Marketing.co.id –Â Belanja iklan di tahun 2012 diperkirakan akan menembus lebih dari Rp90 triliun. Bila ini terjadi, maka untuk tiga tahun berturut-turut, belanja iklan nasional akan naik di atas 20%. Angka pertumbuhan belanja iklan di Indonesia jelas lebih baik dibanding dengan pertumbuhan belanja global yang pada tahun ini diperkirakan hanya bertumbuh sebesar 3,8%. Di tahun 2011, total belanja iklan dunia juga hanya bertumbuh sebesar 4% dan belanja iklan di Indonesia tumbuh 22%.
Di seluruh dunia, total iklan belanja di Indonesia bisa mencapai sekitar 1,8% dari total belanja dunia. Ini jelas persentase yang cukup besar dan bahkan lebih besar dari persentase GDP Indonesia terhadap GDP global. Dari angka belanja iklan ini, terlihat sekali bahwa pelaku bisnis Indonesia sangat optimistis akan prospek pasar di Indonesia. Perusahaan-perusahaan mau meningkatkan belanja iklan mereka sebagai upaya untuk membangun merek atau merebut pangsa pasar.
Angka Rp90 triliun ini akan dinikmati oleh media-media konvensional seperti televisi, koran, majalah, radio, billboard, dan bioskop. Televisi jelas akan mendapatkan porsi terbesar—berkisar 60%—dan kemudian iklan media cetak. Tidak mengherankan, harga saham perusahaan-perusahaan media televisi di Indonesia terbang tinggi selama dua tahun terakhir ini.
Belanja iklan global di tahun 2012 ini, menurut perkiraan Zenith Optimedia, mencapai US$495 miliar. Dari total belanja iklan ini, TV mendapatkan porsi 40,4%, koran 18,7%, majalah 8,9%, radio 7%, billboard dan media luar ruang lainnya sebesar 6,9%, bioskop 0,5%, dan internet mendapatkan porsi sebesar 17,6%. Untuk tahun-tahun selanjutnya, porsi internet akan semakin meningkat dan media lainnya akan semakin menurun.
Iklan internet sebanyak 17,6% atau senilai US$85 miliar. Dari nilai ini, sebesar hampir 50% diambil oleh perusahaan search engine, terutama Google. Setelah itu, iklan banner dan display sebesar 25%, video atau rich media sebesar 10%, dan sisanya adalah iklan digital dalam bentuk klasifikasi atau direktori, mobile, dan email.
Lalu, berapa besarkah belanja iklan digital di Indonesia? Dalam bentuk iklan apakah mereka membelanjakan bujet iklannya? Inilah dua pertanyaan yang besar bagi para marketer di Indonesia. Sampai saat ini, tidak ada data yang tersedia untuk memberi jawaban atas kedua pertanyaan ini. Yang ada hanyalah dengan melihat pendapatan dari berbagai media digital di Indonesia, terutama portal berita di Indonesia, seperti detik.com, kompas.com, kaskus.com, vivanews.com, dan portal-portal lainnya. Iklan di berbagai media digital seperti Facebook, Google Adwords, LinkedIn, dan lain-lain relatif tidak mudah diperoleh data pendapatannya dari perusahaan Indonesia.
Dalam sebuah konferensi digital marketing baru-baru ini di Jakarta, seorang eksekutif Google menanyakan kepada saya, apakah estimasi belanja media digital di Indonesia sebesar Rp750 miliar cukup realistis? Saya jawab, estimasi yang cukup baik, walau saya akan lebih memilih angka yang sedikit lebih rendah, yaitu sekitar Rp600 miliar. Jadi, berapa persen nilai belanja iklan media digital di Indonesia?
Belanja iklan yang sebesar Rp90 triliun di tahun 2012 adalah nilai gross. Artinya, angka ini diperoleh dari harga iklan yang dipublikasikan oleh tiap-tiap media. Biasanya, berbagai media akan menawarkan diskon dan juga bonus. Bila diasumsikan bahwa nilai net-nya adalah sekitar 60%, maka total belanja iklan net di Indonesia di tahun 2012 adalah Rp54 triliun. Bila belanja iklan media digital adalah Rp600 miliar, maka iklan internet di Indonesia hanyalah sekitar 1,1%, jauh di bawah iklan internet global yang mencapai 17,6%.
Memang sedikit mencengangkan bila melihat jumlah pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai 70 juta. Demikian pula dalam hal jumlah pengguna media sosial. Indonesia bahkan termasuk 5 besar di dunia dalam hal media sosial. Lalu, mengapa iklannya masih relatif kecil? Apa yang membuat banyak perusahaan di Indonesia masih enggan mengalokasikan bujet mereka untuk media internet?
