CEO dan Efektivitas Marketing

Oleh: Godo Tjahjono

 

Tidak mudah untuk menjadi seorang CEO yang didukung penuh oleh mayoritas stafnya. Ada beberapa hal yang dapat menjatuhkan karisma seorang CEO sekaligus menghilangkan dukungan penuh dari mayoritas karyawan. Misalnya karena beberapa sebab berikut, pertama, pemahaman yang rendah akan bisnis yang dijalankan atau kurang cepat belajar tentang industri dan kompetisi yang sedang terjadi sehingga tidak memiliki rencana strategis, dan kecenderungan mengambil keputusan trial and error dengan gaya sok tahu.

Kedua, tidak memiliki disiplin yang baik dalam memimpin, dari hal yang sederhana—misalnya tepat waktu pada agenda yang telah disepakati baik dalam rutinitas sehari-hari maupun pada proyek yang dijalankan, hingga ke konsistensi implementasi terhadap keputusan yang diambil. Ketiga, terlalu memusatkan kekuasaan pada dirinya hingga menimbulkan kesan tidak dapat memercayai orang lain.

Keempat, umumnya terkait dengan hal-hal penyalahgunaan wewenang yang mengarah pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kemudian, kelima, perselingkuhan dalam lingkungan kerja atau aspek lain yang dianggap tidak sesuai dengan standar moral.

Tulisan ini tidak akan membahas mengenai aspek moral dan bagaimana seorang CEO memperoleh dukungan penuh dari karyawannya, namun lebih pada kemampuan yang harus dimiliki seorang CEO dalam berpikir dan bersikap menghadapi situasi dan mengatur perusahaannya dalam memastikan divisi marketing pada perusahaannya berjalan dengan efektif.

Efektivitas marketing atau marketing effectiveness menurut Webster (1995) dapat dikaitkan dengan aspek stable, long-term growth, enhanced customer satisfaction, a competitive advantage, dan strong marketing orientation. Sementara Kotler (1997) menyebutkan lima komponen dari marketing effectiveness, yakni customer philosophy, integrated marketing organization, adequate marketing information, strategic orientation, dan operational efficiency.

Secara praktis, penelitian yang dilakukan N. Gladson Nwokah dan Augustine I. Ahiauzu (2008) menggunakan semacam check list praktis dalam mengukur peranan manajemen yang dipimpin oleh seorang CEO dalam kaitannya dengan efektivitas marketing.  Pengukuran ini terbagi menjadi lima kategori dengan pendekatan pada konsep efektivitas marketing yang dikemukakan oleh Kotler.

Saya akan membahas setiap kategori dengan kondisi perusahaan di Indonesia yang pernah saya alami atau amati. Bila Anda seorang CEO atau ada di jajaran manajemen inti, tanyalah pada diri Anda sendiri atau gunakan pihak ketiga untuk mengaudit elemen-elemen berikut.

 

A. Customer philosophy

1.  CEO harus memahami pentingnya desain perusahaan yang tepat untuk melayani kebutuhan dan keinginan pasar yang dituju. Bila seorang CEO menempatkan banyak department head pada divisi marketing di tengah kompetisi yang memaksa perusahaan hanya dapat mengambil kue market share kecil pada tahun-tahun pertama, perusahaan akan lebih banyak diwarnai konflik dibanding effort untuk implementasi meraih jumlah pelanggan.

2.  CEO harus memahami perlunya perbedaan penawaran produk atau jasa untuk segmen pasar yang ditujunya. CEO bisa saja sangat yakin dengan suatu produk tertentu yang akan menjadi andalan perolehan revenue dengan memaksakan keunggulan produk yang ada atas keinginan calon pelanggan yang ternyata sudah dipenuhi perusahaan-perusahaan lainnya.

3.  CEO dalam perencanaan bisnis harus memiliki pandangan menyeluruh terhadap sistem pemasaran yang melibatkan customer, supplier, channel, competitor, dan environment. CEO tidak mungkin dapat mengambil keputusan yang benar bila pandangannya tidak menyeluruh, keengganan meng-update diri dengan perkembangan elemen-elemen sistem pemasaran merupakan kesalahan fatal yang bisa berakibat pada high cost learning dari eksekusi kebijakan yang gagal.

B. Integration and control of the major marketing functions

1.  CEO harus mampu mengintegrasikan dan mengontrol fungsi-fungsi pokok dalam pemasaran. Ada perusahaan yang di dalamnya sudah “terpecah” menjadi divisi berbagai produk yang tidak terintegrasi satu sama lain, dikelola oleh para product manager yang enggan berbicara satu sama lain. Sering kali pemisahan kategori produk adalah cara yang dianggap paling baik untuk menuntut siapa yang bertanggung jawab, namun kompetisi antarproduk tidak selalu menghasilkan hasil akhir yang baik. Adalah kebijakan seorang CEO untuk menciptakan tim pemasaran yang semuanya berorientasi mencetak gol untuk perusahaan, bukan memperbesar ambisi sebagai top scorer semata.

2.  CEO harus terlibat dalam pengelolaan research & development, marketing, manufacturing, purchasing, physical distribution, dan finance. Bagian-bagian dalam perusahaan ini sering kali tidak kompak dalam bekerja, kerap kali ada ego dan politik. Kebersamaan dalam membangun perusahaan memerlukan jajaran division head yang memiliki kualitas kepemimpinan yang baik.

