Billboard Masa Depan

Marketing.co.id – Billboard LED diyakini bisa menjadi primadona baru media iklan luar ruang. Sifatnya yang atraktif dan dinamis mampu menutup kelemahan billboard konvensional. Tapi, mengapa pasarnya masih jauh di bawah billboard konvensional? Soal harga atau edukasi yang minim?

Ratusan orang berkumpul di halaman Times Square, New York. Mereka mengarahkan pandangan ke salah satu billboard besar. Tiba-tiba seorang wanita cantik muncul dari dalam billboard dan mengarahkan kamera polaroid ke arah kerumunan. Setelah memotret, wanita itu memperlihatkan hasil jepretannya ke arah kerumunan orang.

Sebagian melambai-lambaikan tangan ke arah billboard. Mereka tertawa dan berteriak melihat wajah mereka ada di dalam billboard tersebut. Inilah cara Forever 21, jaringan ritel fashion, menarik perhatian pejalan kaki di Times  Square. Yang digunakan bukan lagi billboard LED biasa, tapi billboard LED interaktif.

Menarik perhatian massa memang tidak mudah. Terlebih jika sasarannya adalah masyarakat urban yang supersibuk. Ini juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah ada habisnya bagi perusahaan atau merek. Pilihan media untuk beriklan memang bertambah, namun atensi masyarakat untuk menangkap pesan iklan juga terbagi.

Itulah sebabnya media luar ruang—atau dikenal juga dengan sebutan media luar griya—seperti billboard tidak pernah ditinggalkan oleh advertiser (pengiklan). Media konvensional, terutama TV dan media digital (internet), memang terus bertambah jumlahnya. Tapi, bagi pengiklan media tersebut belum cukup, mereka masih membutuhkan billboard untuk melengkapi aktivitas branding maupun memperkuat kegiatan bauran pemasaran (marketing mix).

Dibandingkan TV dan internet, billboard punya keunggulan dalam hal eksposur dan impresi pada suatu lokasi. Billboard memiliki eksposur yang tinggi karena umumnya diletakkan di jalan-jalan protokol atau jalan-jalan yang ramai dilalui orang atau kendaraan.

Ukuran yang lebih besar dari jenis iklan lainnya menjadikan billboard berpeluang untuk dilihat banyak orang (impresinya tinggi). Satu lagi keunggulan billboard, sebagai media luar ruang billboard menyatu dengan ruang publik, sehingga siapa pun bisa terpapar media ini.

Namun, billboard juga punya kekurangan. Sifat statis billboard menjadi titik lemahnya, sehingga daya tarik iklan yang disajikan lama-lama akan berkurang. Di sisi lain, billboard kurang adaptif terhadap tuntutan dunia bisnis yang serba cepat.

Pengiklan tidak bisa dengan segera mengganti materi iklan, karena harus mencetak ulang materi iklan. Kelemahan ini membuat billboard konvensional terasa kurang seirama dengan zaman yang sudah serba terdigitalisasi.

Karena itu, untuk menyelamatkan nasib billboard, media luar ruang ini perlu mengadopsi teknologi digital. Billboard LED merupakan sebuah jawaban kesiapan billboard beradaptasi di era yang semakin digital. Billboard LED dirancang untuk memenuhi tuntutan pengiklan akan billboard yang atraktif.

Hal ini lantaran materi iklan yang disajikan tidak lagi statis, melainkan gambar-gambar hidup. Teknologi LED memungkinkan hasil kualitas gambar yang tajam, sehingga menyaksikan iklan di billboard LED tak ubahnya menyaksikan iklan di TV.

Billboard LED sudah mulai muncul di beberapa lokasi di Jakarta. Beberapa perusahaan penyedia billboard mulai serius menggarap billboard LED. Rainbow Billboard, Media Indra Buana (MIB), dan Mahaka Advertising adalah beberapa vendor billboard yang telah memasukkan billboard LED sebagai portofolio bisnis mereka.

Kendala Harga

Pertumbuhan billboard LED di Indonesia masih biasa-biasa saja, kalau tidak mau dibilang lamban. Padahal billboard LED di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1990-an. Ada beberapa faktor yang menyebabkan billboard LED belum tumbuh signifikan. Pertama, billboard LED jauh lebih mahal dibandingkan billboard konvensional.

