AI dalam Customer Engagement: Strategi atau FOMO?

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Pelanggan tidak mencari brand yang paling canggih secara teknologi, tapi mencari brand yang paling mengerti mereka

Marketing.co.id – Berita Digital | Di tengah gelombang transformasi digital, artificial intelligence (AI) telah menjelma menjadi mantra baru dunia bisnis. Dari sektor perbankan hingga eCommerce, semua berlomba mengadopsinya. Namun, seperti banyak tren teknologi sebelumnya, pertanyaannya apakah adopsi ini dilandasi strategi jangka panjang, atau sekadar ikut-ikutan demi terlihat modern?

Associate Professor di PPM School of Management sekaligus konsultan CX Noveri Maulana mengatakan bahwa fenomena Fear of Missing Out (FOMO) masih kuat mewarnai lanskap adopsi teknologi di Indonesia. AI menjadi “wajib punya”. Bukan karena kesiapan, tapi karena ketakutan tertinggal. “Tanpa roadmap yang jelas atau kesiapan organisasi, teknologi sering kali hanya menjadi simbol kemajuan. Bukan solusi yang benar-benar menyentuh akar tantangan pelanggan,” ujarnya dalam sebuah acara di Jakarta.

Menurut Noveri, respons cepat memang penting. Tapi,  yang lebih dibutuhkan pelanggan adalah kepastian. Dalam layanan digital, kejelasan dan transparansi jauh lebih membangun kepercayaan ketimbang balasan instan yang membingungkan. “AI semestinya menjadi penguat kejelasan layanan, bukan penambah noise dalam sistem yang sudah rumit,” ujarnya.

Lebih lanjut Noveri mengatakan bahwa chatbot dapat menjadi alat efisien jika dikembangkan dengan benar. Namun tanpa koneksi pada data pelanggan, pemahaman konteks, dan jalur eskalasi ke agen manusia, chatbot akan berubah menjadi tembok digital yang dingin. Ini bukan hanya membuat pelanggan frustrasi, tapi juga merusak reputasi merek dalam hitungan menit melalui media sosial.

Di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif, Noveri mengingatkan bahwa menjaga pelanggan yang sudah ada adalah strategi yang lebih bijak dan hemat. Namun, retensi tidak dibangun oleh teknologi semata melainkan lahir dari kualitas layanan, empati, dan konsistensi dalam memenuhi janji brand. Tanpa proses yang kuat dan SDM yang terlatih, AI hanya akan mempercantik permukaan tanpa menyentuh fondasi loyalitas.

Bagi Noveri, human touch tidak cukup hanya dengan menyapa “Kak” atau menyebut nama depan. Pelanggan menginginkan pengalaman yang relevan seperti merekomendasi berdasarkan riwayat pembelian, komunikasi sesuai preferensi, bahkan pilihan channel yang nyaman bagi mereka. oleh karena itu, AI dan CRM harus bersinergi menghadirkan layanan yang akrab, bukan transaksional.

AI, kata Noveri, hanyalah Alat. Tanpa tim yang paham nilai, batasan, dan potensi AI, teknologi justru bisa menciptakan jurang antara ekspektasi dan kenyataan. Maka dari itu, investasi terbaik bukan hanya pada software, namun juga pada pengembangan SDM, mulai dari tim marketing, layanan pelanggan, hingga manajemen.

Keunggulan kompetitif di era AI tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling cepat mengadopsi teknologi, tetapi oleh siapa yang paling siap menjadikannya sebagai alat strategis untuk memperkuat hubungan dengan pelanggan. “Teknologi seharusnya hadir untuk memperkuat empati, bukan menggantikannya. Karena, pelanggan tidak mencari merek yang paling pintar tapi mencari yang paling mengerti mereka,” pungkasnya.