Bertumbuh dengan Komunitas

Efisiensi dan pelayanan adalah keharusan dalam bisnis ritel seperti Alfamart. Namun Alfamart sudah melangkah lebih jauh. Kini penguasa gerai minimarket itu mulai berpikir soal community development. Mereka memiliki banyak program soal yang satu ini. Bahkan merangkul traditional market.

Di tengah persaingan pasar yang semakin ketat, sebuah strategi yang pas wajib dipilih pemain supaya bisa menang atau minimal bertahan di arena pertandingan. Seperti yang terjadi pada Alfamart, berhasil membuktikan kepada lawan-lawannya akan kekuatannya lewat pertumbuhan bisnis yang begitu pesat.

Bayangkan, hanya dalam waktu singkat, kini outlet Alfamart sudah memiliki 3000 outlet, yang awalnya hanya 34 outlet. Dengan pertumbuhan yang mencapai 8-12% pertahun, jumlah ini diyakini kalangan ritel kelak akan mampu mengejar pendahulunya yang sudah lebih dulu bermain di bisnis minimarket yaitu Indomaret. Seperti di tahun 2009 Alfamart mentargetkan 500 outlet berdiri hingga akhir tahun.

Efisiensi & Pelayanan

Menurut Managing Director PT Sumber Alfaria Trijaya, tbk (Alfamart), Pudjianto, kunci sukses bermain di bisnis ritel hanya ada dua yakni efisiensi dan pelayanan. Efisiensi terkait dengan masalah cost.

Banyak orang salah kaprah ketika memulai sebuah usaha khususnya ritel, maka yang diperhatikan hanyalah bagaimana menarik pelanggan lewat harga yang murah. Padahal, yang seharusnya adalah bagaimana menjalankan bisnis dengan cost yang rendah.

“Karena bila cost-nya kecil, maka harga jual akan mengikuti. Namun bila retailer hanya mengoptimalkan dari sisi harga tetapi tidak menghiraukan cost sehingga mendapatkan marjin yang sangat tipis, maka akibatnya keberlanjutan usahanya bisa disangsikan,” jelas dia.

“Terlebih bisnis ritel yang bergerak di bidang minimarket. Dengan harga yang normal saja marjin yang didapat paling besar 3-4%. Apalagi yang jauh dibawah normal,” tambah Pudjianto.

Menurut dia, efisiensi cost itu bisa dimulai dari pemilihan barang yang akan di jual, penataan gudang yang efektif sehingga tidak membuang waktu ketika mencari barang, luasnya tempat parkir, cara memajang barang, jam buka toko dan lain-lain.

Efisiensi juga bisa diperoleh dengan menganalisa dengan baik data back office dan data lapangan, ditambah dengan sedikit intuisi serta inovasi-inovasi maka akan tercipta efisiensi yang tinggi. Intinya bila ingin memperoleh efisiensi yang maksimal, maka perusahaan harus “detil” melihat ke berbagai sisi, dan untuk “detil” maka diperlukan data yang cepat &  akurat untuk mengambil keputusan.

Lalu untuk pelayanan, Pudjianto mengatakan pelayanan yang baik tidak cukup hanya ramah kepada konsumen namun lebih dari itu harus berusaha menjadi mitra bagi si konsumen.  Untuk mencapainya memang butuh proses dan pengalaman yang matang. “Karena itu ketika kami merekrut karyawan, kami tidak pernah menekankan sisi pintar sebagai hal utama, namun harus punya kemauan untuk melayani,” ujar dia.

Pudjianto juga senang menekankan bahwa setiap karyawan Alfamart bukan dididik sebagai karyawan, melainkan sebagai entrepreneur.  “Syarat utama seorang entrepreneur selain business sense juga harus memiliki jiwa melayani yang tulus,” ujar dia.

Pudjianto mengungkapkan, salah satu bukti pendidikan entrepreneur Alfamart bagi karyawan adalah melalui program operator mandiri. Karyawan yang dinilai memiliki integritas tinggi dalam bekerja, meski hanya seorang pramuniaga, statusnya bisa menjadi kepala toko dahulu untuk kemudian ditawarkan sebuah outlet untuk dikelola sendiri yang dikenal sebagai program operator mandiri.

Bagi karyawan yang sudah mencapai posisi tersebut, maka status mereka bukan lagi sebagai karyawan melainkan mitra Alfamart. “Jadi mitra Alfamart terbagi atas dua kelompok yakni mitra franchise dan operator mandiri,” jelas dia.

Berbicara soal mitra, Pudjianto mengatakan Alfamart cukup concern dengan yang satu ini. Mulai dari program Kartu member Alfamart (Kartu AKU) hingga ke usaha kecil (warung) yang berada di sekitar lingkungan Alfamart berada, yang dikenal dengan “program Alfakios”, bahkan hingga ke pemasok.

“Karena di dunia ini kita tidak dapat hidup sendiri, satu sama lain pasti saling membutuhkan. Karena itu menjaga hubungan baik sangatlah penting dilakukan,” jelas dia.

