www.marketing.co.id – Semua orang di Jakarta sekarang ini mengeluhkan transportasi yang buruk dan jalan yang semakin macet. Dua kali empat meter jalan raya seperti sudah tidak mampu menampung begitu banyak kendaraan di jalan raya. Dalam sebuah wawancara, ketua Organda mengeluhkan terlalu mudahnya konsumen memiliki kendaraan pribadi, sehingga ruang bergerak transportasi umum di Jakarta semakin sempit. Akibatnya hal ini mengurangi omzet, dan tidak mengherankan jika pengemudi kendaraan umum pun akhirnya mengambil jalur Trans Jakarta (busway).
Akibat aksi nekat ini, giliran pengemudi Trans Jakarta yang marah-marah kepada pengemudi angkutan umum yang menyerobot jalur mereka. Para pengemudi Trans Jakarta marah-marah kepada pengemudi angkutan umum lainnya dan pengemudi kendaraan pribadi karena mengambil jalur mereka. Sopir angkutan umum lain marah karena kebanyakan angkutan pribadi yang mengambil jalur mereka. Angkutan pribadi marah kepada Trans Jakarta karena jalur mereka diambil sebagian untuk Trans Jakarta.
Wow, jalan raya sekarang seperti mencerminkan kompetisi yang absolut sempurna. Benar-benar menyesakkan, sehingga membuat etika semakin tidak memiliki tempat.
Sama seperti kondisi di market. Semakin tingginya polarisasi merek yang ada di pasar membuat para marketer mulai mengeluhkan etika dan integritas marketer lain yang bermain di “jalur” yang sama. Martin Lindstorm, salah satu brand expert, tergolong cukup “galak” dalam soal ini. Setelah buku best seller-nya Buyology: Truth and Lies about What We Buy memprovokasi konsumen, dalam bukunya yang terakhir, Brandwash, Lindstorm bahkan lebih “keji” memojokkan banyak marketer karena dianggap melakukan trik-trik yang memanipulasi pikiran dan mendorong orang untuk membeli. Bahkan buku ini disejajarkan dengan film kontroversial Super Size Me yang memojokkan McDonald.
Sebagai orang marketer, belum tentu kita sejalan dengan apa yang dipikirkan Martin. Namun, kita lama-lama akan sepakat dengan apa yang ditulisnya di majalah Fast Company. Di majalah tersebut dia memprediksi bahwa tahun 2012 adalah awal era kebangkitan pentingnya etika. Ini adalah era Wikileaks, saat konsumen mengharapkan keterbukaan dan transparansi.
Lynn Upshaw, seorang pakar merek lainnya, mengajak marketer untuk lebih menonjolkan integritas. Kata ini sepertinya lebih membanggakan dan nyaman dipakai oleh perusahaan dibandingkan etika. Integritas menurut Wikipedia menyangkut soal kejujuran, kebenaran, serta akurasi dalam bertindak. (Sama seperti para pengguna jalan raya, dibutuhkan integritas untuk tidak menyerobot lampu merah atau mengambil jalur yang tidak semestinya).
Lynn mengatakan dalam bukunya Truth bahwa dunia marketing sekarang ini memasuki era yang menyenangkan dalam sejarah. Dengan semakin populernya online promotion, buzz marketing, dan multimedia messaging, bisnis seperti menemukan banyak cara baru dalam memasarkan produk.
Namun ironisnya, semakin keras kita berjualan, semakin konsumen malas membeli. Sama halnya dengan kita dewasa ini yang semakin malas menghadapi para agen kartu kredit maupun SMS broadcast yang menawarkan kredit tanpa agunan.
Apa yang terjadi karena konsumen membutuhkan kejujuran dan keterbukaan informasi ketimbang provokasi berlebihan. Masyarakat semakin jenuh oleh komunikasi yang terlalu membanjiri otak, termasuk pula masalah korupsi, ketidakjujuran wakil rakyat, sampai terlalu pintarnya orang partai politik menjual citra ketimbang janji. Tak mengherankan rasa kritis mereka terhadap pemerintah dan anggota DPR akan membuat mereka semakin dewasa pula melihat produk-produk yang dibeli.
Oleh karenanya, menurut Lynn, kita sebaiknya mencoba melakukan convincing daripada selling, mencoba meraih kredibilitas daripada keuntungan jangka pendek, promosi dengan cara yang jujur, selalu hadir saat dibutuhkan konsumen, dan menempatkan trust dalam value yang ditawarkan kepada konsumen.
Integritas memang harus menjadi nadi perusahaan, bukan sekadar slogan yang dijual kepada konsumen. Masalahnya integritas juga membutuhkan kedisiplinan dan stamina kita.
Bayangkan siang hari di tengah teriknya matahari, Anda berada di jalur lalu-lintas yang demikian macetnya. Sementara kendaraan umum dengan seenaknya memotong jalur Anda. Bayangkan pula jika Anda memiliki janji dan sudah telat 1 jam sementara jalur Trans Jakarta di sebelah kanan Anda terlihat lengang! Tidakkah Anda tergoda untuk mengikuti Metromini, mobil pribadi, sampai mobil pejabat yang ikut-ikutan masuk ke jalur Trans Jakarta? Ya, integritas membutuhkan satu lagi, yakni iman yang kuat! (Rahmat Susanta)