Buatan Luar Negeri Dong….!!!

Pada tahun 2005, total impor produk dari China ke Indonesia menurut versi BPS tercatat sebesar US$ 202.702 juta, sedangkan data dari pabean China menunjukkan angka yang kira-kira tiga kali lipat. Cukup mengherankan bahwa terdapat perbedaan data yang demikian besar. Jadi, menurut BPS, selama 5 tahun terakhir ini, pertumbuhan produk impor dari China ke Indonesia sekitar 60% sedangkan menurut pabean China, bisa mencapai 300%.

 

Sebenarnya, tidaklah terlalu sulit untuk meragukan data yang dilansir BPS. Sebagai marketer atau bahkan sebagai konsumen awam, kita bisa dengan mudah melihat betapa serbuan produk China ke pasar Indonesia sudah demikian hebat. Dalam bidang elektronik, produk mereka semakin mudah terlihat di toko-toko, bersaing dengan produk yang berasal dari Jepang, Korea atau buatan Indonesia.

 

Lebih hebat lagi, kalau kita menengok industri mainan dan boneka. Kira-kira sekitar 70% boneka yang ada di pasaran Indonesia adalah buatan China. Demikian pula untuk produk tekstil, bahan bangunan, suku cadang, dan telekomunikasi. Dominasi produk-produk dari negeri tirai bambu ini semakin terlihat. Tidak jarang, harga dari produk China bisa sama dengan harga bahan baku yang harus dibayarkan oleh perusahaan Indonesia. Jelas, sangatlah sulit perusahaan Indonesia untuk bersaing.

 

Sebagian besar komentar dari para pelaku bisnis di Indonesia terhadap produk China adalah harganya murah dan bahkan, kadang-kadang, super murah. Asosiasi ini juga melekat kuat dalam benak konsumen Indonesia. Walaupun demikian, asosiasi ini sudah mulai semakin bergeser. Konsumen mulai menyadari bahwa produk buatan China, ada beberapa yang sudah menunjukkan kualitas yang baik. Tidak mengherankan, sebagian konsumen Indonesia akhirnya mau memilih produk China karena memberikan value yang tinggi; harganya murah tetapi kualitas masih cukup bagus atau bagus.

 

Sejalan dengan perubahan asosiasi ini, beberapa importir mulai berani menggunakan nama China sebagai endorser untuk meyakinkan bahwa produk yang mereka beli memiliki kualitas baik. Pelan tapi pasti, tren ini akan terus terjadi. Mungkin 10 tahun lagi, jumlah produk yang mengkomunikasikan bahwa produknya buatan Cina, akan sama dengan kondisi hari ini—di mana banyak produk mengatakan bahwa produk mereka buatan Amerika, Jepang, Jerman atau Korea.

 

Country of Origin (COO)

Persepsi konsumen Indonesia bahwa buatan luar negeri lebih baik adalah hal yang tidak terbantahkan. Survei yang dilakukan Frontier menunjukkan, untuk lebih dari 90% produk, persepsi terhadap buatan luar negeri selalu lebih baik ketimbang buatan dalam negeri. Tentunya ada banyak alasan yang membuat persepsi ini terbentuk. Pertama, memang buatan luar negeri punya kualitas lebih baik. Konsumen sudah mencoba, membandingkan dan akhirnya tertanam dalam persepsi mereka.

 

Alasan kedua adalah faktor gengsi. Dengan membeli atau menggunakan produk luar negeri, terutama bila negara tersebut memiliki gengsi lebih baik, maka konsumen merasa lebih bangga. Mereka bangga karena menjadi bagian konsumen global. Mereka bangga karena mampu membayar dengan harga lebih tinggi. Alasan ketiga, bisa terjadi karena nasionalisme konsumen Indonesia memang rendah.

 

Bangsa Korea atau Jepang, misalnya. Walau tahu, untuk beberapa produk, buatan dari negara Amerika atau Eropa lebih baik, mereka tetap mau menggunakan produk dalam negeri sendiri karena perasaan nasionalis. Kecuali, bila value yang ditawarkan berbeda demikian jauhnya. Ini jelas menguntungkan untuk industri domestik mereka. Pemerintah tidak perlu memerintahkan proteksi yang berlebihan agar industri dalam negeri mampu bersaing.

 

Dengan mengetahui karakter konsumen Indonesia seperti ini, maka penggunaan country of origin sebagai endorser, semakin marak. Sebagai marketer, kita tahu bahwa suatu merek yang memiliki ekuitas tinggi, menghasilkan daya tarik dan loyalitas yang tinggi, harus punya banyak asosiasi positif dan yang sesuai dengan purchase motive konsumen. Asosiasi-asosiasi ini dapat dibantu melalui strategi positioning yang tepat lewat fitur, benefit atau hal-hal yang bersifat emosional seperti pengalaman konsumen.

 

Asosiasi lain yang dapat dilekatkan kepada suatu merek adalah melalui pembentukan asosiasi sekunder. Ini bisa berupa penggunaan artis top yang memiliki asosiasi dan personality sama dengan yang diinginkan oleh merek tersebut. Endorser lain adalah nama negara pembuat atau yang dalam marketing biasa dikenal sebagai “country of origin (COO) effect”.

 

Efek COO ini berupa peningkatan image sebagai faktor untuk diferensiasi dan, yang terpenting, kemampuan produk tersebut untuk dapat memasang harga lebih tinggi. Karena banyak marketer tahu dampak dari COO sebagai endorser, tidak mengherankan, betapa banyak produk yang kemudian melekatkan nama negara asal.

