Di tengah ketidakpastian, perusahaan yang cerdas tak hanya bereaksi namun juga merespons dengan cepat dan cermat lewat teknologi.
Marketing.co.id – Berita Digital | Apa yang membedakan perusahaan yang berhasil melewati krisis dengan yang gagal? Jawabannya bukan sekadar kecepatan, tetapi kecerdasan dalam merespons. Dalam diskusi panel terbaru yang membahas peran AI dan otomasi dalam menjaga keunggulan kompetitif, Regional VP Twilio untuk Asia Selatan dan APAC Irfan Ismail, dan Associate Professor di PPM School of Management Noveri Maulana menunjukkan bagaimana teknologi dapat menjadi senjata utama untuk menghadapi krisis dengan kecepatan, presisi, dan data yang tepat.
Salah satu studi kasus yang mengemuka datang dari perusahaan minyak dan gas global yang berkantor pusat di Singapura. Dalam operasional hariannya, jika terjadi lonjakan konsumsi daya di pabrik, alur respons berjalan manual dimana teknisi melapor ke supervisor, lalu menghubungi asisten pribadi, kemudian baru sampai ke tingkat manajemen via email atau WhatsApp.
Masalahnya di sini adalah keterlambatan. Jika satu mata rantai telat merespon, risiko krisis bisa membesar. Dengan integrasi IoT dan AI, data kini bisa langsung dipantau, dan dianalisis. Jika terjadi anomali, sistem akan secara otomatis mengirim alert ke semua level yang relevan secara real-time.
“Waktu respons jadi jauh lebih cepat. Krisis yang dulu ditangani dalam hitungan jam, kini bisa ditangani dalam hitungan menit,” ujar Irfan.
Kisah serupa terjadi di Indonesia. Sebuah pabrik besar dengan sistem shift dan operasional 24 jam yang dulunya mengandalkan struktur pelaporan berlapis. Kini, semua data operasionalnya langsung terhubung ke sistem otomatis. Ketika terjadi insiden, notifikasi otomatis masuk ke WhatsApp manager hingga direktur, bahkan jika kejadian terjadi dini hari. “Tak ada lagi ruang untuk menutupi masalah. Transparansi dan kecepatan menjadi kunci,” kata Noveri.
Meski teknologi telah tersedia, tidak semua perusahaan siap untuk berubah. Beberapa masih beralasan pada keterbatasan anggaran dan sumber daya. “Kami selalu tanya balik ke mereka apa opportunity cost-nya jika tidak berinvestasi sekarang? Sementara kompetitor Anda sudah memulainya dan meraih ROI positif,” ungkap Irfan.
Hal serupa juga terjadi pada sisi konsumen. AI dan personalisasi membutuhkan data, tetapi kepercayaan konsumen adalah prasyarat utama. “Banyak konsumen enggan berbagi data, kecuali mereka percaya pada brand,” tambah Noveri.
Krisis adalah awal untuk inovasi
Dari industri energi hingga sistem monitoring pabrik, satu benang merah mengemuka bahwa teknologi dapat dan harus dioptimalkan untuk menghadapi krisis. Tapi, hanya akan efektif jika ada data yang memadai, diterapkan secara otomatis dan real-time, dan disertai kepercayaan dan kemauan organisasi untuk berubah.
Krisis tidak bisa dihindari. Tapi cara kita merespons krisis menentukan apakah kita akan selamat atau tertinggal. Kini saatnya bagi brand untuk melampaui pendekatan yang reaktif, dan beralih ke respons strategis berbasis AI, data, dan otomasi. Dalam dunia yang bergerak cepat seperti sekarang ini, yang lambat bukan hanya akan tertinggal tapi bisa lenyap.