Beradaptasi dengan “Sharing Economy”

Sharing economy” tiba-tiba menjadi jargon yang populer sejak demo PPAD yang berakhir rusuh kemarin. Banyak yang berpendapat bahwa kerusuhan tersebut disebabkan pebisnis konvensional (dalam hal ini perusahaan taksi) tidak siap menghadapi perubahan. Utamanya perubahan yang dimaksud adalah hadirnya model bisnis “sharing economy” di industri tersebut lewat startup aplikasi online seperti Uber dan Go-Jek.

sharing economy

Pendapat tersebut tidak salah, meskipun belum tentu benar. Mengapa belum tentu benar? Jawabannya ada pada cara kita memaknai “sharing economy” itu sendiri. Per definisi, “sharing economy” dimaknai sebagai kolaborasi dalam konsumsi, dimana pemilik barang (atau jasa) bersedia meminjamkan sisa utilisasi yang masih ada pada barang/jasa tersebut kepada orang lain.

Jika kita terapkan definisi tersebut pada model bisnis Uber dan Go-Jek, maka sekilas akan terlihat fit. Namun, kesesuaian tersebut bisa berubah menjadi pertanyaan jika kita mendapati fakta bahwa: (1) aplikasi tersebut disuntik modal yang besar, dimana ada porsi yang signifikan untuk memberikan subsidi harga kepada konsumen dengan tujuan memindahkan mereka dari menggunakan taksi konvensional; (2) aplikasi tersebut membuat aturan pricing dan profit sharing yang bersifat satu arah, dimana partner (pengemudi) tidak memiliki hak untuk bernegosiasi.

Kedua hal tersebut membuat terminologi “sharing economy” tidak 100% tepat untuk menjelaskan fenomena dan cara kerja aplikasi online yang ada saat ini. Terdapat bagian dari proses bisnis pada aplikasi online tersebut yang kurang mencerminkan semangat berbagi yang melandasi “sharing economy”.

Lalu, mengapa penting bagi kita untuk memaknai “sharing economy” ini dengan lebih tepat?

Ini karena pebisnis konvensional perlu memahami pesaing baru mereka (aplikasi online) tersebut secara lebih baik. Dengan menjadi lebih paham, diharapkan pebisnis konvensional tidak lagi gamang dan lebih bersemangat untuk segera beradaptasi dengan tren baru ini.

Tantangan Adaptasi

Untuk beradaptasi, pebisnis konvensional perlu mengerti bagaimana “sharing economy” bekerja.

Mari kita mulai dengan melihat anatomi aplikasi online yang disebut-sebut menerapkan model bisnis “sharing economy” tersebut. Kita ambil Uber dan Go-Jek sebagai contoh untuk memberikan ilustrasi, meskipun berdasarkan argumen saya di atas, keduanya tidak secara 100% bisa dikatakan sebagai sebuah skema “sharing economy”.

Kekuatan dari model bisnis Uber dan Go-Jek adalah harga yang bisa relatif lebih murah dibanding model bisnis konvensional. Harga murah ini didapatkan dari kombinasi subsidi (dari uang yang ditanamkan venture capital) dan biaya operasi yang rendah (lean operation).

Sebagai ilustrasinya, Uber bisa memberikan tarif 30% lebih murah dibandingkan taksi konvensional untuk jarak yang sama. Begitu juga dengan Go-Jek yang tarifnya jauh lebih murah daripada tukang ojek pangkalan.

Selain murah, kekuatan lainnya adalah adanya experience saat menggunakan aplikasi online, yang secara tidak langsung bisa mengubah pola perilaku konsumen. Contoh perubahan tersebut di antaranya; pengguna Uber tidak perlu lagi membawa cash, bisa memprediksi kapan mobil akan datang, menentukan sendiri lokasi penjemputan, dan memonitor jalur yang akan diambil oleh pengemudi.

Konsumen umumnya bersikap positif terhadap experience baru ini, dan kemudian tidak sedikit yang mengadopsinya secara permanen (dan akhirnya meninggalkan taksi konvensional).

Kedua kekuatan ini dimiliki oleh hampir semua aplikasi online yang masuk ke berbagai industri dengan konsep “sharing economy”.

Lalu, bagaimana cara pebisnis konvensional meredam dua kekuatan ini?

Untuk bisa meredam, pebisnis konvensional perlu segera beradaptasi. Masalahnya, tidak mudah bagi pebisnis konvensional untuk segera bertransformasi mengikuti model bisnis baru tersebut karena beberapa faktor berikut:

Pertama, model bisnis “sharing economy” berusaha sedapat mungkin untuk tidak memelihara “asset” dan “inventory”. Aset, misalnya kendaraan, dimiliki oleh tiap-tiap partner (dalam hal ini pengemudi). Dengan demikian, perusahaan startup bisa bergerak secara lebih gesit dan fleksibel dalam merancang strategi pemasarannya.

