Pernahkah Anda mendapatkan pengalaman buruk saat berinteraksi dengan sebuah merek? Tentu, kita semua pernah mengalaminya. Ada perasaan jengkel dan tidak puas.
Bahkan, saking jengkelnya muncul keinginan untuk tidak akan pernah melakukan bisnis dengan mereka lagi.
Walaupun delapan puluh persen perusahaan mengklaim memiliki layanan pelanggan yang baik, hanya 8% saja dari pelanggan yang setuju dengan itu.
Richard S. Gallegher dalam bukunya What to Say to a Customer mengatakan, banyak perusahaan terjebak dalam sebuah pola yang sangat familiar begitu produk atau jasa mereka meraih kesuksesan.
Mereka membiarkan kesuksesan berubah menjadi eksklusivitas, yang pada akhirnya akan berubah menjadi arogansi dan kebanggaan yang berlebihan hingga menyebabkan kehancuran.
Anda akan menyadarinya ketika sebuah toko tutup 2 jam sebelum sebagian besar orang pulang kerja, ketika sebuah restoran menempelkan tanda “tidak boleh ditukar” di depan meja kasir, atau ketika orang bersikap seakan semua ini adalah tentang mereka dan bukan pelanggan.
Pertanyaannya, apakah mereka berperilaku seperti itu karena mereka kejam dan kasar? Ironisnya, kemungkinan tidak.
Menurut Richard, hal itu lebih merupakan akumulasi dari situasi kecil – pelanggan yang terlalu menuntut, pelanggan yang berusaha memanfaatkan kebijakan penukaran barang, atau pegawai baru yang menyita terlalu banyak waktu untuk belajar.
Sehingga akhirnya kita menciptakan terlalu banyak peraturan yang kaku dan mengembangkan perilaku yang terlihat seperti tidak menaruh hormat pada pelanggan.
Bahkan, kita sampai lupa bagaimana rasanya ketika kita sangat ingin tahu urusan orang lain dan ingin menyenangkan hati mereka.
Jadi, kata Richard, jangan remehkan frustasi kecil ini. Terutama jika Anda benar-benar memiliki produk atau jasa yang sangat baik. Dan ingatlah, pelayanan yang hebat selalu diawali dengan rasa hormat kepada pelanggan sebagai sesama manusia. (***)
Temukan tips-tips seputar layanan pelanggan di sini!