukan bukan saja oleh pemerintah, tetapi juga oleh para penduduknya. Kebetulan di kota ini memang banyak tinggal bintang Hollywood seperti Robert De Niro, Woody Allen, dan Spike Lee yang ikut mengampanyekan New York.
Tentu saja, penduduk di suatu kota tidak akan rela mengampanyekan kotanya jika mereka merasa tidak puas tinggal di kota tersebut. Oleh karenanya pemerintah kota juga harus membuat para penghuni merasa nyaman dan puas tinggal di sana. Tidak ada salahnya jika pemerintah kota melakukan survei kepuasan pelanggan kepada penduduk kota untuk melihat kepuasan dan kemungkinan mereka untuk ikut merekomendasikan kota mereka sebagai kota tujuan wisata, investasi, maupun tujuan lain.
Brand loyalty menjadi tujuan akhir dari kegiatan city branding. Kota harus melakukan engagement terus-menerus dengan para wisatawan, investor, maupun para pendatang lain. Loyalitas diperlukan agar mereka bisa kembali lagi ke kota tersebut atau memberi rekomendasi kepada orang lain untuk datang ke sana.
PJ Rahmat Susanta
Pemimpin Redaksi Majalah Marketing