Marketing.co.id – Berita Marketing | Di era digital yang sarat dengan ekspektasi pelanggan akan pengalaman yang relevan dan instan, personalisasi tak lagi bisa dipandang sebagai fitur tambahan. Personalisasi kini menjadi inti dari strategi pertumbuhan bisnis.
Namun, perusahaan perlu membangun pendekatan yang berkelanjutan yang didorong oleh teknologi, berakar pada data, dan dijalankan dengan kepercayaan, agar personalisasi tidak terjebak menjadi gimmick sesaat.
Baca Juga: AI dalam Customer Experience: Strategi atau FOMO?
Dalam sebuah acara di Jakarta belum lama ini, Associate Professor di PPM School of Management Noveri Maulana merekomendasikan 5 strategi yang dapat menjadi kompas bagi perusahaan dalam mengembangkan personalisasi. Tidak hanya efektif, tapi juga beretika dan tahan lama.
Personalisasi sebagai Strategi Utama, Bukan Sekadar Taktik
Masih banyak brand yang memosisikan personalisasi sebagai bagian dari kampanye pemasaran jangka pendek. Padahal, pendekatan ini seharusnya menembus seluruh titik interaksi pelanggan, mulai dari pra-pembelian, pembelian, hingga purnajual. Perusahaan perlu menyusun personalisasi sebagai strategi lintas fungsi, melibatkan pemasaran, teknologi, dan operasional. Hanya dengan cara ini personalisasi bisa menciptakan nilai pelanggan yang konsisten dan terukur.
AI untuk Relevansi, Bukan Hanya Efisiensi
Penggunaan AI dalam customer experience memang mampu memangkas waktu respons dan biaya operasional. Tapi pendekatan yang hanya mengejar efisiensi sering kali melupakan satu hal krusial yaitu relevansi. AI yang efektif justru harus memperdalam pemahaman atas konteks dan kebutuhan pelanggan secara real-time. Algoritma bukan hanya dipakai untuk mengotomatisasi, tapi juga menghadirkan interaksi yang bermakna dan membangun koneksi emosional.
CDP sebagai Pondasi Utama Data Pelanggan
Tanpa data yang menyatu, personalisasi hanyalah angan-angan. Customer Data Platform (CDP) kini menjadi fondasi penting dalam strategi CX modern. CDP mengintegrasikan data dari berbagai kanal, mulai baik offline seperti call center maupun online seperti aplikasi dan media sosial, untuk membentuk single customer view. Dengan pandangan holistik ini, brand dapat menyampaikan penawaran yang relevan secara personal dan tepat waktu.
Saluran Komunikasi yang Disesuaikan
Satu pesan untuk semua tidak lagi relevan. Di tengah lanskap digital yang kian beragam, pelanggan menuntut komunikasi yang sesuai dengan preferensi mereka. Misalnya, generasi milenial mungkin lebih nyaman dengan email dan WhatsApp. Sementara, Gen Z lebih responsif di Instagram atau TikTok. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengembangkan strategi kanal berbasis segmentasi perilaku dan demografis. Menyapa pelanggan di kanal favorit mereka adalah bentuk penghormatan atas waktu dan perhatian mereka.
Transparansi Data sebagai Mata Uang Kepercayaan
Tak ada personalisasi tanpa data, dan tak ada data tanpa kepercayaan. Itulah sebabnya prinsip data dignity menjadi fondasi etika baru dalam pemasaran digital. Pelanggan berhak tahu data apa yang dikumpulkan, untuk tujuan apa, dan bagaimana mereka bisa mengatur aksesnya. Transparansi dan kontrol menjadi alat tukar utama dalam membangun loyalitas yang tulus. Ketika pelanggan merasa dihargai, mereka lebih rela berbagi informasi untuk pengalaman yang lebih baik.
Baca Juga: Merespon Krisis dengan Cepat dan Cerdas dengan Teknologi AI
Di balik setiap klik dan preferensi pelanggan, terdapat harapan akan pengalaman yang lebih manusiawi. Maka, personalisasi berkelanjutan harus berpijak pada keseimbangan antara teknologi dan empati, data dan transparansi, efisiensi dan relevansi. Brand yang mampu mengelola keseimbangan ini tak hanya akan memenangkan perhatian, tapi juga kepercayaan pelanggan.