Aura Merek

Sebelum membaca panjang lebar artikel ini, coba luangkan mata sejenak untuk melirik ke kanan dan ke kiri Anda. Setelah itu, silakan menilai—tentu saja dalam hati: siapa teman kantor Anda yang paling cantik, menarik, dan tak membosankan untuk dicuri-curi pandang? Bagi yang cewek, silakan amati cowok-cowok di sekitar Anda dan perhatikan hal yang sama.

Jika sudah, Anda harus menjawab pertanyaan berikut ini: mengapa Anda menyatakan si A cantik sedangkan si B jelek? Kenapa si C Anda anggap ganteng dan si D tidak? Mungkin Anda bingung menjawabnya, selain kata-katanya sama dengan yang ditanyakan: cantik, menarik, ganteng, putih, tinggi, gagah, dan lain sebagainya. Padahal, yang Anda perhatikan itu bisa jadi auranya.

Aura, menurut kebanyakan ahli, adalah sebuah daya tarik yang terpancar dari diri seseorang. Aura ibarat daya hipnotis yang mampu menarik, memikat, memukau, dan menumbuhkan rasa kagum orang lain, dan menundukkan hati seseorang, tanpa disadari oleh mereka. Aura mirip energi yang bersinar terang dan menghiasi jiwa raga—namun, tak semua orang memiliki aura yang baik.

Lantas, apa hubungannya dengan merek? Begini, sebetulnya sosok orang tadi hanyalah perumpamaan yang bisa saja diganti dengan merek “I” atau “U”. Silakan kembali bertanya dalam hati: mengapa Anda memilih merek yang ini daripada yang itu? Jawabannya jelas sekali bukan? “Yang ini lebih menarik daripada yang lain.” Daya tarik sebuah merek itulah yang disebut aura merek. John F. Sherry (2005) bahkan mencatat bahwa sebuah merek harus memancarkan energi tertentu yang dapat mempengaruhi konsumen (physical and metaphysical presence).

Jadi, aura merek adalah daya tarik yang terpancar dari sebuah merek sehingga menarik, mengagumkan, dan lain sebagainya, yang membuat konsumen “terpesona” dan terhipnotis untuk membeli. Oleh karena itu, merek harus bisa menonjolkan aura sebaik mungkin agar target market terpikat dan terhipnotis. Roger D. Blackwell (2001) mengatakan bahwa banyak konsumen kadang-kadang tidak mengetahui apa yang membuat mereka membeli suatu merek. Banyak wanita Indonesia yang tidak bisa menjelaskan secara rasional mengapa mereka membeli tas Louis Vuitton puluhan juta rupiah dan rela antri untuk mendapatkannya. Itulah hebatnya aura merek kalau sudah bekerja.

Daya Hipnotis

Di dalam proses pembelian, siapa pun memahami—tidak harus pakar yang mengatakan—bahwa telah terjadi dua kemungkinan: “dihipnotis” atau “terhipnotis” oleh merek. Apabila aksi pembelian itu dikarenakan konsumen terhipnotis satu merek tertentu, besar kemungkinan akan terjadi hubungan yang lebih intim antara merek dengan konsumennya. Di sini konsumen sudah menunjukkan loyalitas mereka.

Tapi, jika pembelian tersebut didasarkan atas rasa terhipnotis secara tiba-tiba, berarti aura mereklah yang berperan. Simpelnya seperti ini: “Kenapa ya, sekonyong-konyong saya membeli merek ini, padahal tak punya rencana membelinya tadi. Habis saya pikir menarik juga sih untuk dibeli. Apa salahnya kalau mencoba,” tutur salah seorang konsumen.

Kalau ukurannya “tiba-tiba” dan konsumen melakukan pembelian karena terpesona akan aura merek tersebut, maka kadar loyalitas konsumen itu masih rendah. Bahkan, sama sekali belum layak digolongkan ke dalam loyalitas. Ini berbanding terbalik dengan proses pembelian konsumen yang memang dihipnotis oleh sebuah merek.

