Angkat Merek Lokal Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

eddy hartonoMasih banyak yang menduga kalau merek Hammer berasal dari luar negeri. Tapi, siapa sangka nama yang disematkan pada produk fashion ini merupakan merek asli Indonesia yang dibesarkan oleh tangan dingin Eddy Hartono, President Director PT Warna Mardhika. Di tengah serbuan pakaian jadi dan ritel asing yang kian gencar, Eddy justru mampu mengangkat pamor Hammer, Nail, dan Coconut Island sebagai merek lokal yang berjaya di negeri sendiri.

Bagaimana resep sukses pria yang juga menjadi Ketua Bidang Ritel, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini membuat Warna Mardhika (WM) konsisten di jalur fashion di Tanah Air lebih dari 25 tahun? Untuk mengetahuinya, berikut petikan wawancara Eddy Hartono dengan Moh. Agus Mahribi, jurnalis Majalah MARKETING, bersama fotografer Asep Toni K.

Bisa diceritakan bagaimana kisah Anda membangun merek Hammer?
Sekitar tahun 1982, saya sudah memulai bisnis garmen dengan membuat kemeja merek “Lacoupe” yang dipasarkan langsung ke department store Matahari. Kemeja Lacoupe cukup diminati, namun dalam perjalanannya banyak kendala yang harus dihadapi, seperti keterbatasan ruang, margin yang terus berkurang, hingga pembatasan untuk masuk ke kompetitor.

Menyiasati hal tersebut, tahun 1987 dirilis kaus berkerah merek “Hammer”. Pertimbangannya, meski produksi polo shirt (kaus berkerah) mulai gencar di pasaran, belum ada yang menggunakan bahan dari katun. Saya ingin melakukan gebrakan dan tampil beda agar bisa diterima pasar, sehingga kaus Hammer diproduksi menggunakan bahan 100% katun dan pilihan warna yang cerah dengan jahitan dan model yang menyesuaikan selera konsumen, terutama kalangan muda.

Produk Hammer pertama dirilis di Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) dengan memperkenalkan 50 desain dan setiap desainnya ada 30 lusin. Dalam pameran ini semua produk yang ditawarkan ludes terjual. Saat itu respons konsumen sangat bagus dan merek Hammer pun meroket, sehingga banyak peritel yang memesan produk-produk Hammer.

Keberhasilan ini mendorong kami untuk melakukan ekspansi bisnis dengan membuat gerai sendiri. Gerai pertama berlokasi di Pasaraya, kemudian dibuka gerai lagi di Ratu Plaza dan beberapa lokasi lainnya, termasuk pengembangan gerai Hammer di luar kota. Tujuan mengelola gerai sendiri agar kami dapat mendeteksi pasokan serta lebih mudah mengatur tema fashion yang ingin ditampilkan di setiap gerai, termasuk mengoptimalkan keuntungan ketimbang dititipkan di department store.

Apa strategi Anda dalam menjaga merek ini?
Kami menjaga pasar melalui terobosan baru, baik dari segi kualitas, desain, dan jaringan distribusi, termasuk terus meremajakan merek Hammer. Jadi, yang pakai Hammer bukan hanya mereka yang tumbuh remaja di tahun 1980-an. Target pasarnya anak muda sekarang berusia 25–30 tahun dengan karakter kasual dan urban.

Selain Hammer, apa saja merek yang ditawarkan WM?
Dalam strategi merek, WM mengimplementasikan strategi multi-brand sehingga memberikan banyak pilihan kepada konsumen. Selain Hammer, ada “Nail” yang diperkenalkan pada tahun 1994, sebagai pakaian khusus pria dengan membidik para eksekutif muda. Produk-produk Nail menggunakan bahan yang lebih bagus dibandingkan Hammer, bahan katun yang diimpor dari India. Merek ini pertama dirilis di Pasaraya dan sekarang dipasarkan di department store premium, seperti Sogo. Alhasil, harga jualnya pun jauh lebih mahal dibandingkan Hammer, bisa dua kali lipat.

Kemudian tahun 2009, kembali dirilis merek baru “Coconut Island” dengan konsep kasual yang didominasi jenis t-shirt (kaus), menyasar segmen remaja dan kelas menengah. Keberanian hanya membuat kaus didapat dari pengalaman saya ketika bepergian ke Amerika Serikat. Waktu itu saya melihat ada beberapa toko hanya menjual kaus, tetapi laku keras dan digemari anak-anak muda untuk kuliah.

Awal menawarkan produk baru ini, agak sulit diterima pasar. Saya coba menawarkan ke dua department store dan mereka menolak, bahkan saya dianggap bermimpi menjual kaus seharga lebih dari Rp200.000. Akhirnya saya coba tawarkan ke Sogo dengan pilihan bila ditolak, akan dibuka gerai sendiri dalam memasarkannya. Ternyata setelah ditawarkan ke Sogo, respons mereka sangat bagus karena produk dinilai memiliki keunikan dan perbedaan dengan merek-merek lain.

Apa kunci sukses Anda dalam membangun WM?
Kunci keberhasilannya, kami tak pernah berhenti untuk berinovasi guna melakukan perubahan, perbaikan, dan peningkatan kualitas produk yang didasari kritikan dan masukan dari konsumen. Termasuk mengikuti tren fashion di luar negeri dan mau belajar dari merek-merek top asal luar negeri, serta berani berekspansi membuka toko sendiri ketimbang bergantung pada department store. Berdasarkan pengamatan saya, rata-rata merek luar negeri bisa top karena memiliki toko, konsep, dan sistem sendiri.

