Awasi Perubahan Perilaku Belanja!

Walaupun tengah menghadapi krisis ekonomi global, industri ritel dinilai tetap stabil. Asal tahu apa pemicu dan antisipasinya, para pemain tetap berpeluang untuk ekspansi.

Adanya krisis global bukan berarti industri ritel tak bisa berekspansi. Pasar ritel barang konsumen di Indonesia berkembang baik sekali. Bahkan, Indonesia menjadi Top 2 tertinggi di Asia dalam lima tahun terakhir.

“Data September 2008 lalu ritel tumbuh hingga 22,2% dari 54 kategori produk. Dari segi produk, di kalangan menengah ke atas tidak ada perubahan. Namun, di kelas menegah bawah terjadi peralihan ke merek-merek dan produk yang lebih murah,” kata Yongky Surya Susilo, Dari Nielsen Indonesia.

Pertumbuhan tersebut, lanjutnya, dilandasi faktor inflasi. Yakni kenaikan harga makanan yang signifikan dari kategori produk berbasis CPO seperti minyak goreng (+40%); tepung terigu seperti mie instan (+40%); dan susu (+20%). Seiring dengan itu, volume penjualan minyak goreng bermerek makin meningkat akibat perpindahan dari jenis curah ke branded, sedangkan untuk mie instan dan susu hanya turun sedikit.

Hal senada juga diutarakan Sugiyanto Wibawa selaku anggota dari Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo). Industri ritel tumbuh pesat dengan menjamurnya pasar modern seperti hipermarket, supermarket maupun minimarket. “Semuanya tumbuh serentak dan sama rata. Prospeknya pun cukup bagus,” katanya. Sugiyanto, yang juga menjabat sebagai Direktur Pengembangan Ritel PT Hero Supermarket, menggarap peluang tersebut dengan meluncurkan Giant supermarket.

Pertumbuhan ritel ini bukanlah cuma terjadi di pasar modern. Pasar tradisional pun meningkat penjualannya secara rupiah (+21%). Hal ini disebabkan adanya kenaikan harga dan didorong pula dengan image murah yang melekat padanya. Tidak heran jika konsumen kelas bawah merangsek ke pasar tradisional. Apalagi, pasar tradisional juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk membeli sesuai kemampuannya, termasuk kredit.

Berdasarkan jumlah toko, papar Yongky, pasar tradisional tumbuh kuat. Selain menjadi suatu bentuk usaha yang paling mudah, mereka juga turut membangun pendapatan tambahan. “Mereka mulai mendekat kepada konsumen, misalnya berlokasi di jalan besar dan perumahan. Uniknya lagi, ada yang menggunakan pick up dan ‘moko’ alias mobil toko.”

Sedangkan pasar modern akan tetap tumbuh sesuai dengan kebutuhan konsumen modern, baik di kota besar maupun kota kecil. Konsepnya terus diubah guna meningkatkan image, pelayanan, sekaligus solusi hiburan bagi konsumen yang stressful. Tren yang ada pun mulai bervariasi. Indonesia kini memiliki Harvey Nichols, peritel premium. Ada pula Grand Indonesia, sebuah mega mal terbesar yang menjadi landmark Indonesia.

Tentunya, perubahan konsep tadi juga didorong oleh peningkatan kepuasan konsumen. “Level of service (tingkat pelayanan) kian meningkat dengan tersedianya fasilitas manusiawi yang exceed expectation. Ini membuktikan bahwa konsumen menjadi powerful,” kata Yongky. Menurutnya, peritel nasional yang inovatif akan mempunyai potensi besar. Misalnya konsep midi store yang diformat Alfamart. Begitu juga konsep convenience store Circe K yang merejuvenasi tokonya dan berekspansi ke area ramai dan “hidup” 24 jam.

Sementara itu, Sugiyanto berpendapat bahwa pertumbuhan pasar modern lebih cepat dibandingkan pasar tradisional. “Tapi, pada dasarnya, growth antara keduanya sama.” Faktor krisis global, menurutnya, tidak begitu memengaruhi pertumbuhannya. Sebab, pasar modern masih diminati kalangan menengah ke atas yang mengutamakan prestige.

“Saat ini, komposisi perbandingan persentase antar pasar tradisional dengan modern adalah 64:36. Secara total kategori kebutuhan konsumen, termasuk komoditas, estimasi pasar modern hanya memberikan kontribusi 10%,” tambah Yongky.

Di kategori pasar modern, hipermarket dan minimarket tetap menyandang gelar primadona untuk pertumbuhan pasar ritel di Indonesia. Namun, jika membandingkan keduanya, minimarket memiliki peluang yang lebih besar untuk berekspansi karena kemudahan mencari lokasi. Sedangkan hipermarket akan sedikit selektif akibat faktor likuiditas. Lain halnya dengan supermarket. Pertumbuhan supermarket akan terhambat karena terimpit format besar dan kecil, kecuali jika para pemain bisa me-repositioning brand-nya.

Secara global, peluang pasar modern yang ditawarkan masih besar. Dari angka pertumbuhan rantai ritel modern, trennya masih terlihat positif dalam Like for Like (organic) growth. Angka tersebut menunjukkan belum terjadi saturation karena over supply. “Di masa depan, peningkatan daya beli di kota akan mengendurkan lagi growth ceiling bagi ritel modern,” ungkap Yongky.

Menghadapi krisis ekonomi global, Sugiyanto mengatakan, para peritel tetap optimistis. Pemicunya, target pasar yang dibidik adalah kaum urban sebesar 45% dari populasi Indonesia. “Potensi konsumen muda juga akan mendominasi, apalagi mereka yang menuntut modernisasi,” imbuhnya. Pemicu lainnya adalah tingginya segmentasi, serta rendahnya supply chain dan retail branding.

Ditambahkan Sugiyanto, untuk perkembangan pasar tradisional pun demikian. Sebab, sekarang ini tren yang mengacu untuk pasar tradisional juga mulai dikembangkan ke arah modern, misalnya pasar Pantai Indah Kapuk. “Ketika pengembang properti ingin mendirikan perumahan, mereka juga memprediksikan tempat strategis untuk pasar tradisional,” jelasnya.

“Yang penting, dalam kondisi perekonomian seperti itu, peritel harus awas dengan peluang karena perubahan perilaku belanja; selektif ketika berekspansi; tetap berpromosi; dan melakukan radical marketing,” ujarnya mengakhiri perbincangan.

T

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.