Masa depan daya saing tidak lagi soal tenaga kerja murah, tapi tentang organisasi yang menempatkan manusia sebagai poros nilai.
Marketing.co.id – Berita Marketing | Di tengah hiruk-pikuk transformasi digital, otomasi, dan tekanan ekonomi global, narasi baru datang dari panggung IFTDO 2025 di Jakarta. Bukan dari CEO atau futuris teknologi, tapi dari Menteri Ketenagakerjaan RI Yassierli yang dengan lantang menyatakan “Saya tidak ingin hanya disebut Menteri Tenaga Kerja. Saya ingin menjadi Menteri Pengembangan Manusia.”
Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Di baliknya tersembunyi kerangka pikir strategis yang layak disimak setiap pemimpin bisnis, CMO, hingga CHRO, bagaimana mereposisi organisasi menjadi human-centered di tengah disrupsi?
Tenaga Kerja: Aset atau Manusia?
Selama ini, narasi tenaga kerja dalam dunia industri sering kali menyempit—angka, efisiensi, upah, skill. Tapi, Yassierli mengajak untuk bergeser ke cara pandang baru bahwa manusia bukan hanya bagian dari sistem produksi, tapi poros makna dan keberlanjutan. “Kita terlalu lama terpaku pada input dan output, padahal yang perlu kita rawat adalah purpose dan people,” katanya.
Hal ini sejalan dengan tren global di mana brand yang sukses tak hanya menjual produk, tapi menawarkan misi, empati, dan experience. Dan, semua itu lahir dari budaya organisasi yang sehat.
Paradoks Profesionalisme dan Hilangnya Gotong Royong
Mungkin ini kritik paling halus namun mendalam yang disampaikan Yassierli bahwa dalam mengejar efisiensi dan struktur modern, organisasi sering kali kehilangan nilai-nilai dasar seperti empati, kerja sama, dan gotong royong. Nilai-nilai yang justru menjadi fondasi engagement dan inovasi. Bagi brand, ini adalah wake-up call. Budaya kerja internal merek adalah bagian dari brand equity. Jika hanya mengejar target tanpa narasi sosial yang kuat, maka loyalitas akan rapuh.
Apa Relevansinya untuk Dunia Marketing dan Bisnis?
Employer Branding = Brand Equity. Perusahaan yang menerapkan prinsip human-centered tidak hanya akan memenangkan talenta terbaik, tapi juga membangun persepsi publik yang kuat. Employer brand kini menjadi wajah utama brand.
Transformasi SDM = Transformasi CX. Pengalaman pelanggan (customer experience) sangat dipengaruhi oleh pengalaman karyawan (employee experience). Jika manusia di dalam organisasi merasa tumbuh dan dihargai, itu akan tercermin ke luar.
Kolaborasi Lintas Fungsi dan Sektor. Yassierli mendorong ekosistem antara kementerian, industri, dan masyarakat. Dalam dunia marketing, ini relevan dengan sinergi brand-agency, private-public partnership, dan social impact marketing.
People-Centered Organization Bukan Pilihan, Tapi Keunggulan Kompetitif
Menurut Yassierli, Pemerintah Indonesia sendiri kini mengembangkan Labor Market Intelligence berbasis AI untuk menghubungkan supply-demand talenta secara presisi. Namun, Yassierli menekankan bahwa teknologi hanyalah alat. Ujungnya tetap manusia.
“Kita perlu brand, korporasi, dan negara duduk bersama untuk menyelaraskan strategi bisnis dengan prioritas pembangunan manusia. Bukan hanya agar bertahan, tapi agar tumbuh secara berkelanjutan,” pungkasnya.
Yassierli tidak sedang bicara politik atau program kerja kementerian. Ia sedang menyusun ulang naskah tentang bagaimana bisnis dan organisasi seharusnya hidup. Jika brand ingin tetap relevan, maka kini saatnya membangun human centered narrative dari dalam ke luar.