www.marketing.co.id – Bulan lalu saya baru saja meluncurkan buku perdana, QI: Quality Implementasi–Kunci Meningkatkan Komitmen Tim, Mengimplementasikan Strategi, dan Melipatgandakan Hasil, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku ini telah dinanti-nantikan oleh banyak pihak, terutama para klien yang pernah menggunakan jasa pelatihan dan konsultasi kami ataupun para eksekutif yang selama ini memiliki permasalahan dalam mengimplementasikan gagasan, rencana, maupun strategi mereka.
Tingginya minat tersebut terlihat dari respons pada saat acara peluncuran buku ini berlangsung, dihadiri lebih dari 80 pemimpin perusahaan terbaik di dalam negeri. Bahkan salah satu dari mereka menyatakan niat untuk memesan 3.000 copy buku QI untuk diberikan kepada para karyawannya. Bobot acara ini juga terlihat dari kehadiran Managing Director Gramedia Pustaka Utama Bapak Wandi S. Brata, juga narasumber yang mendampingi saya sebagai pembicara pada hari itu: dua orang petinggi di perusahaan terbaik di industri masing-masing, yakni Bapak Hasnul Suhaimi, President Director XL Axiata Tbk, dan Ibu Maria G. Limi, Chief of Sales Officer Viva Media Group (TVOne, ANTV, Vivanews.com)
Mengapa QI menjadi sangat penting, terutama di tengah kondisi persaingan ketat seperti saat ini? Pertama, karena QI bukanlah teori semata. Konsep ini telah dipraktikkan selama bertahun-tahun dan telah menunjukkan hasil yang terbilang fenomenal. Beberapa perusahaan bahkan mampu meningkatkan penjualannya lebih dari 100% hanya dalam kurun waktu yang relatif singkat. Kedua, karena kesederhanaan prinsip dan langkah-langkah yang ditawarkannya. Ketiga, karena QI sering menjawab permasalahan di banyak perusahaan saat ini. Bagian tersebutlah yang akan kita bahas dalam artikel kali ini.
Kondisi persaingan dunia usaha sekarang ini bukan lagi pada tataran strategi, melainkan pada tataran IMPLEMENTASI. Kenapa demikian? Karena saat ini, di era keterbukaan informasi yang hampir tak terbatas, sangat mudah bagi para pelaku usaha untuk saling mengintip strategi yang sedang dilakukan oleh para kompetitornya. Juga di sisi lain, sangat mudah bagi kita untuk melihat dan mengetahui kebutuhan pasar yang semakin “demanding” saat ini. Intinya, kita tidak lagi kekurangan informasi-informasi tersebut. Kita malah kebanjiran informasi. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu ciri di era “knowledge worker” yang tentu saja telah mengubah kondisi dan peta persaingan, termasuk pendekatan kepemimpinan saat ini. Bagi pemimpin yang masih menggunakan cara-cara lama untuk menghadapi kondisi yang sudah berubah secara dramatis dan sering kali menghadapi kekecewaan serta kegagalan, saya ucapkan, “Selamat datang”.
Begitu pentingnya peran implementasi dewasa ini tidak didukung dengan rujukan yang memadai, terlebih rujukan yang kompeten dan relevan sesuai dengan pasar Indonesia. Oleh karena itu, ketika ide penulisan buku ini pertama kali saya lontarkan dua tahun yang lalu, Gramedia Pustaka Utama (GPU) sebagai penerbit terbesar dan terbaik di Indonesia saat ini langsung merespons secara positif. Perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan konsep ini pun sangat antusias ketika kami ajak untuk berpartisipasi sebagai contoh kasus nyata dalam setiap bab.
Tentu kita bertanya-tanya, apa penyebab kegagalan implementasi sebuah rencana atau strategi? Jika kita mencari alasan-alasannya, tentu akan muncul daftar permasalahan yang sangat panjang. Oleh karena itu kami telah mengelompokkan permasalahan tadi menjadi tiga hal. Pertama, strategi/rencana yang terlalu “canggih”; kedua, tujuan/goal yang tidak menarik bagi tim; ketiga, komitmen dan kontribusi yang rendah dari tim kerja.
Strategi/Rencana yang Terlalu “Canggih”
Hal ini merupakan salah satu alasan utama terjadinya kegagalan implementasi dikarenakan selama ini banyak pemimpin organisasi terjebak dengan stigma bahwa tugas utama mereka hanyalah membuat rencana dan strategi, sedangkan soal implementasi diserahkan kepada orang-orang di bawahnya.
