Briptu Noorman

Sekali lagi kita tercengang oleh kedahsyatan social media di Indonesia. Seorang polisi bernama Briptu Noorman tiba-tiba tenar hanya gara-gara joget “Chaiya”-nya di YouTube. Dengan gaya joget, ditambah rekan di sebelahnya yang tidak acuh membuat video tersebut terkesan lucu dan menyebar di mana-mana. Sampai-sampai, jumlah audiens yang menonton video ini pun tembus di angka 1,2 juta. Memang masih kalah dengan fenomena Sinta-Jojo (Keong Racun) yang bisa mencapai 6 juta views. Namun, thanks to media televisi dan aparat kepolisian yang ikutan mempromosikan “joget Chaiya” ini.

Kepolisian Republik Indonesia memang sempat geger. Setelah perdebatan sana-sini, akhirnya Polri mengambil kesempatan ini sebagai cara memperbaiki citra mereka di masyarakat. Entah seberapa jauh si Briptu bisa memperbaiki citra Polri, namun yang jelas si Briptu ini seolah menjadi bagian dari unsur kepolisian yang menghibur masyarakat. Mendadak sontak, laki-laki yang tadinya hanya bertugas jaga di sebuah pos Brimob di Gorontalo, punya jadwal yang padat untuk keliling Indonesia. Setiap tiba di satu lokasi, masyarakat berkerumun dan meneriakkan namanya dengan histeris, cuma untuk melihat dia bergoyang Chaiya saja.

Siapa pemilik merek yang tidak ingin seperti Briptu Noorman? “Produknya tidak terlalu unggul”, namun tiba-tiba mereknya melesat dan disukai banyak orang. Benarkah social media menjadi media yang efektif?

Di dunia, anggaran untuk marketing internet memang masih teramat kecil. Anggaran terbesar masih pada banner ads di internet, kemudian online search (search engine optimization). Untuk social media anggarannya hanya sekitar 3%. Mungkin karena social media relatif tidak berbiaya besar seperti banner dan SEO. Namun, iklan di social media sendiri bertumbuh 30% setahun. Artinya, para marketer semakin merasakan bahwa sosial media memiliki kekuatan untuk menarik perhatian konsumen terhadap merek.

Facebook, Twitter, dan YouTube adalah social media yang tergolong paling banyak dipakai di Indonesia sekarang ini. Kehadiran Facebook dan Twitter di dalam aplikasi ponsel menambah kekuatan keduanya sebagai media paling dekat dengan konsumen. Di Indonesia, sebagian besar akses Facebook dan internet dilakukan lewat ponsel, baik yang murah maupun mahal. Soalnya, konsumen bisa melakukan percakapan (conversation) dengan cepat. Tidak mengherankan jika isu-isu yang beredar di kedua media tersebut bisa cepat menyebar. Menariknya, sepertiga dari omongan yang ada di Twitter maupun Facebook itu kabarnya adalah soal brand. Ada orang yang ingin membeli barang tertentu meminta pendapat lewat Twitter atau Facebook. Mereka yang suka atau tidak suka dengan merek tertentu sama-sama berkomentar di jejaring sosial. Jadi, tinggal bagaimana Anda serius menggantikan perbincangan ini dengan perbincangan merek Anda. Sesudah itu, kaitkan social media marketing ini dengan kegiatan offline. Hasilnya: merek Anda seperti Briptu Noorman yang kelelahan menerima undangan dari mana-mana.

Jika demikian besar kekuatan social media bagi merek, mengapa banyak marketer masih belum mencobanya? Yang pertama, masih banyak marketer yang belum yakin apakah konsumen mereka benar-benar penggila media social. Kelompok pengonsumsi social media terbanyak adalah usia 18–29 tahun. Dari total pengguna di usia tersebut, mana yang benar-benar menjadi target pasar Anda? Lalu, bagaimana dengan kelompok usia lainnya? Itulah sebabnya, peranan lembaga riset untuk memberikan wawasan kepada marketer dalam hal ini menjadi penting.

Permasalahan kedua, masih banyak marketer tidak mengerti mulai dari mana harus menjalankan social media marketing. Apakah database yang mereka miliki cukup mumpuni untuk menjalankan social media? Oleh karena itu, pendidikan kepada marketer Indonesia memang perlu sering dilakukan. Sedikit promosi, majalah Digital Marketing yang dikeluarkan Marketing Group memang ditujukan untuk membantu marketer soal ini!

Namun, yang menjadi kendala terbesar sebenarnya adalah mengubah budaya marketing, dari yang konvensional ke digital. Bayangkan, Anda seorang marketing director yang terbiasa berurusan dengan placement media bernilai miliaran rupiah, bernegosiasi dengan agensi, bersosialisasi dengan para model iklan dan sibuk mengawasi shooting iklan. Kini Anda menggantungkan penjualan Anda pada seorang anak muda yang bermodalkan laptop dan sibuk ber-chit-chat di internet? Masuk akalkah?

Itulah sebabnya, masih banyak perusahaan wait and see untuk masuk ke social media marketing ini. Lebih banyak perusahaan berskala kecil, restoran, dan bahkan pribadi seperti Briptu Noorman yang ingin ngetop yang memanfaatkan media ini. Kalau saya ditanya, mengapa social media justru berkembang di kelompok UKM? Jawaban saya sederhana saja: kalau mereka punya bujet promosi miliaran rupiah, barangkali mereka berpikir untuk masuk ke media lainnya dulu sebelum masuk ke social media! Benarkah? (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.