Berkat AI, Serangan Siber Kini Lebih Senyap dan Sulit Dilacak

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

adopsi AI, keamanan siber, AI cybersecurity, Asia Pasifik, tren AI keamanan 2025, AI untuk deteksi ancaman, keamanan siber, marketing, Ancaman Siber, Fortinet, social engineeringAdopsi AI dalam Keamanan Siber Melonjak di Asia Pasifik, 84% Organisasi Sudah Menggunakannya

Marketing.co.id – Berita  Digital | Adopsi kecerdasan buatan (AI) dalam keamanan siber (cyber security) semakin pesat di kawasan Asia Pasifik. Survei terbaru IDC yang ditugaskan oleh Fortinet mengungkap bahwa 84% organisasi kini sudah mengimplementasikan AI untuk memperkuat strategi pertahanan mereka, menandai pergeseran besar dari model keamanan reaktif menuju prediktif dan adaptif.

AI membawa dua sisi mata uang dalam dunia cyber security. Di satu sisi, AI membantu organisasi mendeteksi ancaman lebih cepat, mengotomatisasi respons, serta memperbesar skala intelijen siber. Di sisi lain, penyerang juga menggunakan AI untuk meluncurkan serangan lebih senyap dan sulit dilacak.

Baca Juga: Mengapa Risiko Pihak Ketiga Jadi Isu Kritis dalam Cyber Security?

Menurut studi IDC, 61% organisasi di Asia Pasifik melaporkan mengalami serangan berbasis AI dalam setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, 64% mengaku jumlah serangan meningkat dua kali lipat, sementara 29% meningkat tiga kali lipat menunjukkan bahwa ancaman semakin agresif dan kompleks.

Studi ini menegaskan bahwa AI bukan lagi sekadar eksperimen, melainkan sudah masuk ke tahap operasional nyata. Lima kasus penggunaan utama AI dalam keamanan siber saat ini meliputi deteksi ancaman otomatis, respons insiden berbasis AI, pemodelan ancaman prediktif, intelijen ancamanm dan analitik perilaku.

Baca Juga: Gen AI, Antara Ambisi Bisnis dan Cyber Security

Selain itu, generative AI (GenAI) juga mulai digunakan. Misalnya, untuk menjalankan playbook, memperbarui aturan kebijakan, hingga mendeteksi social engineering. Meski begitu, penerapan auto-remediation masih terbatas karena sebagian besar organisasi masih berada di fase “co-pilot”, bukan otomatis penuh.

AI Mengubah Struktur Tim Keamanan Siber

Tren adopsi AI juga berdampak pada kebutuhan tenaga ahli. Lima peran yang paling banyak dicari perusahaan di Asia Pasifik adalah Security Data Scientist, Analis Intelijen Ancaman, Insinyur Keamanan AI, Peneliti Keamanan AI, dan Ahli Respons Insiden khusus AI. Hal ini menunjukkan organisasi tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga membangun struktur tim keamanan berbasis AI untuk menghadapi ancaman modern.

Menurut survei tersebut, hampir 80% organisasi melaporkan adanya kenaikan anggaran cybersecurity, meskipun sebagian besar kenaikannya masih di bawah 5%. Fokus belanja kini lebih terarah pada keamanan identitas, keamanan jaringan, SASE / Zero Trust, ketahanan siber, dan perlindungan aplikasi cloud-native. Pergeseran ini menandai transisi dari investasi infrastruktur tradisional ke strategi yang lebih berorientasi risiko.

Baca Juga: Cara Melindungi Diri dari Ancaman Siber Saat Musim Bayar Pajak

Meski AI membantu, banyak tim keamanan masih kekurangan personel. Rata-rata, hanya 6% tenaga kerja perusahaan dialokasikan untuk TI internal, dan hanya sebagian kecil yang fokus pada cyber security. Bahkan, kurang dari 1 dari 6 organisasi memiliki CISO khusus.

Keterbatasan ini diperburuk oleh tingginya volume ancaman, kerumitan alat yang digunakan, serta tingginya turnover tenaga ahli. Tekanan ini membuat kebutuhan akan konsolidasi dan konvergensi sistem keamanan semakin mendesak.

Konsolidasi Jadi Strategi Inti

Studi IDC menunjukkan bahwa 97% organisasi sudah atau sedang berupaya menggabungkan keamanan dengan jaringan mereka. Konsolidasi tidak lagi hanya soal efisiensi biaya, melainkan kebutuhan strategis untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Sebanyak 79% organisasi juga mempertimbangkan konsolidasi vendor demi integrasi lebih baik, penghematan biaya, serta postur keamanan yang lebih kuat.

Research Vice-President IDC Asia-Pacific Simon Piff mengatakan, “Organisasi kini tidak lagi sekadar bereksperimen dengan AI, melainkan mengintegrasikannya ke dalam deteksi, respons, dan desain tim. Ini menandai era baru operasi keamanan yang lebih cerdas dan adaptif.”

Baca Juga: Tren Industri PR di Asia Tenggara, Mulai dari AI hingga Cyber Security

Sementara itu, Country Director Fortinet Indonesia Edwin Lim mengatakan bahwa AI tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga mengubah cara organisasi membentuk tim, mengalokasikan anggaran, dan memprioritaskan ancaman. “Kami hadir untuk membantu perusahaan menghadapi kompleksitas ini dengan platform keamanan berbasis AI yang lebih tangguh dan terintegrasi,” katanya.

Adopsi AI dalam cyber security di Asia Pasifik melonjak pesat dan kini sudah menjadi standar operasional bagi banyak organisasi. Dengan ancaman berbasis AI yang semakin meningkat, perusahaan dituntut tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga memperkuat struktur tim, strategi investasi, serta konsolidasi sistem keamanan. Ke depan, AI akan terus menjadi pilar utama pertahanan siber, menggeser paradigma dari reaktif ke proaktif, dari terpisah ke terintegrasi.