 

Dalam text book Amerika, efek COO ini tidak banyak dibahas. Maklum, karena memang tidaklah terlalu relevan. Amerika percaya bahwa produknya relatif cukup baik. Kalaupun tidak, mereka lebih menentukan pembelian berdasarkan value dan bukan karena melihat nama negara pembuat. Buat mereka, asalkan produk tersebut memberikan value lebih, harga yang wajar dengan kualitas tinggi, maka mereka akan memilih merek tersebut— terlepas negara mana yang membuat.

 

Jadi, kita dapat melihat perbedaan yang besar antara konsumen di Amerika dan konsumen Indonesia. Efek COO ini jelas jauh lebih besar untuk konsumen Indonesia.

 

Lihat saja di berbagai industri. Dalam industri makanan dan minuman, banyak produk yang menyatakan bahwa makanan mereka berasal dari Amerika. Ini menjadi pemicu sebagian konsumen Indonesia untuk membentuk persepsi positif dan akhirnya memilih produk tersebut. Dalam industri elektronik, semua produk buatan Jepang dihargai lebih mahal. Untuk produk kosmetik, buatan Perancis dan Amerika akan dipersepsi lebih bagus. Untuk produk otomotif, Jerman dan Jepang adalah endorser yang baik.

 

Hasil survei Frontier tentang dampak COO terhadap keinginan konsumen Indonesia untuk membeli lebih mahal, memang agak mengejutkan. Hanya lantaran produk tersebut dibuat oleh negara yang punya persepsi lebih baik dari negara Indonesia, maka konsumen siap membayar dengan harga lebih mahal. Misalnya, untuk produk elektronik, setiap produk buatan Jepang haruslah berharga sekitar 30-50% lebih tinggi daripada produk dalam negeri.

 

Untuk produk seperti kosmetik, perbedaan menjadi sangat besar. Bila suatu kosmetik atau parfum mengklaim bahwa produk mereka berasal dari Perancis, maka konsumen Indonesia siap membayar sekitar 200-500%; berarti 2-5 kali lipat. Contoh ini akan terus berlanjut untuk kategori produk lainnya.

 

Bahkan untuk produk-produk pertanian, dampak dari COO ini juga jelas. Kalau semua buah dari Thailand, maka konsumen sudah siap membayar harga lebih mahal. Untuk jeruk saja, nama Pakistan sudah lebih menjual dari Pontianak.

 

Lalu, strategi dan langkah apa yang harus ditempuh produk dalam negeri untuk menghadapi hal ini? Apakah justru kemudian bersama-sama menggalakkan kampanye ”Aku Cinta Produk Indonesia“. Ini sungguh dilematis. Apakah perusahaan mampu melawan arus persepsi yang terbentuk saat ini? Konkritnya, apakah perusahaan berani melawan arus dan menetapkan bahwa buatan Indonesia juga bagus kepada konsumen?

 

Menurut pandangan saya, ada 2 hal yang dapat dilakukan. Pertama, marketer Indonesia yang kebetulan bekerja untuk perusahaan lokal atau merek asli dari Indonesia, haruslah melihat berapa besar dampak dari klaim COO ini. Pada beberapa produk, seperti semen, justru buatan Indonesia dipersepsi lebih baik. Bila ini terjadi, maka pastilah dampak klaim COO dari para pesaing tidak akan mengkhawatirkan.

 

Kedua, pada produk di mana dampak klaim COO akan besar, kita perlu membuat beberapa alternatif strategi. Bisa saja kita memilih segmen yang lain. Dampak COO ini biasanya memang lebih hebat untuk segmen kelas ekonomi atas. Karena itu, marketer dari produk dalam negeri bisa melakukan resegmentasi. Alternatif lain adalah memposisikan atribut positif sebagai merek dalam negeri. Sari Ayu misalnya, memposisikan diri sebagai merek kosmetik yang mempercantik wanita Indonesia karena mereka mengerti kebutuhan dan keinginan wanita Indonesia. Bahan-bahan yang mereka gunakan adalah sesuai dengan kondisi kulit wanita di Indonesia.

 

Bila dampak COO sedemikian dahsyat, mau tidak mau, merek tersebut haruslah diberi warna internasional. Ini bisa dilakukan dengan cara co-branding dengan merek internasional. Co-branding bisa dijalankan dalam konteks “ingredient branding”, yaitu bahwa produk kita juga menggunakan bahan berkualitas internasional. Ini bisa dilakukan oleh produsen komputer dalam negeri. Kita juga menggunakan Intel sebagai prosesor. Dengan cara seperti ini, kita mengeliminasi sebagian dari kekuatan produk impor karena kita menggunakan bahan yang memiliki reputasi internasional pula.

 

Melihat tren ke depan, sungguhlah tidak mudah bagi marketer yang menangani produk buatan dalam negeri. Pemerintah sebagai stakeholder, pada akhirnya harus mengelola sebuah merek besar yang terkenal: Indonesia. Sebab Indonesia sebagai merek, bila ekuitasnya turun, memiliki dampak yang sangat besar terhadap kemampuan bersaing produk-produk dalam negeri. Celakanya, konsumen kita sungguh tidak bisa dikontrol; semakin saja menyukai produk buatan luar negeri. “Buatan luar negeri, dong…!” pinta mereka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.