Belajar dari Kasus Sempati Air

Pelanggan punya ekspektasi besar yang harus dikelola secara baik. Service yang tidak sesuai mengakibatkan kaburnya pelanggan.

Nama Sempati Air sempat membubung setinggi awan yang biasa dilalui pesawat ini setiap kali mengantar penumpangnya. Terobosan yang dilakukan Hasan Sudjono benar-benar berhasil melejitkan awareness Sempati Air di kancah industri penerbangan.

Keberhasilannya mendongkrak popularitas merek Sempati Air dipuji oleh berbagai kalangan. Sukses tersebut merupakan sisi lain dari tugas marketing yang dilaksanakan manajemen perusahaan ini. Namun, di sisi lainnya, merek ini dinilai over promise tetapi under deliver. Padahal di dalam service tidak boleh sekali-kali mengkhianati janji terhadap pelanggan.

Sempati Air pada akhirnya gulung tikar. Kejatuhan perusahaan ini bukan semata-mata lantaran janji yang tidak ditepati dengan baik. Banyak faktor yang mempengaruhinya, termasuk manajemen. Namun kiranya menarik untuk membahas Sempati pernah mengumbar janji kepada pelanggannya, yang dari sisi marketing bisa menjadi kesalahan fatal.

Menurut Yuliana Agung, boleh saja sebuah merek secara sengaja melakukan over promise, tetapi dia mesti benar-benar bisa over deliver. Karena pada hakikatnya, bermain di layanan harus seperti itu. Jangan sampai pelanggan hanya melihat dari satu sisi saja, yakni over promise. Jika tidak mampu, maka sebaiknya “under promise” tetapi sebisa mungkin menjadi over deliver. “Itulah service, di mana harapan pelanggan harus dikelola dengan baik,” kata CEO Center for Customer Satisfaction & Loyalty ini.

Di sini, Yuliana melihat kesalahan fatal yang dilakukan Sempati adalah “over promise” tetapi “under deliver”. Meskipun kegagalan itu diakuinya disebabkan oleh banyak kasus, bukan cuma di marketing. “Kegagalannya sudah jelas bahwa Sempati Air over promise dan under deliver,” tegasnya.

Sebelum rontok, maskapai penerbangan ini banyak melakukan manuver yang mencengangkan dari sisi marketing dengan memberikan berbagai value kepada pelanggannya. Sempati bahkan sangat berani memberi kompensasi denda diri (berupa voucher) pada setiap keterlambatan yang terjadi. Pantas saja jika merek ini langsung terangkat. Malangnya, penerbangan mereka malah banyak yang delay. Hingga akhirnya perusahaan terlilit hutang yang mencapai Rp 800 miliar.

Menurut Yuliana, yang sulit di dalam service adalah menjaga konsistensi antara promise dan deliver-nya. Konsistensi ini sangat penting, karena jika keduanya tidak seimbang (kecuali deliver-nya melebihi promise), sangat berbahaya. Selain itu, konsistensi di dalam service tidak boleh berjalan stabil, perlu improvisasi. Sebab, antara promise dan deliver yang diberikan untuk yang pertama kali biasanya merupakan surprise. Yang kedua juga masih surprise. Tetapi jika sudah yang ketiga, bukan surprise lagi, melainkan sudah menjadi hal yang standar. “Itulah uniknya service. Kepuasan pelanggan itu dinamis. Selalu berubah-ubah harapannya,” katanya.

3P Tambahan

Service merupakan bagian dari marketing mix. Namun, bauran pemasaran yang terdiri dari 4 P (product, price, place dan promotion) ini tidak cukup lagi, mengingat persaingan sudah sangat ketat. Karena itu, para ahli menambahkannya dengan 3P lainnya, yaitu physical evidence, process dan people. Ketiga aspek tambahan dalam bauran pemasaran ini sejatinya berbicara mengenai service.

