Empat belas tahun lalu brand bisnis kuliner ini hanyalah sebuah usaha kelas kaki lima. Kini, gerainya sudah bisa ditemukan di luar negeri. Apa strateginya?
Berawal dari sebuah warung ayam bakar kaki lima yang mulai beroperasi pada tahun 2001 di depan Universitas Sahid, Jakarta, Ayam Bakar Mas Mono perlahan berkembang menjadi sebuah restoran dengan enam puluh dua cabang di Indonesia. Tak cukup bermain di dalam negeri, brand ayam bakar Kalasan ini merambah ke luar negeri.
Agus Pramono atau yang akrab disapa mas Mono ini, mengatakan ia tidak berpikir untuk mewaralabakan bisnisnya tersebut. Namun, seiring banyaknya permintaan, ia pun memutuskan untuk membesarkan bisnisnya melalui bentuk kerja sama tersebut.
“Awalnya tahun 2006 sudah banyak permintaan franchise saat itu. Aku pikir saat itu Ayam Bakar Mas Mono tidak franchise. Lalu belum franchise. Insya Allah franchise. Terus tahun 2010 alhamdulillah sudah franchise,” jelas pria yang akrab disapa mas Mono ini saat ditemui Youth Marketers di gerai Ayam Bakar Mas Mono, Tebet.
“Aku pikir kuliner itu berbeda dengan franchise bisnis lainnya karena makanan enak aja nggak cukup. Harus ada pelayanan yang baik, kebersihan harus dijaga, menjaga hubungan dan lain-lain. Itu penting jadi saya sangat hati-hati saat itu,” lanjutnya.
Pada tahun 2010 Ayam Bakar Mas Mono resmi membuka kerja sama kemitraan dalam bentuk waralaba. Diakuinya jika dulu dalam setahun bisnisnya hanya bisa membuka satu cabang, setelah membuka kerja sama, ia bisa membuka sepuluh cabang.
Ia mengatakan bahwa keputusannya saat itu bukanlah aji mumpung karena dalam rentang waktu empat tahun ia kebanjiran permintaan. “Banyak pelanggan yang ingin buka, daripada saya buka kran kompetitor mending saya besarkan usaha sendiri. Meskipun franchise selalu ada plus minus ya, tapi kita lihat positifnya dengan cabang kita banyak, brand kita semakin kuat dan bagus dan makin terjangkau oleh pelanggan-pelanggan kita di luar kota,” paparnya.
Merambah pasar luar negeri
Mas Mono mengakui bahwa permintaan bisnisnya datang dari luar negeri karena booming brand-nya di dalam negeri. Ia pun akhirnya menyanggupi permintaan pasar luar negeri dengan sistem waralabanya.
Pasang surut dunia bisnis kuliner sudah dirasakan Ayam Bakar Mas Mono selama empat belas tahun. Mas Mono meyakini setelah melalui proses tersebut, bisnisnya sudah cukup kuat untuk berekspansi ke pasar luar negeri.
“Sebenarnya kita harus kuat dulu di dalam negeri. Kita kan udah dari 2001 ya artinya sudah 14 tahun udah jatuh bangun, udah melalui proses tersebut. Jadi hati-hati dengan segala yang instan,” ujar mas Mono.
Gerai pertama Ayam Bakar Mas Mono di luar negeri adalah di Shah Alam, Malaysia. “Kita buka di Malaysia karena serumpun ya. Banyak warga kita, TKI, saudara-saudara kita di sana yang mungkin susah cari makanan khas Indonesia. Kebetulan kita kan menunya ayam bakar sambal lalapan, cah kangkung, kremesan, jadi ya menu kita sangat diterima di sana,” katanya.
“Tapi, dalam berbisnis penting juga yang namanya inovasi. Di sana kita juga jual menu yang sesuai dengan lidah orang Malaysia, salah satunya adalah nasi lemak. Ada menu lokalnya,” lanjut bapak beranak empat ini.
Rencananya, dalam waktu dekat bisnisnya akan membuka gerai di Kuala Lumpur. Tawaran dari Arab Saudi pun sedang dipertimbangkan. Menurutnya, permintaan yang datang harus ia pelajari dulu mengingat masing-masing negara punya aturan sendiri.
Mas Mono menekankan bahwa bisnisnya tak menargetkan jumlah cabangnya di luar negeri. “Kita bukan sekadar buka ya, yang terpenting me-maintain. Bagaimana begitu buka langsung ramai dan mengikuti SOP yang kita punya, semacam itu,” ujar pria yang dulunya bercita-cita menjadi pekerja kantoran.
Lokasi dan ciri khas Indonesia
Diakui mas Mono strategi pemasaran restorannya di luar negeri berbeda dengan di dalam negeri. Selain memilih lokasi strategis, bisnis kuliner ini menyajikan nuansa khas Indonesia yang lebih kental pada menu dan restorannya.
“Pastinya kita buka di tempat yang strategis. Inovasi produk kental ciri khas Indonesia karena kita bawa nama Indonesia. Kita lebih mengedepankan sisi tradisionalnya Indonesia, termasuk meja bangku, interior, menu-menunya juga, bumbu-bumbunya juga kita masih dari Indonesia,” katanya.
Upaya memasarkan bisnisnya di Malaysia terbilang sukses. Dua tahun semenjak mulai membuka gerai di Shah Alam, Ayam Bakar Mas Mono sudah menjadi brand kuliner yang punya nama di sana. Ia mengakui omzet restorannya di Malaysia cukup bagus. Kendala yang ia rasakan justru pada biaya ekspedisi pengadaan bahan baku dan inventaris yang masih didatangkan dari Indonesia.
“Paling kendalanya di pengiriman bahan baku dan inventaris yang harus didatangkan dari Indonesia. Misalnya harganya belinya 3 juta, tapi biaya kirimnya bisa 13 juta,” paparnya.
Ke depannya, mas Mono berharap bisnis ayam bakarnya bisa lebih go international dengan membuka cabang di lebih banyak negara. (Putri Sekar/CS)