Saya yakin, banyak faktor yang dapat memberi penjelasan untuk hal ini. Pertama adalah pengetahuan dari para pelaku bisnis dan pemilik merek di Indonesia yang relatif minim dalam hal teknologi digital. Akibatnya, mereka masih kurang yakin terhadap efektivitas dari media digital. Proses pengukuran efektivitas dari media digital ini masih sangat minim dan mungkin hanya beberapa puluh perusahaan di Indonesia saja yang melakukan pengukuran terhadap efektivitas media digital.
Faktor kedua adalah minimnya kisah sukses dari merek-merek atau perusahaan di Indonesia yang berhasil meningkatkan penjualan atau meningkatkan ekuitas merek dengan hanya mengandalkan media digital. Yang sering menjadi contoh, biasanya hanyalah perusahaan dengan skala kecil dan umumnya banyak yang menggunakan media sosial. Cerita kesuksesan ini akhirnya menjadi faktor penting bagi para marketer untuk mau meningkatkan bujet iklan di media digital.
Ketiga, tentu saja adalah dari medianya sendiri. Iklan internet di Indonesia yang terbanyak adalah dalam bentuk iklan banner dan display. Portal-portal berita telah banyak aktif untuk menawarkan dan memberikan edukasi. Tidak mengherankan, porsi iklan banner dan display di Indonesia terbesar. Di sisi lain, search engine dan media sosial besar seperti Facebook dan YouTube belum banyak melakukan edukasi selama ini.
Keempat adalah dari karakter pengguna digital di Indonesia sendiri. Pengguna internet di Indonesia masih dominan dalam hal media sosial. Facebook masih menjadi situs yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia. Penggunaan media sosial ini lebih banyak untuk hal-hal yang tidak produktif. Pengguna internet di Indonesia juga banyak yang mengakses dari ponsel. Padahal, iklan-iklan di layar ponsel jelas tidak bisa banyak karena kecilnya ruang untuk beriklan. Selain itu, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh mereka yang berusia muda. Dalam hal ini, banyak perusahaan atau pemilik merek merasa bahwa iklan di media digital tidak mampu menjangkau sebagian besar dari target mereka.
Masa Depan Iklan Internet
Walaupun demikian, semuanya ini tinggal menunggu waktu. Dari tahun ke tahun, iklan media digital akan semakin meningkat. Pada tahun 2013, saya perkirakan akan bertumbuh minimal 30%. Pertumbuhan terutama melalui iklan paid search di search engine, video atau rich media dan iklan di ponsel. Porsi iklan display atau banner akan semakin mengecil, mengikuti apa yang terjadi di negara-negara maju.
Pengguna internet di Indonesia akan semakin canggih. Pemakaian media digital juga pasti semakin berkomitmen untuk melakukan edukasi di pasar Indonesia. Generasi muda yang paham digital akan semakin mendapatkan posisinya untuk mengambil keputusan terhadap alokasi bujet iklan di perusahaan. Semua faktor ini, yaitu konsumen yang semakin cerdas, media dan pelaku bisnis yang semakin siap, akan mendorong pertumbuhan belanja iklan digital di Indonesia lebih cepat.
Pada tahun 2015, dugaan saya, iklan di media digital akan bisa mencapai 5% hingga 6%, dan setelah itu akan melaju lebih kencang lagi. Total pertumbuhan belanja iklan nasional setelah itu tidak akan tinggi lagi. Mengapa? Pada saat itu, paid media akan semakin bergeser ke owned media dan earned media.
Perusahaan-perusahaan akan memiliki media sendiri. They have their own media! Mereka memiliki website, Facebook, Twitter, atau akun di YouTube. Bahkan, mereka kemudian harus meningkatkan menjadi earned media dimana konsumen mereka yang kemudian akan men-generate konten. Inilah bagian dari proses viralisasi media sosial; repost, retweet, hastag, komunitas, dan lain-lain yang mendorong terjadinya user generated content.
Jadi, akan banyak alokasi bujet dalam media digital untuk keperluan internal. Mereka harus mengalokasikan bujet untuk membentuk tim yang menangani media digital mereka sendiri. Mereka harus mengalokasikan sebagian dari bujet mereka untuk menciptakan konten-konten untuk media mereka. Mereka akan membuat berbagai event atau games untuk meningkatkan interaksi dengan para pelanggan di media digital mereka.
Jadi, bila kemudian belanja digital hanya dihitung dari berapa yang dibelanjakan oleh perusahaan kepada media digital, akan memberi gambaran yang tidak tepat. Perusahaan mengalokasikan sebagian bujet iklannya untuk membangun tim dan konten milik mereka sendiri.