Visi Alfamart

Bahkan Pudjianto mengungkapkan salah satu visi Alfamart adalah menjadi jaringan distribusi ritel terkemuka yang dimiliki masyarakat luas. Selain itu visi lainnya adalah berorientasi kepada pemberdayaan pengusaha kecil, pemenuhan kebutuhan dan harapan konsumen, serta mampu bersaing secara global.

Untuk mewujudkan hal tersebut Alfamart telah menempuh beberapa upaya, salah satunya adalah “program Alfakios”. Alfakios merupakan program kerjasama Alfamart dengan Kementrian Koperasi dan UKM, Dept. Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dept. Perdagangan serta pemerintah daerah setempat. Di sini Alfamart membantu UKM (Usaha Kecil Menengah) dengan bertindak sebagai pendamping UKM, dimana bukan hanya berperan menangani supply barang, tapi juga dalam hal peningkatan kemampuan mereka tentang manajemen ritel.

“Artinya bila mereka kehabisan stock barang di warung, mereka bisa membelinya di Alfamart dengan harga yang pas untuk dijual kembali. Sistem ini tidak mengikat, artinya bila mereka ingin membeli ke pemasok lain pun boleh,” jelas dia.

Menurut Pudjianto sejak dioperasikan tahun lalu, jumlah UKM yang menjadi member “Alfakios” sudah mencapai 12.000 member. Angka tersebut mengindikasikan animo pelaku usaha kecil terhadap program ini sangat besar. Selain itu juga mengartikan bahwa kehadiran modern outlet yang selama ini dianggap menggusur traditional market atau outlet adalah tidak benar.

“Menurut saya, masyarakat atau pemerintah tidak perlu khawatir kehadiran modern outlet akan mengganggu pertumbuhan dan ruang gerak pasar atau toko tradisional. Karena sampai kapanpun pasar atau toko tradisional itu tidak akan pernah mati,” tegas dia.

Kehadiran modern outlet hanya ingin menjawab sebagian kebutuhan pasar di masa sekarang yakni menjawab perubahan perilaku konsumen modern yang menginginkan adanya pasar atau toko  yang bersih, tidak becek dan tertata rapi.

“Sebab sampai kapanpun orang pasti selalu ingin bahkan mungkin rindu untuk  membeli ikan, daging, sayur, bumbu yang segar, berharga murah dengan suasana pasar yang ramai. Dan itu hanya bisa ditemukan di pasar tradisional,” jelas Pudjianto.

Sementara mengenai hubungan mitra dengan pemasok, Alfamart menganggap bahwa hubungan dengan pemasok tidak terbatas pada hubungan bisnis saja. Namun juga harus ada hubungan emosional. Artinya ketika pemasok mengalami masalah, Alfamart tidak akan berdiam diri dengan tidak membantu. “Selain hubungan emosional dasar hubungan kami pun selalu didasarkan pada prinsip keterbukaan dan saling mengoptimalkan satu sama lain,” ujar Pudjianto.

Dengan dasar prinsip tersebut, hingga sekarang Alfamart tetap mendapatkan kepercayaan penuh dari para pemasok untuk menjual dan memasarkan barang-barang dari mereka.

Terkait syarat menjadi pemasok di Alfamart, menurut Pudjianto itu bukanlah hal yang sulit. Calon supplier cukup memahami visi dan misi Alfamart, bisa memenuhi standar yang diajukan dan saling menguntungkan.

“Begitu juga dengan syarat menjadi mitra franchise di Alfamart, syarat yang terpenting adalah satu visi dengan kami. Jadi tidak hanya sekadar investor menaruh modal lalu selesai begitu saja,” tukas dia.

COMMUNITY STORE YANG RAMAH LINGKUNGAN

Memilki visi yang sama itu penting, karena dengan begitu bisnis akan berkembang sesuai harapan. Karena menjalankan bisnis juga tidak selalu harus mengejar keuntungan terus.  Cita-cita Alfamart sendiri yang kini sedang berusaha diwujudkan adalah menjadi community store atau toko yang dimiliki oleh masyarakat. Harapannya, Alfamart bisa menjadi bagian dari lingkungan masyarakat sekitar dan menjadi tempat meminta solusi.

“Saya ingin suatu saat nanti, misalnya Alfamart bisa menjadi garda depan ketika terjadi musibah di lingkungan masyarakat. Seumpama terjadi kebanjiran, maka pasukan merah Alfamart lah yang berada di lokasi lebih dulu untuk memberi pertolongan,” kata Pudjianto

Kemudian dia mencontohkan, salah satu tindak nyata Alfamart pernah dimulai ketika terjadi krisis minyak goreng dahulu, Alfamart selalu memberikan harga minyak goreng yang wajar kepada konsumen dan tidak menaikkan harga secara sembarang. “Itu termasuk salah satu kelebihan modern outlet, yakni harga yang terkontrol meski terjadi krisis sekalipun,” tegas dia.

Menjadi community store bukanlah cita-cita semu Alfamart karena dasar keinginan mewujudkan cita-cita ini berkaitan dengan history pendirian Alfamart sendiri (Alfa Group) di tahun 1999. Ketika itu  diawali dari keinginan para share holder yang berniat mendirikan sebuah toko untuk melayani kebutuhan masyarakat terutama rokok pasca kerusuhan Mei 1998.