Hal ini tidak dimiliki oleh pebisnis konvensional. Mereka cenderung memiliki aset yang besar. Misalnya dalam kasus taksi konvensional, kendaraan taksi dimiliki perusahaan dengan jumlah bahkan hingga ribuan unit.

Kedua, menjalankan startup aplikasi online tidak memerlukan jumlah pegawai yang besar. Hal ini karena partner (misal: pengemudi) bersifat independen, bertindak atas dirinya sendiri. Perusahaan startup hanya perlu memberikan pelatihan dan pembinaan terhadap mereka untuk melakukan standarisasi jasa atau produk.

Ini berbeda dengan pebisnis konvensional yang harus memiliki ratusan bahkan ribuan pegawai. Mereka semua adalah karyawan perusahaan yang harus dikelola dengan hati-hati, diberikan gaji, insentif, asuransi, dan benefit yang jumlahnya terus meningkat seiring dengan lama kerja.

Ketiga, penggunaan aplikasi online bisa mengubah perilaku konsumen. Dengan aplikasi online, mereka bisa menemukan cara baru yang lebih efisien dan efektif bagi konsumen dalam proses delivery produk atau jasanya. Bahkan beberapa aplikasi online bisa dikustomisasi untuk memberikan experience konsumsi yang spesifik bagi tiap user. Misalnya layanan Go Food dari Go-Jek.

Sementara di bisnis konvensional, pola dan perilaku konsumen mereka dibangun dengan cara experience langsung yang dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan kebiasaan. Karenanya, perusahaan konvensional lebih sulit mengubah perilaku konsumennya dengan cepat.

Ketiga hal tersebut merupakan handicap pebisnis konvensional dalam bersaing melawan startupsharing economy”.

Lalu, bagaimana pebisnis konvensional bisa mengakali handicap ini agar tetap memiliki daya saing?

Pendekatan Adaptasi

Ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan sebuah bisnis konvensional untuk beradaptasi dengan “sharing economy”.

Pertama, pebisnis konvensional perlu beradaptasi dengan “sharing economy” secara kreatif dan inovatif. Berpikirlah selayaknya anak-anak muda yang mendirikan startup aplikasi online. Rekrutlah anak-anak muda yang pintar, kalau perlu yang pernah bekerja di startup aplikasi online, lalu berikan mereka keleluasaan untuk mengembangkan strategi untuk melawan aplikasi online tersebut.

Strategi ini dalam sejarah pernah dilakukan oleh para samurai di Jepang. Sebagaimana digambarkan dalam film Tom Cruise berjudul The Last Samurai, kita bisa melihat saat itu pemerintahan Meiji mencanangkan program agar bangsa Jepang segera beradaptasi dengan teknologi persenjataan baru (senjata api dan senapan mesin).

Hasilnya, Jepang menjadi satu dari sedikit bangsa di Asia yang bisa membendung kolonialisme barat. Mereka cepat mengadopsi strategi peperangan modern dengan senjata api sebagai teknologi disruptif yang merupakan kunci yang mengubah lanskap pertempuran.

Kedua, pebisnis konvensional harus membuat aplikasi online-nya sendiri. Ini untuk mempercepat proses mengadopsi hal-hal positif yang dimiliki oleh aplikasi online milik lawan, terutama terkait efisiensi yang bisa diciptakan dalam interaksi dengan konsumen.

Agar proses adopsi berjalan cepat, pebisnis konvensional perlu mencangkokkan aplikasi online versinya sendiri tersebut ke dalam operasional perusahaan. Aplikasi tersebut harus bisa menduplikasi experience yang sama kepada konsumen dengan experience yang mereka dapatkan dari aplikasi online (misal: Uber).

Ketiga, pebisnis konvensional perlu menemukan cara untuk membuat harganya lebih kompetitif, agar bisa bersaing dengan perusahaan startup online. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah mengoptimalisasi aset yang dimiliki (misalnya dalam hal ini kendaraan taksi).

Sebagaimana kita ketahui, tingkat okupansi taksi konvensional cukup rendah. Untuk mengurangi rendahnya tingkat okupansi tersebut, taksi konvensional bisa menggunakan aplikasi yang mereka kembangkan sendiri untuk meningkatkan utilisasinya.

Jika tingkat okupansi sudah tinggi, maka skema setoran bisa diubah dengan basis jumlah total tarif yang dibayarkan penumpang hari itu. Skema ini akan lebih fair, baik untuk sopir maupun penumpang, dan berpotensi membuat harga lebih kompetitif.

Itulah tiga pendekatan yang bisa diambil untuk mempercepat proses adaptasi bisnis konvensional terhadap hadirnya “sharing economy”. Kita mahfum bahwa adaptasi ini akan memerlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Karena itu, mari kita berikan semangat kepada mereka yang ingin berubah!

Harryadin Mahardika

Kepala Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (MMUI)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.