Untuk billboard LED berukuran 4X8 (meter) misalnya, biaya yang harus dikeluarkan pengiklan menurut Direktur PT Media Indra Buana (MIB) Sofie S. Wulandari, sebanding dengan dua billboard konvensional berukuran 8X16. Cukup mahal, wajar saja jika hanya perusahaan-perusahaan besar yang sanggup beriklan di billboard LED.

Menurut President Director Mahaka Advertising Agoosh Yoosran, mahalnya beriklan di billboard LED disebabkan masih terbatasnya pasokan suku cadang. Panel solar misalnya, masih bergantung pada PLN dan LED raksasa masih harus diimpor.

Hal tersebut membuat biaya pasang iklan di billboard membengkak. Kalau dihitung-hitung biayanya berkisar Rp 500 juta–Rp 3 miliar, ini belum menghitung ongkos konstruksi dan pemasangan.

Faktor lain yang menghambat pertumbuhan billboard adalah isu hemat energi dan tata ruang. Rainbow Billboard sempat terpukul dengan masalah tersebut, sehingga bisnis billboard LED-nya sempat stagnan.

Rainbow pernah memasang billboard LED di kawasan strategis Bundaran HI, Jakarta, pada awal tahun 1990. Namun, hanya bertahan beberapa tahun karena terbentur kendala tata ruang dan gerakan hemat energi dari pemda DKI.

Perusahaan vendor billboard bukan tanpa upaya untuk mengatasi berbagai persoalan di atas. Mahaka Advertising, misalnya, mencoba mengatasi kendala harga dengan menawarkan paket ritel. Caranya, satu titik billboard bisa diisi dengan empat merek sekaligus. Jadi, hitung-hitung keempat merek tersebut melakukan tanggung renteng agar biayanya terasa ringan.

Soal isu hemat energi, saat ini juga relatif tidak menjadi kendala berarti. Beberapa tahun lalu billboard LED memang dianggap boros listrik. Namun, saat ini billboard LED yang dikembangkan makin hemat listrik. Salah satu contohnya billboard LED yang dikembangkan Mediatronik Indonesia, selain mampu bertahan 100 ribu jam juga dilengkapi dengan fitur pengatur intensitas cahaya.

Masih Perlu Edukasi

Hingga saat ini kondisi pasar billboard LED di Indonesia seperti balita yang baru belajar berjalan. Padahal jika melihat perjalanan Rainbow yang telah mulai terjun ke pasar ini sejak awal tahun 1990, billboard LED di Indonesia harusnya bisa berlari lebih kencang.

Hanya MIB tampaknya yang mulai kelihatan pasarnya. MIB yang menguasai 100 titik LED dan 70 klien berani pasang target kenaikan penjualan sebesar 50% billboard LED tahun ini. Bahkan, MIB mengaku kewalahan melayani permintaan billboard LED.

Agar penetrasinya lebih kuat, edukasi pasar mesti digencarkan lagi. Para vendor bisa mengesampingkan persaingan lebih dahulu. Mereka mesti meyakinkan pengiklan bahwa billboard LED lebih mahal bukan karena faktor teknologi semata, tapi juga karena impresinya lebih tinggi dari billboard biasa.

Yang juga tidak kalah penting adalah mengubah pandangan iklan billboard LED sama dengan TVC. Meskipun sama-sama mengandung unsur visual, penekanan materi iklan billboard sebenarnya pada repetisi pesan. Beda dengan TVC yang masih mengandung unsur story karena sifat TV sebagai media audio visual.

Yayat Supriatna, Pengamat Tata Kota, melihat potensi billboard untuk berkembang di masa depan masih besar. Pertimbangannya, masyarakat semakin cerdas, siapa yang bias mencuri perhatian dengan informasi lengkap akan menjadi kekuatan untuk menguasai pasar media luar ruang. Ibaratnya, LED—secara visual—seperti memindahkan televisi ke ruang publik.

Di beberapa lokasi strategis, billboard LED mulai menggusur posisi billboard konvensional. Beberapa lokasi strategis, misalnya, menyinergikan billboard LED dengan bangunan pos polisi atau pos pemantau lalu lintas. Jadi, LED dapat disinergikan dengan lokasi sarana publik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.