Belajar Distribusi dan Pengiriman dari Zappos

Agar model distribusi Zappos bekerja optimal, Zappos memercayai para karyawannya dan rekan-rekan rantai pasokan sepenuh hati. Tidak banyak perusahaan yang melakukan hal itu seperti Zappos.

Hal-hal apa yang sudah Anda ketahui mengenai Zappos? Tentu saja selain “Delivering Happiness”, diakuisisi Amazon, dan pemain ritel online sepatu yang terbesar. Ya, Zappos juga sangat terkenal dengan budaya perusahaan yang sangat berbasis konsumen dan tentu saja kebijakan pengiriman produk yang sangat dermawan. Bagaimana mungkin perusahaan ini mampu melakukannya dengan tetap menjaga biaya-biaya terkelola dengan baik?

Anda para pelaku bisnis e-commerce, khususnya yang masih pada tahap awal, tentu sangat familier dengan model drop ship. Yep, inilah model yang digunakan Zappos untuk mengantarkan barang pesanan konsumen sampai ke tujuan. Bahkan pada tahun 2003, 25% penjualan Zappos berasal dari sistem drop ship.

Tony Hsieh, Dirut Zappos, berujar bahwa model drop ship adalah model yang mudah mendatangkan uang. Zappos tidak perlu berurusan dengan masalah pergudangan atau arus uang yang berhubungan dengan penyimpanan barang.

Sayangnya, drop ship memberikan masalah-masalah dalam hal pelayanan pelanggan. Suatu hal yang sangat mungkin terjadi, jika konsumen memesan barang melalui Zappos dan saat Zappos mengecek ke pemasok, ternyata barang yang dipesan tidak ada. Masalah lain yang diberikan model drop ship adalah kurang terjaminnya waktu pengiriman barang hingga ke tangan konsumen. Artinya, Tony Hsieh harus berhadapan dengan banyak konsumen yang kecewa dan mengeluh karena layanan pelanggan Zappos.

Sementara di sisi pemasok, khususnya pada era awal dot com, tidak semua merek yang ingin dijual Zappos mampu melakukan drop ship. Para produsen sepatu pada masa tersebut sudah mengikuti pakem bahwa mereka harus melakukan pengiriman langsung ke pusat distribusi ritel atau toko-toko. Sialnya, para produsen merek-merek besar yang mampu melakukan drop ship sering kali kehabisan barang jualan. Ironi di sini adalah, sistem pergudangan dan kelebihan arus uang yang diberikan drop ship sudah membuat banyak pemain ritel B2C e-commerce memberikan banyak kekurangan dalam hal pelayanan pelanggan.

Manajemen Persediaan dan PergudanganGudang

Pada awalnya, Zappos mengalihdayakan pemenuhan order dan manajemen persediaan ke eLogistics. Perusahaan dot com tersebut sudah memiliki lahan pergudangan tepat di sebelah pusat kegiatan UPS WorldPort di Kentucky. Kedekatan dengan WorldHub memungkinkan eLogistics menawarkan biaya pengiriman yang lebih rendah dan pengantaran order yang lebih cepat.
Namun seiring tumbuhnya Zappos, tim manajemen tersebut menjadi semakin frustasi dengan pemenuhan kewajiban yang diberikan eLogistics, khususnya dalam hal operasional gudang. Akhirnya, Zappos memutuskan harus membuka gudang sendiri dan menandingi eLogistics. Pada akhirnya, eLogistics harus menutup bisnisnya.

Mengenai keputusan Zappos tersebut, Tony Hsieh menyatakan bahwa sebagai perusahaan e-commerce, mereka harus mempertimbangkan pergudangan sebagai kompetensi inti sedari awal. Mengalihdayakan pergudangan ke pihak ketiga dan memercayakan pelayanan pelanggan Zappos kepada pihak ketiga jelas-jelas merupakan salah satu kesalahan terbesar yang sudah dilakukan Zappos.

Hal menarik yang dapat diambil dari operasional pergudangan Zappos adalah pelayanan pelanggan dan pemenuhan order menjadi prioritas utama di atas distribusi ritel konvensional, misalnya perputaran barang. Tony juga menyatakan bahwa Zappos menjalankan gudangnya 24 jam 7 hari seminggu, yang sebenarnya bukan cara efektif mengelola gudang. Tetapi, yang dikejar Zappos sebenarnya bukanlah perputaran barang yang cepat dan efisien. Zappos berusaha memaksimalkan pengalaman pelanggan, yang dalam bisnis e-commerce dijabarkan dalam bentuk mengantarkan orderan konsumen secepat mungkin.

Hubungan dengan Para Vendor

Bisa jadi, hal yang paling menarik dari operasional jaringan pasokan Zappos adalah program hubungan vendor yang dijalankan. Zappos mengambil pendekatan hubungan pemasok yang benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan sesama pemain sejenis di industri ritel. Menurut Tony Hsieh, pendekatan umum yang biasa terjadi di industri-industri yang menjadi pengamatannya adalah memperlakukan vendor layaknya musuh.

Vendor tidak perlu dilayani dengan hormat, panggilan telepon mereka tidak perlu dibalas, ulur-ulurlah jika membuat janji dengan vendor, buat vendor membayar makanan kalau bertemu dengan mereka, lakukan semua hal yang diperlukan untuk menguras habis uang yang ada di laci para vendor.

Para manajer di Zappos mengambil pendekatan berbeda dengan menyadari bahwa jika vendor tidak dapat memperoleh keuntungan yang baik, vendor tidak akan memiliki uang untuk berinvestasi di litbang (penelitian dan pengembangan). Ini berarti membuat produk-produk yang diantarkan vendor ke pasar tidak mampu menginspirasi para konsumen, yang merembet pada kerugian bisnis ritel karena konsumen malas berbelanja. Dalam model distribusi konvensional, tiap pihak ingin memotong biaya dan bernegosiasi secara agresif karena laba yang tersedia sangat tipis untuk dibagi berdua. Hasilnya adalah lingkaran setan.

Sementara di Zappos, saat para vendor dari kota lain mengunjungi kantor pusat Zappos, akan ada penjemputan langsung di bandara, penyediaan tur keliling kantor, dan layanan makan malam. Tony Hsieh menjelaskan bahwa keuntungan yang didapat melalui hubungan yang sangat sehat dengan para vendor tak terhingga. Saat Zappos mengalami masalah persediaan, para vendor Zappos mau turut memikirkan solusi masalah secara proaktif, khususnya terhadap barang-barang dengan tingkat penjualan yang tinggi. Para vendor juga bekerja bersama dengan tim marketing Zappos merencanakan kampanye yang tepat dan memastikan setiap langkah yang diambil adalah benar.

Sekarang, mari kita mencoba jujur kepada diri sendiri, khususnya bagi pihak-pihak yang memiliki kedekatan pekerjaan dengan dunia distribusi dan pengiriman barang. Suatu hal yang sangat jarang dilihat dan ditemui adalah kolaborasi dan kepercayaan antar pihak yang terlibat dalam rantai pasokan barang sedemikian tinggi dan kuat. Jadi, tidak heran jika Zappos benar-benar mampu “Delivering Happiness” kepada para konsumennya.

Andika Priyandana

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.