Nah, kedudukan service di dalam marketing sangat jelas. Physical evidence dan process sangat penting diperlihatkan atau dirasakan sebagai upaya menampilkan experience bagi customer. Sedangkan people (SDM) juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya karena segala sesuatu yang ingin dideliver membutuhkan SDM.

Yuliana memberi contoh, jika jualan resto, sebenarnya yang dicari pelanggan adalah enaknya. Dan biasanya, orang mencari resto karena dua alasan: enak dan murah. Indikasi bahwa resto tersebut menawarkan kedua benefit tadi bisa dilihat dari ramainya pelanggan yang berkunjung.

Tetapi, kedua alasan itu (enak dan murah) hanyalah outcome. Di balik itu, yang menentukan adalah process, pshysical evidence dan people. Sedangkan kedua alasan tadi tidak termasuk ke dalam tiga aspek tambahan dalam bauran pemasaran. Karena itu, yang sebenarnya dicari dari kedua alasan tadi adalah kecepatan dalam pelayanan—ini merupakan bagian dari proses. “Bukan outcome yang menyebabkan orang balik lagi. Orang berpikir makanannya enak. At the end, enak dan murah. Padahal kepuasan  dibangun karena prosesnya bagus. Nah, inilah yang menyebabkan proses itu penting di dalam service,” kata Yuliana.

Lalu, soal people. Bayangkan jika SDM-nya kasar, bermuka masam, tidak sopan. Seenak dan semurah apa pun yang ditawarkan, orang tidak akan kembali. Kalau toiletnya tidak bersih, piringnya kotor, tusuk giginya kotor dan segala macamnya lainnya kotor; maka makanan yang seharusnya enak bakal menjadi tidak enak. Semurah apa pun harga yang ditawarkan, orang tidak mau lagi membelinya. Karena itulah physical evidence menjadi penting dalam service. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi tempat yang bagus, bersih, dan higienis.

Tidak diragukan lagi, peran service di dalam marketing sangat penting. Apalagi di era sekarang dan yang akan datang, di mana persaingan semakin ketat. Komponen service ini akan menjadi semakin penting karena di dalamnya bisa menyediakan people yang bagus, process yang cepat dan fair serta aspek tangible-nya seperti gedung, peralatan dan sebagainya yang menunjang, membentuk total added value dari seluruh yang ditawarkan.

Nah, kesalahan-kesalahan di dalam service dalam konteks pengelolaan brand, menurut Yuliana, sering terjadi karena pemahaman yang berbeda. Misalnya, layanan yang diberikan tidak sesuai dengan target market. Di sinilah pemberian layanannya sering berlebihan. Sebagai contoh, orang ke restoran tahu-tahu diberikan refleksi. Di executive lounge (katakanlah untuk sebuah kartu kredit) disediakan refleksi.

Hal itu berlebihan dan menjadi costly atau memakan biaya tinggi. Seharusnya, ungkap Yuliana, service tidak perlu sampai begitu. Karena kalau tidak memakan biaya bisa menjadi added value yang berguna.

Berkaitan dengan itu, Yuliana menyarankan beberapa hal. Pertama, melakukan segementasi dahulu. Sebab, kalau segmentasi sudah salah akan sulit untuk memberikan layanan-layanan yang ditanggapi oleh pelanggan. Pendefinisian service itu sendiri bisa menjadi kabur, tidak kena sasaran.

Kedua, jangan salah memposisikan service itu sendiri. Positioning servis untuk produk-produk yang tangible, jelas untuk memperkuat posisi. Sehingga, servis ini tidak berdiri sebagai suatu layanan yang terpisah. Dia akan memperkaya core positioning dari produk yang dijual. “Salahnya, servis itu seringkali hanya supporting saja,” kata Yuliana.

Untuk menghindari kesalahan di atas, ia menyarankan pemasar agar mendefiniskan dahulu tentang service. Hal itu menjadi penting karena yang mendeliver service bukan mesin, melainkan manusia. Semua anggota tim harus memiliki persepsi yang sama karena dalam service yang dibutuhkan adalah konsistensi.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.