Banjir Informasi

Dunia kini kebanjiran informasi. Pikiran kita seringkali overload oleh begitu banyak produk dan merek. Sangatlah sulit untuk mengubah kesan/impresi konsumen begitu kesan tersebut telah terbentuk. Konsumen tidak suka yang rumit-rumit. Mereka akan mencoba menyederhanakan segala sesuatu. Segala informasi yang masuk ke kepala mereka akan sangat disaring dan mereka hanya percaya pada hal-hal yang sesuai dengan knowledge yang mereka miliki pada saat itu. Dengan demikian, para pengiklan harus menyederhanakan pesan-pesan yang hendak disampaikan dan menyesuaikan pesan-pesan tersebut agar konsisten dengan apa yang sudah dipercaya oleh konsumen atau sesuai dengan persepsi konsumen. Jangan terlalu terpaku pada produk, tetapi sesuaikan lah semua pesan dengan konsumen sasaran Anda.

Memasuki Benak Konsumen

Cara termudah untuk memasuki benak konsumen adalah dengan menjadi yang pertama dalam memasukinya. Sangatlah mudah untuk mengingat siapa yang pertama. Lebih sulit untuk mengingat siapa yang kedua, walaupun urutan kedua mampu menawarkan produk yang lebih baik sekalipun. Siapa yang mampu masuk pertama kali lah yang mempunyai peluang lebih besar untuk diingat.

Dengan menjadi yang pertama mengklaim “posisi” unik di benak konsumen, suatu perusahaan bisa menghilangkan hampir semua bentuk gangguan dari produk lain. Walaupun demikian, bagi yang tidak pertama bukan berarti kalah. Misalnya, bir Miller Lite bukan lah produk bir yang pertama, tetapi Miller adalah bir pertama diposisikan sebagai bir yang ringan (lite) – lengkap dengan nama yang mendukung Positioning tersebut. Dalam kasus yang sama, Lowenbrau adalah bir Jerman paling popular yang dijual di Amerika, tetapi bir Beck’s dengan sukses mengukir persepsi unik di benak konsumen dengan menggunakan pesan, “Anda telah mencicipi bir Jerman paling popular di Amerika. Kini rasakanlah bir Jerman yang paling popular di Jerman”.

Konsumen juga mempunyai prioritas dalam membeli dan menjatuhkan pilihan ketika berbelanja. Jika ada merek yang bukan nomor satu, maka supaya bisa sukses, merek tersebut harus mampu menyesuaikan dan dihubungkan dengan merek nomor satu. Jika kita berpura-pura bahwa market leader itu tidak eksis, maka program kita kemungkinan besar akan gagal. Avis berusaha bertahun-tahun tanpa meraih sukses dalam merebut pelanggan, karena mereka menganggap merek nomor satu, Hertz, tidak ada. Akhirnya, mereka mulai memakai slogan, “Avis hanyalah nomor 2 dalam bisnis penyewaan mobil, jadi mengapa memilih kami? Kami berusaha lebih keras!”

Setelah meluncurkan kampanye ini, Avis dengan cepat meraup profit. Masalah apakah Avis benar-benar bekerja lebih keras belum tentu benar dan belum tentu relevan dengan kesuksesan mereka. Tetapi konsumen akhirnya bisa menghubungkan Avis dengan Hertz, walaupun Hertz itu adalah merek nomor satu di benak mereka.

Contoh lain adalah minuman soft drink 7-Up yang berada di peringkat nomor 3 di belakang Coke dan Pepsi. Dengan menghubungkan dirinya dengan Coke dan Pepsi sebagai “Uncola”, 7-Up mampu menancapkan Positioning-nya di benak konsumen sebagai alternatif yang bagus pengganti minuman Cola yang standar.

Ketika ada market leader yang sudah jelas-jelas ada di benak konsumen, maka bisa jadi sangat sulit untuk merebut posisi nomor satu tersebut. Tetapi sebaliknya, suatu perusahaan biasanya bisa mencari cara untuk memposisikan dirinya jika mengaitkan dirinya dengan si market leader. Dengan cara ini pula, mereka bisa meningkatkan market share-nya. Tindakan untuk menantang langsung sang market leader dan mencoba merebut posisinya biasanya adalah suatu kesalahan yang fatal.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.