Dengan stigma yang masih melekat seperti di atas, umumnya para pemimpin tadi berlomba-lomba untuk melahirkan strategi ataupun rencana yang “canggih” di mata rekan sejawat ataupun atasannya lagi. Mereka berkeyakinan bahwa semakin “tinggi” strategi yang mampu mereka lahirkan, semakin “tinggi” pula kompetensinya. Tanpa dia sadari, rencana tingginya tadi justru mempersulit orang-orang yang akan mengimplementasikan rencana tersebut, termasuk dia sendiri pada akhirnya. Karena, semakin canggih sebuah rencana akan semakin sulit untuk diimplementasikan.
Inilah asal muasal gagalnya implementasi. Sering kali para pemimpin menetapkan sesuatu yang tidak relevan dengan kondisi sebenarnya, sementara orang lainlah yang diminta untuk melaksanakan hasil rancangan tersebut. Oleh karena itu, guna menyikapi kegagalan implementasi di tahap ini adalah mengembalikan peran dan fungsi pemimpin bukan hanya sebagai pembuat strategi dan rencana, melainkan sebagai pembawa hasil bagi tim maupun organisasi. Artinya, mereka pun harus terlibat penuh dalam tahap implementasi, sehingga kelak mereka akan berpikir lebih jernih dalam melahirkan strategi dan rencana canggihnya lagi.
Tujuan/Goal yang Tidak Menarik bagi Tim
Tujuan dan goal tidak menarik bisa mengandung dua arti di sini. Pertama, tujuan yang tidak jelas; dan kedua, tujuan yang bukan “milik” mereka (baca:tim). Tujuan yang tidak jelas biasanya mengandung makna-makna klise dan tidak memiliki ukuran-ukuran keberhasilan yang jelas. Contohnya “menjadi perusahaan terbaik di bidangnya” atau “menjadi perusahaan terdepan” dan sejenisnya. Pada dasarnya boleh-boleh saja sebuah organisasi menjadi yang terbaik maupun terdepan, tetapi perlu diberikan ukuran-ukuran jelas dengan satuan-satuan angka jika memungkinkan.
Tujuan yang bukan milik tim biasanya berpengaruh pada kesungguhan hati anggota tim untuk secara serius memperjuangkannya. Apalagi jika “leadership” dari pemimpin kelompok ini belum cukup matang, yang secara pribadi merebut semua prestasi yang berhasil dicapai padahal merupakan jerih payah seluruh anggota tim. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan ini setiap pemimpin harus meningkatkan keterlibatan timnya, terutama dalam proses perumusan tujuan dan sasaran bersama.
Komitmen dan Kontribusi yang Rendah dari Tim Kerja
Inilah penyebab terakhir gagalnya implementasi di sebuah organisasi. Rendahnya komitmen dan kontribusi tim kerja biasanya bersumber dari tiga hal. Pertama, kepemimpinan yang tidak efektif; kedua, budaya negatif yang akut di dalam organisasi; ketiga, sistem kompensasi yang belum berjalan dengan baik.
Kepemimpinan di era knowledge worker ini sudah bergeser dari era “strong leadership” ke era “QI leadership”. Profesional yang bekerja saat ini membutuhkan suasana kerja yang sangat berbeda dengan suasana kerja di era industri yang kala itu sangat efektif hanya dengan pendekatan “carrot and stick” atau yang umum diterjemahkan sebagai “reward and punishment”. Model kepemimpinan seperti ini tidak lagi efektif. Hal tersebut terlihat dari arus perubahan dewasa ini yang tengah menjalar ke semua sendi kehidupan, termasuk dunia politik yang lebih memilih pemimpin yang humanis. Contohnya masyarakat Timur Tengah yang dalam beberapa bulan terakhir terus bergejolak karena rakyat menghendaki perubahan kepemimpinan nasional yang selama ini cenderung represif dan “keras”.
Era QI (quality implementation) leadership digambarkan dengan pemimpin yang berkarakter, pemimpin yang berkompeten, pemimpin yang memiliki kepedulian tinggi dengan anggota timnya, dan pemimpin yang menjalin komunikasi dua arah.
Selamat mencoba, karena hasil akhir berkualitas dimulai dari implementasi berkualitas (quality implementation). (Kevin Wu)