BCA Berjaya, Citibank Perlu Berbenah

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

www.marketing.co.id – Mengulas tentang perilaku masyarakat Indonesia selalu memberikan hal menarik untuk disoroti. Populasi penduduk yang besar (237 juta jiwa), dengan total konsumsi domestik yang lebih besar (Rp 1.500 triliun, Susenas 2010) dibanding dengan saving-nya (Rp 900 triliun), dan sebagian besar masih un-insured, memperlihatkan bahwa kebanyakan masyarakat kita masih berpikir jangka pendek dan cenderung konsumtif.

Grafik di bawah ini pun memperlihatkan hal serupa, yaitu adanya peningkatan jumlah kartu kredit yang beredar, jumlah transaksi serta volume transaksi kartu kredit sejak tahun 2007. Data ini memberikan gambaran bagaimana masyarakat kita yang sudah “konsumtif” semakin dipermudah untuk menggunakan sistem pembayaran dengan kartu kredit.

Jika melihat jumlah APMK (alat pembayaran menggunakan kartu) khusus untuk kartu kredit, memang nilainya belum terbilang besar, yaitu 14 juta, yang berarti penetrasi kartu kredit masih tergolong kecil. Namun, jika kita analisis dari nilai volume transaksi kartu kredit yang mencapai Rp 183 triliun dan dibandingkan pengeluaran masyarakat kita yang sebesar Rp 1.500 triliun, rasionya adalah 12%. Jadi, di luar kepemilikan kredit konsumsi lain (KPR, KKB, KTA)—yaitu maksimum 30% dari pendapatan, kartu kredit juga memegang proporsi yang cukup besar. Hal ini memperlihatkan bagaimana masyarakat kita suka berutang, yaitu sekitar 40% dari pendapatan.

Peningkatan jumlah kartu kredit yang beredar ini didukung oleh semakin mudahnya masyarakat untuk memiliki kartu kredit. Jika beberapa tahun yang lalu kartu kredit hanya dimiliki oleh orang tertentu dengan status tertentu, kini para penerbit cenderung menawarkan kepemilikan kartu kredit dengan mudah. Bahkan card holder cenderung pasif dan bukan pelaku aktif dalam melakukan aplikasi kartu.

Dari data jumlah transaksi dan jumlah kartu yang beredar, diperoleh angka rasio 1:14, yaitu kartu dalam satu tahun digunakan sebanyak 14–15 kali transaksi. Apa artinya? Dalam satu bulan orang pasti berutang dengan kartu kredit, bahkan bisa dilakukan 2–3 kali transaksi per kartu. Dari survei Frontier Consulting Group juga tercatat rata-rata satu orang memiliki 2–3 kartu kredit yang aktif. Tidak mengherankan jika penerbit kartu kredit semakin banyak di tahun ini.

Total penerbit kartu kredit yang terdaftar di Bank Indonesia sampai tahun 2012 ada sebanyak 20 bank penerbit, 4 di antaranya masuk dalam analisis Top Brand 2013, seperti terlihat dalam grafik berikut ini. Dari data Top Brand Index kategori Kartu Kredit, BCA menunjukkan kepemimpinannya dengan meraih indeks paling tinggi. Bahkan angkanya pun cukup jauh di atas indeks merek kartu kredit lain. Data Top Brand juga menunjukkan performa kartu kredit Citibank yang cenderung menurun. Bahkan di tahun 2013, kartu kredit yang dianggap sebagai pionir kartu kredit sebagai gaya hidup dan simbol status ini harus mengakui kekuatan Bank BCA, Bank Mandiri, dan BNI dalam kemampuan cross selling-nya.

Sementara Bank BRI sebagai pemain yang tergolong baru mulai terlihat beranjak naik meski dengan indeks di kisaran 5%–6%. Dengan asosiasi “rural”/ “pedesaan” yang masih melekat, BRI memang harus melakukan strategi akuisisi yang agresif untuk meningkatkan jumlah penggunanya, karena image kartu kredit cenderung untuk gaya hidup orang perkotaan.

Untuk lebih memperjelas posisi tiap-tiap kartu kredit, dapat dilihat pemetaan brand diagnostic berikut ini. Kartu kredit BCA sebagai salah satu merek top terlihat sangat menguasai benak pelanggan, dimana rasio TOM (top of mind) terhadap LU (last usage) lebih dari satu. Dengan kondisi seperti ini BCA akan lebih mudah melakukan akuisisi. Sementara untuk Bank Mandiri dan BRI, program akuisisi dan retensi harus berimbang karena rasio kedua parameter ini kurang dari satu.

Citibank harus terus meningkatkan awareness serta asosiasi positif mengenai mereknya. Kasus yang terjadi di masa lalu kelihatannya berdampak besar pada kinerja Citibank. Namun, jika dilihat dari sisi loyalitas pengguna, relatif tidak bermasalah dan cenderung loyal. Merek-merek kartu kredit yang harus terus membangun awareness adalah CIMB Niaga, Bank Mega, dan BII.

Hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para penerbit kartu kredit untuk menghadapi persaingan adalah bagaimana mereka memahami perilaku dari pelanggan mereka (customer behavior). Dengan pilihan kartu kredit yang semakin beragam, kartu yang paling diingat belum tentu akan digunakan terus.

Ke depannya pasar kartu kredit akan terus bertumbuh, dengan potensi yang masih besar dan didukung pertumbuhan e-commerce di Indonesia yang cukup baik. Namun, pertumbuhannya diindikasi akan melambat dikarenakan risiko bisnis ini juga besar. Jika aturan BI—yaitu pembatasan kepemilikan maksimal dua penerbit per nasabah—diterapkan, maka kompetisi di bisnis ini akan semakin ketat. Penerbit pun dituntut semakin kreatif mulai dari strategi penguasaan channel (merchant), program promo, bahkan melakukan co-branding. Dan yang tidak kalah penting adalah tetap menjaga kesehatan bisnis ini, yaitu menguatkan manajemen risiko kartu kredit.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here