Besar dan Kecil

Istilah kecil rasanya kurang enak di telinga konsumen. Mereka bisanya membeli yang kecil, namun maunya dianggap membeli yang besar.

Setiap merek banyak yang memiliki konsumen premium dan non premium. Demikian pula ada konsumen untuk produk high-end maupun konsumen produk low-end. Bank, misalnya, memiliki nasabah prioritas dan biasa. Begitu pula untuk handphone, ada konsumen untuk ponsel elas atas dan ada konsumen ponsel kelas bawah.

Kendati demikian, dalam beberapa kasus, kadang-kadang pemasar “tidak tega” untuk memberi nama yang inferior kepada kelompok konsumen yang lebih rendah. Seorang teman, yang biasanya mempergunakan moda pesawat terbang, pada suatu ketika salah memesan tiket kereta api. Dia memesan kelas bisnis untuk kereta api. Padahal, di Indonesia kelas bisnis kereta api tergolong tidak pakai AC. Ini berbeda dengan pesawat terbang di mana business class merupakan kelas yang tertinggi. Di kereta api, istilah kelas eksekutif berada di atas kelas bisnis. Di bawah kelas bisnis barulah disebut kereta kelas ekonomi. Kelompok menengah yang ingin bepergian dengan kereta api mungkin enggan atau tidak nyaman jika masuk ke gerbong kelas ekonomi karena dianggap masuk kereta ekonomi. Istilah bisnis lebih nyaman, sekalipun dia pergi bukan untuk urusan bisnis.

Jika sebuah restoran hanya memiliki dua ukuran gelas, daripada mempergunakan istilah “besar” dan “kecil” mereka memakai istilah “regular” dan “big”. Di dunia pendidikan kita ada istilah kelas reguler dan kelas eksekutif. Kelas eksekutif membayar lebih mahal, sedangkan istilah reguler menggantikan istilah kelas biasa. Sekalipun reguler juga berarti mahasiswanya masuk setiap hari. Beberapa tempat cuci-cetak foto mempergunakan istilah “normal” dan “jumbo”.

Dengan mengatakan “kecil” atau “biasa” perusahaan seolah memang merasa kehilangan value di mata pelanggan. Konsumen maunya membayar lebih murah, tapi tidak mau dianggap pembeli produk murah. Itulah sebabnya, untuk memenuhi aspirasi kelompok low-end ini, marketer mempergunakan istilah-istilah keren atau tidak memulai urutan ukuran dari kata ”kecil”. Terutama sekali ini terjadi untuk kelompok produk yang memiliki nilai gengsi yang kuat. Itulah sebabnya, istilah seperti reguler, normal, kompak, atau bisnis dipakai untuk menggantikan istilah kecil, biasa atau ekonomi. Bahkan istilah “single” dipersepsi lebih baik ketimbang kecil.

Strategi ini ternyata dianggap manjur untuk konsumen yang memiliki budaya menghargai kuantitas dibandingkan kualitas. Di Indonesia, kita sering lebih memberi value yang tinggi pada buku yang tebal dibandingkan buku yang tipis atau belum merasa kenyang kalau belum makan nasi yang banyak. Makanya, konsumen merasakan value berdasarkan istilah yang dipergunakan.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat pernah memperlihatkan bahwa mereka yang memakan makanan dengan label “big” ternyata merasa lebih kenyang dibandingkan yang mempergunakan label “small” padahal makanan yang disajikan jumlahnya sama. Bahkan ada yang mengaku tidak sanggup menghabiskan makanan dengan label “big”, atau keburu kenyang sebelum makan.

Cuma memang istilah-istilah tersebut bisa membingungkan konsumen jika si konsumen sering berada di situasi yang lain. Contohnya teman saya yang biasa naik pesawat terbang, lalu naik kereta api. Kejadian yang mirip dialami oleh teman saya yang lain. Teman saya ini sering salah memesan minum di kafe Starbucks. Dia tidak senang minum kopi terlalu banyak, oleh karena itu dia selalu membeli yang ukuran kecil. Namun pada saat pramusaji menawarkan apakah mau yang ukuran “tall” atau “grande”, dia selalu memilih “grande”.

Masalahnya di Starbucks ukuran terkecil disebut sebagai “tall” sedangkan ukuran medium sebagai “grande”. Sekalipun istilah grande juga berkonotasi besar, namun tall dianggapnya lebih besar dari ukuran grande. Gara-garanya sepele. Teman saya ini bertubuh kecil dan agak pendek sehingga istilah “tall” dia anggap lebih superior. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.