Bagaimana Anda menjalankan leadership kepada tim?
Sebuah perusahaan akan maju bila pemimpinnya mau berbaur dengan karyawannya. Bagi saya, perusahaan adalah sebuah keluarga besar. Alhasil, setiap karyawan yang ada di WM dianggap bagian dari keluarga, sehingga karyawan diberikan kepercayaan dalam mengembangkan dan membangun perusahaan. Kepercayaan itu penting agar para karyawan bisa berpikir kreatif dan mau bertanggung jawab. Sebagai contoh, bila ada kejanggalan atau hal-hal tidak benar di gudang ataupun di gerai, para karyawan akan berinisiatif mencari kontak saya atapun melaporkannya kepada saya.

Selain itu, saya tekankan kepada mereka bahwa perusahaan ini adalah milik mereka juga. Jadi karyawan harus berpikir bila produksi telat, banyak orang yang tidak bisa makan, baik mereka sendiri maupun keluarganya. Lantaran hal itu dapat berdampak terhadap penurunan penjualan, sehingga tidak bisa membayar gaji, bayar pajak, sewa tempat dan listrik. Saya memiliki keinginan untuk bisa menghidupi dan membahagiakan banyak orang, sehingga saya berpandangan kalau kita memikirkan orang lain, pasti Tuhan akan memikirkan kita. Hidup kita tidak akan miskin dan susah bila membantu orang lain, karena rezeki akan mengalir dengan sendirinya.

Bagaimana strategi branding yang dilakukan WM?
Sekarang strategi branding yang dilakukan lebih fokus bermain di visualisasi gerai agar terlihat unik dan gampang diingat orang. Misal gerai Coconut Island di Mal Alam Sutera dengan tampilan bergaya klasik, menggunakan jendela antik dan manekin dari sangkar burung. Semua didesain sendiri agar orang tertarik untuk datang ke gerai.

Aspek desain juga berperan penting dalam membangun merek. Tujuannya menciptakan produk yang bisa diterima konsumen dan menjadi pembeda dari merek lain. Untuk mengetahui tren terkini dan mendatang, kami memanfaatkan desainer dan konsultan di luar negeri, terutama di Eropa. Tapi, eksekusinya tetap disesuaikan dengan budaya di Indonesia karena sebagian besar produk kami ditujukan untuk pasar lokal.

Sedangkan di dalam negeri kami berkolaborasi dengan desainer lokal untuk turut menyemarakkan bisnis fashion dan meningkatkan pangsa pasar produk dalam negeri. Semisal, berpartisipasi pada kegiatan pameran busana, seperti Indonesia Fashion Week 2014. Misinya meyakinkan kepada khalayak bahwa merek lokal tidak kalah dengan merek luar.

Berapa banyak gerai dan karyawan yang dimiliki WM?
Total gerai sendiri yang dimiliki sekarang berjumlah 120 gerai, tersebar di mal kelas B seluruh Indonesia.

Kendala atau tantangan di bisnis ritel fashion saat ini?
Saat ini ritel fashion sedang dalam situasi yang sulit, terkait harga sewa properti yang terus meroket dan perang harga. Hampir setiap ritel fashion melakukan diskon mulai dari 20%–70%. Kalau kita tidak melakukan diskon dan membuat program, maka hanya akan jadi penonton. Dilalahnya perang diskon semakin mengarah radikal sehingga margin keuntungan habis tergerus dan volume penjualan melorot, sedangkan pengelola mal terus meningkatkan harga sewa.

Kondisi ini membahayakan para pebisnis ritel. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama antara peritel dan pengelola mal untuk mencari solusi terbaik. Selain itu, dibutuhkan turut campur pemerintah dalam memberikan proteksi kepada perusahaan nasional untuk berinvestasi dan berekspansi di negeri sendiri. Harapannya agar peritel lokal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Bagaimana Anda menilai kehadiran ritel dari luar negeri?
Minat para peritel asing untuk masuk ke dalam pasar Indonesia semakin tinggi di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Mereka semakin tertarik untuk berinvestasi dan melakukan ekspansi di Indonesia, sebut saja H&M, Uniqlo, Cotton On. Sungguh ironis melihat masyarakat kita tertarik pada merek asing, padahal kualitas produknya juga tidak bagus-bagus amat. Apalagi ritel asing memasarkan produknya dengan harga yang murah, sehingga merusak persaingan.

Sebagai Ketua Bidang Ritel, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), saya bersama pelaku bisnis fashion terus memperjuangkan supaya merek lokal diperhatikan pula. Saya angkat jempol untuk pemerintah sebab memberikan tenggat waktu selama dua tahun bagi peritel asing untuk berproduksi di dalam negeri, namun tetap boleh menggunakan merek asing.

Strategi WM dalam menghadapi persaingan dengan ritel asing?
Melakukan head to head dengan ritel asing. Pasalnya, produk-produk WM ataupun produk Indonesia tak kalah kualitasnya dari produk luar. Faktanya WM pernah menyandingkan counter-nya di samping counter merek asing di beberapa mal premium di Jakarta. Hasilnya omzet WM lebih besar dari ritel asing tersebut. Satu lagi yang kami cermati, ritel asing masih gengsi untuk masuk ke mal-mal yang tidak premium. Ceruk ini yang dimaksimalkan dengan ekspansi ke mal-mal di luar Jakarta atau luar Pulau Jawa. Apalagi sewa gerai di daerah lebih murah, tenaga kerja terjangkau, dan perekonomian masyarakat daerah sedang bertumbuh.
Moh. Agus Mahribi

Foto: Asep Toni K

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.