Marketing.co.id – Berita Financial Services|Sering sekali kita mendengar yang namanya “Bandar”. Kata tersebut lebih sering digunakan untuk mereferensikan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki atau menjual barang dengan volume yang besar dan biasanya memiliki kesan negatif.
Ada banyak sekali istilah bandar yang sering kita dengar sehari-hari di negeri ini, seperti bandar judi, bandar narkoba, dan untuk yang kaitannya dengan pasar modal adalah bandar saham.
Dalam hukum ekonomi tidak pernah ada penjelasan spesifik yang mengatakan adanya bandar atau menyentuh definisi bandar dalam konsep demand dan supply. Yang lebih menarik lagi adalah muncul terminologi “Bandarmology” yang berarti suatu ilmu untuk mempelajari pergerakan bandar.
Jadi jika secara teori dan hukum ekonomi saja tidak dijelaskan asal-usul dari “bandar saham”, lalu dari mana perkataan “bandar saham” ini muncul di pasar modal Indonesia? Apakah mereka benar-benar ada? Apa tujuan mereka dan bagaimana cara kerjanya?
Sebutan “Bandar saham” lebih menunjuk kepada kelompok orang atau investor yang memiliki investasi dalam jumlah kepemilikan saham yang besar dan cukup signifikan pada suatu perusahaan, dan memperjualbelikan saham tersebut di pasar dalam volume yang besar.
Baca juga: Potensi Pasar Keamanan Siber sangat Besar, ITSEC Asia Siap IPO
Tujuan dari bandar saham ini tak jauh berbeda dengan investor pasar modal lainnya, yaitu ingin meningkatkan nilai investasi dari aset mereka, atau dalam hal ini adalah saham perusahaan yang mereka invest dalam jumlah besar.
Dalam proses mengangkat harga saham, biasanya dimulai dengan akumulasi dan mengumpulkan saham yang ada di pasar saat harga saham sedang dalam posisi yang rendah dan undervalue secara valuasi fundamental.
Dari proses akumulasi dan pengumpulan saham yang ada di pasar oleh bandar, terciptalah “kekuatan permintaan” (demand force). Jika proses ini terjadi secara terus-menerus,maka terjadilah “kekosongan pasokan” (supply) di pasar.
Tentunya bedasarkan teori ekonomi, jika demand meningkat dan supply menurun akan membuat harga saham naik. Untuk tahap selanjutnya, harga saham yang sudah mulai naik karena faktor “kekosongan pasokan” akan dibumbui oleh bandar dengan memanfaatkan media informasi, dengan cara menyajikan informasi menarik, bahwa saham tersebut adalah unggulan investasi masa depan.
Kondisi tersebut diciptakan untuk mengakselerasi kenaikan harga saham. Setelah itu, sang bandar akan mekukan uji coba kepada market dengan melihat apakah harga saham tersebut akan terus naik, seiring partisipasi bandar yang mulai dikurangi pada pasar, dengan melepaskan kepemilikan saham kepada investor retail secara bertahap.
Jika semua rencana berhasil sesuai harapan, maka sang Maestro atau bandar saham telah berhasil. Sebaliknya jika rencana dan exit strategy mereka gagal karena saham yang sudah dikumputkan ternyata tidak bagus, atau publik tidak mau mengikuti momentum kenaikan harga saham yang sudah dibuat oleh sang bandar, maka tentunya sang bandar harus menanggung rugi yang luar biasa karena uang cash mereka akan tertahan dalam bentuk aset saham.
Baca juga: Memahami Investasi Saham: Pengertian, Tips, Keuntungan, dan Kerugian untuk Pemula
Mengenal Tipe Broker yang Ada di Bursa
Kita mengetahui, bahwa semua investor akan melakukan transaksi beli atau jual lewat broker-broker yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Bisa dikatakan bahwa broker-broker ini adalah perpanjangan tangan dan representasi para investor di pasar, dimana investor besar seperti institusi dan klien besar pasti akan cenderung bertransaksi dengan broker besar yang memberikan research yang lebih komprehensif tentang kondisi pasar, walaupun broker ini mengenakan biaya transaksi yang lebih mahal. Ini berbeda dengan investor retail yang biasanya menggunakan broker yang lebih kecil yang menawarkan biaya transaksi yang lebih kompetitif.
Berikut adalah beberapa tipe broker besar. Pertama adalah broker asing yang sering menjadi perpanjangan tangan dari investor besar (institusi dan Asset Management) dari luar negeri seperti Temasek Holdings, Fidelity, Schroders, Manulife, dan Ashmore. Mereka ini memiliki potensi untuk menggerakkan pasar.
Tipe lainnya, yakni broker BUMN besar yang sering digunakan oleh investor besar dari dalam negeri seperti BPJS TK, PT Taspen (Persero), Asuransi Jiwasraya, Dana Pensiun ASABRI, bahkan Pemerintah Indonesia sendiri saat melakukan corporate action seperti pembelian kembali (buyback) saham-saham BUMN yang dianggap terlalu murah oleh perusahaan. Contoh lain dari broker tipe ini adalah Bahana Sekuritas, BNI Sekuritas, Danarekasa Sekuritas, dan Mandiri Sekuritas.
Sumber: Buku “Fundamental vs Technical, Which Side are You in?” karya Rivan Kurniawan & Liyanto Sudarso, CSA