3.  CEO memutuskan dan mengorganisasikan dengan baik kelompok produk-produk baru yang diluncurkan. Seorang CEO tidak selayaknya reaktif dalam menyikapi produk-produk pesaing yang ada di pasaran dan mendukung divisi pemasaran selalu melakukan upaya counter attack. Hal ini menunjukkan kurangnya pertimbangan terhadap core competency dan sasaran jangka panjang perusahaan.

C. Gathering adequate marketing information

1.  CEO harus memahami pentingnya marketing research untuk study customers, buying influences, channels, dan competitors.  CEO diharapkan mengambil keputusan yang tepat, namun CEO harus menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang selalu paling up to date tentang kondisi pasar dan kompetisi.

2.  CEO harus mempelajari sales yang potensial dan profitabilitas dari different market segments, customers territories, products, channels. CEO bisa saja terlalu terfokus dengan hal yang sedang menjadi proyek-proyek utama di perusahaannya sehingga melupakan potensi dari segmen, area, produk atau saluran distribusi yang layak untuk digarap. Sikap terbuka terhadap masukan dan kritis dalam menganalisis informasi adalah kunci untuk melihat berbagai kesempatan yang mendukung pencapaian sasaran perusahaan.

3.  CEO perlu memonitor dan memutuskan alokasi anggaran berdasarkan prioritas dan prinsip cost effectiveness untuk pos marketing expenditures. Ada kalanya seorang CEO berpikir sangat kompleks untuk alokasi anggaran yang tidak memiliki peran signifikan dalam laporan keuangan—sehingga meminta hitungan feasibility study berulang-ulang, tapi kurang jeli dalam melakukan kalkulasi untuk sebuah proyek yang berisiko besar hanya karena memandang orang yang mengajukan proyek atau preferensi pribadi terhadap proyek tersebut. Anggaran pemasaran yang sudah disetujui untuk dialokasikan sebaiknya dieksekusi tanpa campur tangan CEO lagi.

D. Existence of strategic orientation

1.  CEO harus mampu menyusun sasaran jangka pendek dan jangka panjang terkait dengan pemasaran secara hati-hati, sistematis didasarkan informasi yang up to date dan memadai. Apakah ada seorang CEO yang tidak memiliki kemampuan untuk menyusun sasaran pendek dan jangka panjang yang berkaitan dengan pemasaran? Nampaknya semua CEO bisa melakukan hal tersebut. Pertanyaannya, seberapa sesuai sasaran tersebut dengan kemampuan perusahaan dan peluang pasar? Masih sering terdengar CEO yang menyebutkan suatu angka tanpa dasar informasi yang jelas, terkini, dan memadai.

2.  Kualitas dari marketing strategy yang disetujui CEO haruslah jelas, inovatif, data-based, dan well-reasoned. Ada perusahaan yang bentuk marketing plan-nya terdiri atas target-target penjualan per produk yang direncanakan meningkat, namun tidak konkret soal inisiatif yang akan dilakukan, serta tidak ada data dan alasan yang mendukungnya.

3.  CEO harus meminta jajaran manajemen menyiapkan contingency plans atas uncontrollable marketing factors. Perubahan kebijakan perdagangan atau perkembangan situasi yang tidak menguntungkan bisa terjadi setiap waktu. Untuk itu secara reguler monitoring terhadap uncontrollable marketing factors perlu dilakukan seraya melakukan update terhadap contingency plans secara periodik.

E.  Operational efficiency

1.  CEO harus mampu membuat jajaran staf mampu menangkap arah strategi pemasaran perusahaan untuk diimplementasikan dengan baik. CEO yang baik mampu menyampaikan pesan sekaligus membangkitkan optimisme di kalangan karyawan.  Pesan bukanlah sesuatu yang harus disampaikan secara verbal, namun kebijakan-kebijakan perusahaan yang secara konsisten mengarah pada suatu pola pencapaian tertentu adalah pesan yang lebih mengena bagi karyawan.

2.  CEO memutuskan alokasi sumber daya dan keuangan jangka panjang yang sesuai dengan sasaran pemasaran. Tidaklah salah bila CEO meminta perhitungan return on marketing investment untuk setiap anggaran pemasaran yang dikeluarkan. Namun, bila CEO sendiri percaya bahwa semua hitungan harus kembali dalam waktu singkat dan menggunakan financial measurement yang sama, CEO seperti ini berwawasan sempit. CEO juga harus mengetahui bahwa gabungan sumber daya yang baik untuk sebuah divisi pemasaran adalah gabungan orang-orang yang kuat secara konsep dan implementasi.

3.  CEO harus menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang baik dan cepat tanggap atas perkembangan pemasaran yang terjadi.  Kepemimpinan yang baik adalah memberikan contoh yang baik dan cepat tanggap, artinya menanggapi semua masukan secara proporsional dalam waktu yang diagendakan.

Kelima aspek ini dapat menjadi ukuran kualitas CEO dalam efektivitas marketing yang akan membawa perusahaan meraih sasaran pemasaran. Tidak selalu divisi marketing saja yang patut bertanggung jawab atas ketidakberhasilan pencapaian target penjualan, CEO pun memiliki peran yang signifikan dalam menjalankan divisi marketing yang efektif beserta seluruh programnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.