Budaya, Unsur yang Terlupakan dalam International Marketing Strategy

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

www.marketing.co.id – Sering kali budaya dilupakan ketika sebuah perusahaan berekspansi ke pasar internasional. Perusahaan cenderung arogan dan yakin bahwa produk atau servis yang mereka tawarkan akan diterima oleh konsumen di negara lain. Bahkan, multinational company (MNC) yang sudah eksis dan berpengalaman di pasar internasional, seperti Danone, IKEA, P&G, cenderung mengabaikan unsur budaya.

Mempertimbangkan budaya lokal sebagai strategi ekspansi internasional bukanlah hal yang baru. Bahkan, di sekolah-sekolah bisnis, hal ini terus didengungkan. Namun kenyataannya, adaptasi dengan budaya setempat merupakan hal yang sering dilupakan. Eksekutif di perusahaan multinasional lebih condong fokus menghasilkan produk dengan mutu terbaik,  manajemen yang efisien, dan sistem distribusi yang luas.

Mereka begitu yakin bahwa produk, manajemen, dan harga yang lebih baik dari produk lokal akan diterima oleh konsumen. Tetapi, mereka lupa bahwa hal yang dianggap baik oleh perusahaan belum tentu sama dengan harapan masyarakat. Tak heran, sering kali kegagalan ekspansi suatu perusahaan ke negara lain disebabkan arogansi perusahaan untuk memaksa konsumen lokal menerima produk yang mereka tawarkan dan minimnya marketing research.

Tidak seperti keadaan ekonomi atau politik-hukum—seperti halnya tarif dan peraturan pemerintah—budaya merupakan unsur yang tidak mudah diukur dan ditetapkan. Akan tetapi, budaya tidak dapat dilepaskan dari bisnis multinasional. Budaya merupakan faktor unik suatu negara. Bahkan negara-negara Eropa yang sekarang menjadi satu kesatuan tetap mempunyai nilai-nilai budaya nasional yang berakar kuat. Tak heran bila banyak ahli ekonomi yang meyakini bahwa konsumen dari budaya yang berbeda akan tetap memiliki sikap yang berbeda, persepsi, selera, preferensi dan nilai-nilai, dan tetap enggan untuk membeli produk asing (Suh dan Kwon, 2002).

Mengapa adaptasi dengan budaya lokal begitu penting? Hal ini kembali ke teori bisnis yang menerangkan sebuah komponen penting dari profitabilitas adalah pendapatan, dimana pendapatan tergantung pada kemampuan perusahaan memuaskan kebutuhan pelanggan lebih baik dari pesaing (Hauser et al, 2006). Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan
yang mengoperasikan bisnis mereka.

Lesson for Learning

Ada beberapa pelajaran yang saya dapatkan ketika menghadiri seminar di the University of Queensland yang dihadiri oleh mahasiswa program master dari berbagai negara.

Pertama, budaya bukanlah hal baru, tapi sering terlupakan.

Dr. Sunil Vernaik, salah satu ahli bisnis internasional di the University Of Queensland, pada seminar tersebut menyatakan bahwa teori mengenai pentingnya budaya dalam perdagangan internasional bukanlah suatu teori yang baru, namun sering kali justru sering dilupakan ketika sebuah perusahaan berekspansi ke luar negeri. Kellogg’s sebagai contoh, produsen susu sereal yang sangat terkenal dan menguasai hampir 40% pangsa pasar sereal di dunia ini ternyata mengalami kegagalan saat mereka memasarkan produk ke India. Ekspansi dengan nilai jutaan dolar terancam merugi.

Kegagalan Kellogg’s bukan karena kualitas produk, manajemen, ataupun jalur distribusi, namun karena mereka kurang memahami budaya masyarakat India dalam mengonsumsi sereal. Konsumen di India terbiasa dengan susu yang hangat dan menambah gula ke dalamnya, sehingga ketika mereka menuangkan susu panas ke Kellogg’s crispy flakes membuat sereal tersebut menjadi lunak dan tidak gurih.

Hal ini menyebabkan konsumen di India tidak menyukai Kellogg’s sereal. Kellogg’s berusaha mendidik konsumen di India untuk mengonsumsi produk mereka dengan cara orang Amerika—mereka menuangkan susu dingin ke crispy flakes. Cara seperti ini gencar diiklankan di televisi, dan Kellogg’s pun melakukan kunjungan ke konsumen. Namun, hal ini tidak berhasil. Budaya orang India mengonsumsi sereal sebagai menu makan pagi tidaklah mudah diubah.

