Masih banyak hak masyarakat Tuli yang belum terpenuhi. Pemenuhan hak Tuli juga belum banyak menarik perhatian publik. Bahkan, masyarakat masih menganggap istilah “Tuna Rungu” lebih baik daripada “Tuli”. Padahal, menurut Gerkatin Kepemudaan (Organisasi khusus untuk Tuli Muda dan anak-anak Tuli), istilah Tuli dan Tuna Rungu sangat berbeda.
Surya Sahetapy, pegiat dan aktivis Tuli, mengungkapkan, “Saya dan teman-teman Tuli lebih senang dipanggil Tuli karena Tuli menunjukkan kami memiliki identitas, budaya, bahasa, dan komunitas sendiri.” Sementara sebutan tuna rungu merujuk pada pendengaran yang rusak.
Untuk mengajak masyarakat lebih peduli dengan pemenuhan hak-hak Teman Tuli, Kitabisa.com berkolaborasi dengan Gerkatin Kepemudaan merilis Video Social Experiment. Dalam video ini, enam orang Teman Dengar diminta untuk mengobrol dengan Teman Tuli untuk pertama kalinya. Menariknya, enam orang Teman Dengar sama sekali tidak tahu bahwa mereka akan dipertemukan dengan Teman Tuli.
Video Social Experiment ini berusaha menguji bagaimana Teman Dengar berinteraksi dengan Teman Tuli. Selama ini, tantangan terbesar interaksi keduanya adalah menemukan cara berkomunikasi yang efektif. Dari interaksi antara Teman Dengar dan Teman Tuli dalam video, Social Experiment ini berusaha mengungkap cara paling efektif berkomunikasi dengan Teman Tuli.
Video Social Experiment ini bisa disaksikan melalui kanal Youtube di link: https://ktbs.in/videotulikitabisa. Video ini juga bertujuan mendukung galang dana dua anak Tuli bernama Udana dan Yusi mewakili Indonesia ke konferensi Tuli internasional. Keduanya akan mewakili Indonesia dalam Children Camp – World Federation Deaf Youth Section (WFDYS) di Argentina. Ini pertama kalinya Indonesia mengirimkan wakilnya sejak WFDYS digelar sejak 1987. Galang dana untuk Udana dan Yusi bisa dilihat dalam link berikut ini: kitabisa.com/anaktuli.