Bertumbuh Disaat Krisis?

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Berapa seharusnya target pertumbuhan di saat krisis, dan apa yang sebaiknya dilakukan, memasang target setinggi-tingginya atau menurunkan target?

Semuanya sangat bergantung dari strategi managemen yang telah diberlakukan. Ada perusahaan yang tidak menerapkan pencapaian sebagai sebuah kriteria memberikan reward dan insentif kepada karyawan. Berapa pun capaian mereka, gaji dan perolehan tidak terpengaruh. Jika perusahaan kita termasuk yang demikian, maka menempatkan target setinggi-tingginya hanyalah merupakan sebuah mimpi bersama. Namun, jika perusahaan menerapkan pencapaian sebagai sebuah tolok ukur penerimaan gaji atau take home pay, maka penerapan target setinggi-tingginya akan membuat karyawan merasa tidak aman. Akibatnya akan terdemotivasi.

Setiap pemasar dapat memprediksi besaran pasar, besaran pertumbuhan, tentu saja dengan mempertimbangkan faktor macro demand dan micro demand. Macro demand memperhitungkan kondisi ekonomi makro yang bakal mempengaruhi purchasing power. Biasanya hubungannya linear. Artinya, kondisi makro buruk akan menurunkan daya beli, maka pasar yang sangat dipengaruhi kondisi makro secara hitungan di atas kertas pasti akan mengalami koreksi.

Lain halnya dengan micro demand. Jika macro demand melihat dari sisi purchasing power, maka micro demand menghitung peluang secara lebih detail dengan mempertimbangkan keadaan kejenuhan saat ini. Dalam micro demand, pemasar mempertimbangkan apakah masih ada pasar yang belum dipenetrasi. Pasar yang jenuh akan sangat terpengaruh kondisi makro. Tapi, dalam pasar yang belum jenuh, sekalipun terpengaruh kondisi makro, masih bisa dicari sumber-sumber pertumbuhan baru.

Tentunya sumber-sumber pertumbuhan dapat dikejar dengan meluncurkan produk-produk baru yang lebih sensible dengan kondisi makro yang menurun atau dengan memasuki pasar yang belum tergarap. Ada tidaknya target pertumbuhan sangat ditentukan di mana industri dan kapabilitas kita sekarang berada. Bagi pemasar kebanyakan, krisis merupakan kesempatan untuk melakukan konsolidasi. Namun, bagi beberapa pemasar, krisis dianggap sebagai peluang untuk melakukan re-targeting dan repositioning.

Intinya, apa pun keadaannya, selalu ada kesempatan untuk mempertahankan keadaan. Lebih positifnya lagi, masih ada peluang bagi industri yang belum jenuh untuk melakukan re-targeting dengan meluncurkan produk-produk baru yang lebih sensible. Masih ingat ketika krismon tahun 1997-1998? Beberapa perusahaan minyak goreng meluncurkan minyak goreng dengan kemasan yang sangat ekonomis, dari packaging yang rigid ke flexibel pakaging. Demikian pula dengan shampo dan sabun mandi meluncurkan refill pack. Otomotif menawarkan mobil berkapaitas penumpang 7 seater yang makin digemari, bahkan tidak pernah berhenti menerima permintaan untuk indent.

Ketika kondisi tidak krisis, tawaran convenient merupakan proposisi yang menarik, mungkinkah ini saatnya pemasar menambah tawaran convenient menjadi convenient plus economical? Sepeda motor misalnya, tidak hanya menawarkan satu seater boncengan tetapi dua seater boncengan? (www.marketing.co.id)