Namun seiring berjalannya waktu, kemudian share holder yang berasal dari grup Sampoerna melihat adanya opportunity yang bagus di bisnis ini. Sejak itu, visi dan misi yang baru pun dibentuk yang disertai perekrutan tim manajemen yang baru.

“Dalam tahap awal belajar, kami hanya berhasil mengembangkan sebanyak 34 outlet dari tahun 1999-2001, akan tetapi selepas dari masa itu lonjakan jumlah outlet kami terus berkembang pesat terlebih setelah adanya pengembangan franchise dan menjadi perusahaan publik,” kenang Pudjianto.

Kemudian berbicara soal strategi, dia mengungkapkan bahwa ketika membuka outlet, pihaknya akan melakukan survei terlebih dahulu segmen dan target market di sebuah wilayah dimana Alfamart akan dibuka. Hal itu dimulai dengan siapa yang akan menjadi calon konsumennya, daya beli, bentuk outlet yang pas untuk dibangun nanti dan lain-lain.

“Umumnya, target kami adalah ibu-ibu yang menginginkan suasana belanja yang nyaman dan tidak menjadikan tawar menawar sebagai faktor utama, karena mereka sudah mengerti akan harga yang pas, dan kita menghargai waktu mereka yang sangat berharga” jelas dia.

Sedangkan dari sisi segmentasi, kelas konsumen yang paling banyak dibidik Alfamart adalah menengah ke bawah. Namun tidak menutup kemungkinan status sosial ekonomi B+ dan A juga ada.

Selanjutnya untuk penetapan harga, banyak komponen yang menjadi pertimbangan dalam menentukan harga sebuah produk. Seperti harga dari pemasok, dan biaya-biaya. “Misalnya ketika memberikan diskon, maka kami harus melihat dahulu kira-kira produk apa yang bila diberikan diskon akan menaikkan penjualan. Misalnya barang-barang kebutuhan konsumen, dimana mereka mau beli lebih banyak dari hari-hari biasanya, “ jelas Pudjianto.

“Intinya strategi apapun yang dipilih Alfamart, tujuannya akan tetap selalu berusaha mewujudkan tagline yang juga menjadi positioning kami yakni ‘belanja puas, harga pas,” tambah dia.

Tugas selanjutnya adalah menarik pengunjung dan menjaga agar konsumen  tetap loyal terhadap Alfamart, melalui loyalty program. Alfamart juga memiliki program marketing yang bertema “Alfamart Sahabat Indonesia, Satu Hati Berbagi Untuk Indonesia” yang terdiri dari 5 bidang kegiatan : Alfamart Vaganza, aktivitas seni & budaya, Alfamart Smart yang concern pendidikan, Alfamart Sport yang berhubungan dengan olahraga, Alfamart Care yang berhubungan dengan CSR dan Alfamart Clean & Green yang berhubungan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup.

Dalam strategi mengembangkan gerainya, Alfamart juga telah concern dengan konsep ramah lingkungan. Misalnya penggunaan penyejuk ruangan (AC) dengan refrigerant hydro carbon, penggunaan lampu dengan balast elektronik, penghematan daya listrik dengan pengukuran ketinggian toko yang optimal, pemanfaatan biopori serta mulai melakukan pembatasan kertas struk belanja dan kantong plastik.

Seluruh program itu dimaksudkan untuk mengokohkan store equity Alfamart di pasar serta sebagai salah satu bagian campaign untuk mewujudkan cita-cita Alfamart menjadi community store.

“Menjadikan Alfamart menjadi community store yang ramah lingkungan serta mampu mengembangkan jiwa wirausaha di bumi pertiwi merupakan  cita-cita seluruh insan Alfamat di masa depan”. terang Pudjianto.

RITEL DI MASA DEPAN

Menyinggung soal prospek bisnis, Pudjianto mengatakan bisnis minimarket hingga tahun-tahun ke depan akan tetap berprospek cerah. Dengan modal 250 juta penduduk yang bertumbuh setiap tahunnya dan pola berpikir konsumen yang akan selalu mengarah ke “efisiensi” dan ingin “dilayani” menjadikan kebutuhan akan minimarket berkembang terus.

“Di Jepang dan Thailand saja, yang penduduknya jauh lebih kecil dari Indonesia, jumlah outlet minimarket yang berdiri sudah mencapai 20 ribu outlet. “Coba bayangkan di Indonesia?”, tanya dia.  Jadi, jangan kita terjebak dengan dikotomi antara modern retail dengan traditional retail. Di dunia ini semua berubah ; perilaku konsumen berubah, teknologi juga berubah, tidak ada seorangpun yang bisa menghentikannya. Mau tidak mau kita juga harus berubah, seperti kata pepatah, “berubah atau mati”. Sudah seharusnya semua pihak bergandengan tangan, sehati, sejiwa dan sepemikiran agar retail Indonesia baik modern, maupun tradisional dapat bertumbuh dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “ tegasnya. (Andri Darmawan/www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.