“Perusahaan harus terus beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan dan membuat keputusan tentang bagaimana mengubah strategi pemasaran mereka agar berhasil.

 

Kedua, adaptasilah strategi pemasaran dengan budaya yang terus berubah.

Budaya bukanlah sesuatu yang selalu sama.  Hal yang dipercayai baik oleh konsumen hari ini tidaklah sama untuk hari berikutnya. Proses memahami apa yang diinginkan oleh konsumen tidaklah mudah karena cepatnya perubahan lingkungan tempat bisnis beroperasi.

Oleh karena itu, perusahaan harus terus beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan dan membuat keputusan tentang bagaimana mengubah strategi pemasaran mereka agar berhasil. Dalam strategi pemasaran internasional, perbedaan dalam lingkungan ekonomi, lingkungan politik hukum, dan lingkungan budaya merupakan hambatan khas untuk sukses di pasar baru (Kotler et al, 2005).

Setelah membuka toko per tama di Philadelphia pada tahun 1985, IKEA menemukan bahwa produk yang diinginkan oleh masyarakat di Amerika tidak seperti produk yang ditawarkan oleh IKEA. Rupanya, tempat tidur dan lemari dapur yang ditawarkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat Amerika.

Sebaliknya, IKEA menawarkan sofa yang terlalu keras untuk kenyamanan Amerika; dimensi produk berada dalam sentimeter bukan inci; dapur yang terlalu kecil untuk ukuran Amerika. Hampir semua yang ditawarkan oleh IKEA tidak sesuai dengan yang diinginkan konsumen di USA (Moon, 2002).

IKEA tertolong ketika budaya dan nilai konsumen di Amerika mulai berubah akibat perubahan teknologi. Pada waktu ledakan teknologi tahun 1990-an, ada perubahan signifikan. Konsumen terinspirasi untuk membeli barang-barang berteknologi tinggi. Keinginan generasi baru akan teknologi, barang-barang berdesain tinggi, meningkat secara drastis.

Yang lebih penting untuk IKEA adalah perubahan persepsi dan budaya masyarakat di Amerika membuat masyarakat berbondong-bondong ke IKEA untuk membeli sofa, perabotan, dan produkproduk IKEA yang memiliki desain lebih modern daripada produk lokal. Masyarakat pun mulai berubah persepsi; perabotan mahal bukan dinilai dari material, tetapi dari segi desain. Untuk IKEA, ini adalah kesempatan.

Ketiga, faktor marketing research mutlak untuk ekspansi ke luar.

Market research untuk mengerti keinginan konsumen, menghargai budaya lokal dengan menyesuaikan produk dan budaya setempat itulah kunci sukses untuk memasarkan produk ke suatu negara dengan budaya yang berbeda. IKEA sebagai contoh, pada waktu pertama kali masuk ke USA, mengalami kegagalan yang fatal sebagai akibat tidak adanya riset pemasaran yang memadai mengenai budaya masyarakat di USA. Mereka melupakan perbedaan budaya konsumen yang cukup mendasar antara Eropa dan USA (Leland, 2002). Bahkan, mereka cenderung arogan dan yakin produk-produk IKEA akan diterima dengan mudah. Akibatnya, IKEA menelan pil pahit dan mengalami kerugian yang signifikan akibat kegagalan mereka menjual produk yang sesuai dengan keinginan konsumen di Amerika.

IKEA pun mengubah strategi pemasaran mereka dan melakukan riset pemasaran yang mendalam mengenai preferensi konsumen di Amerika. Kini, IKEA mempunyai 37 toko di Amerika Serikat dan mendapatkan 11% dari seluruh penjualan dari sana, yang merupakan negara terbesar kedua, diikuti oleh Jerman (IKEA website, 2010).

Pada akhirnya, menghargai budaya lokal menjadi kunci sukses bagi perusahaan. Arogansi sering kali membuat adaptasi ke budaya lokal sebagai bagian dari strategi pemasaran internasional terlupakan. Bagi perusahaan yang akan memperluas pemasaran ke luar negeri, mungkin teori “go global think locally” perlu untuk dipertimbangkan.

LIEM GAI SIN, dosen Universitas Ma Chung
dan konsultan Limanbrother