Pada dasarnya, aura sama dengan citra merek yang kemudian diejawantahkan ke dalam pikiran konsumen sebagai persepsi. Aura yang baik berarti bentuk dari citra merek yang baik dan sebaliknya. Di jantung aura itu terdapat kualitas produk berikut atribut merek seperti desain atau tampilan, tekstur, dan warna.

Mari kita mengambil contoh yang paling gampang, lihatlah Garuda Indonesia dan (almarhum) Adam Air. Barangkali kita sepakat mengatakan perbedaannya dengan jelas bahwa aura Garuda Indonesia lebih baik daripada Adam Air—yang sudah tutup beberapa tahun lalu. Penumpang merasa lebih nyaman naik Garuda ketimbang Adam Air atau merek-merek lainnya di Indonesia.

Di kancah otomotif, misalnya, Kijang Innova dari Toyota memiliki desain yang bagus, mesin tangguh, tidak repot untuk menempuh jarak jauh, cocok untuk keluarga, dan kelihatan mewah. Kalau ada apa-apa—semisal terjadi kerusakan—layanan purnajualnya mudah ditemui dan suku cadangnya juga mudah didapat. Begitulah aura yang terpancar dari merek tersebut sehingga amat disukai pasar di negeri ini.

Mesti Diciptakan

Setelah mengetahui pentingnya aura merek, para marketer memiliki tugas untuk membawa mereknya ke arah yang positif. Aura positif akan menjadi daya tarik bagi konsumen untuk memiliki merek tertentu. Contohnya sudah jelas, penumpang pesawat akan tetap memilih Garuda Indonesia meskipun tarifnya mahal daripada Adam Air yang sering kecelakaan.

Atau, seperti memilih pacar, Anda menimang-nimang mana yang paling cantik, seksi, pintar, dan lain sebagainya. Itu namanya aura positif. Kalau jelek, bau ketek, itu masuk kelompok aura negatif. Kalau sampai sebuah merek dipandang memiliki aura negatif, dipersepsikan jelek oleh pasar, tidak akan mungkin merek itu akan berkembang.

Maka, manajemen merek itu penting. Saat bayi dilahirkan, disuapi bubur, dimandikan, dan seterusnya, ia akan menjadi orang besar yang bisa bertahan mengikuti kehidupan ini di kemudian hari. Bayangkan jika bayi yang lahir itu dibiarkan begitu saja, tanpa dirawat kalau sakit, apalagi disekolahkan saat besar. Mungkin si bayi tak bisa bertahan sampai menginjak dewasa.

Merek pun demikian, harus dikelola dengan baik agar tetap menarik sehingga konsumen terhipnotis  untuk “meminangnya”. Jagalah pancaran aura positif, bila perlu terus tambah dan tumbuhkan lagi pancaran itu hingga mencapai puncak kemenangan. Kita menyadari bahwa aura merek yang paling positiflah yang akan diingat konsumen tanpa rasa terpaksa. Aura positif juga berfungsi sebagai pelindung merek yang kuat, yang sanggup menahan serangan-serangan musuh. Lihat saja Nokia, diserang kiri-kanan tetap bisa bertumbuh, karena auranya kuat. Di kuartal pertama 2010, penjualannya 107,8 juta unit—naik 16 persen dibanding tahun lalu. Bahkan di Cina, sumber hand phone murah, Nokia sanggup menjual 21,1 juta unit—naik 20 persen dibanding tahun lalu. Penjualan di Cina saat ini mencapai 19,57 persen dari penjualan global Nokia dengan penguasaan pasar mencapai 40 persen. Fantastis, aura Nokia sanggup menghipnotis konsumen Cina yang sangat kritis.

Jikalau aura yang dipandang konsumen itu bersifat negatif, maka tak ubahnya seseorang yang sudah dekat dengan “liang lahad” alias kematiannya. Kalau hidup dilihat tidak baik oleh orang lain, lalu untuk apa? Jadi, bangunlah aura merek Anda sepositif mungkin, dan silakan Anda menikmati hasilnya. Kalau merek sudah dicap negatif, Timor umpamanya (walau sebenarnya tak jelek-jelek amat), ya mati. Apabila sudah mati, sulit untuk hidup kembali. (Majalah MARKETING)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.