
Literasi AI bukan hanya soal memahami teknologi, tapi juga soal melindungi demokrasi, menjaga kepercayaan publik, dan mendorong keadilan digital.
Marketing.co.id – Berita Digital | Di tengah gelombang besar penggunaan kecerdasan buatan generatif (GenAI), masyarakat Indonesia menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap dampak negatif teknologi ini. Ironisnya, banyak yang masih belum mampu membedakan konten asli dari konten buatan AI.
Sebuah survei dari Luminate dan Ipsos mengungkapkan bahwa 75% responden percaya konten AI bisa memengaruhi opini politik publik. Lebih dari 70% juga merasa konten semacam itu dapat memengaruhi keluarga dan teman mereka, bahkan diri mereka sendiri.
Namun, yang menarik adalah meski sebagian merasa pandangan politiknya tidak akan terpengaruh, banyak dari mereka juga mengaku tidak yakin bisa membedakan mana konten yang asli dan mana yang dibuat AI. Ini menjadi tanda bahwa kita berpotensi besar terjebak dalam disinformasi, bahkan tanpa sadar.
Pria Lebih Percaya Diri, Wanita Lebih Hati-hati
Hasil survei juga menunjukkan perbedaan persepsi antara pria dan wanita dalam menilai kemampuan mereka sendiri. Sebanyak 30% pria merasa sangat yakin bisa membedakan konten AI, dibanding hanya 17% wanita. Padahal, secara umum keyakinannya hampir sama.
Perbedaan ini bisa jadi karena faktor psikologis. Wanita cenderung lebih merendah, atau sebaliknya, pria terlalu percaya diri. Tapi, keduanya menunjukkan bahwa pemahaman soal AI masih sangat beragam, bahkan di antara pengguna aktif internet.
Tantangan di Negara Digital Seperti Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara paling aktif secara digital. Hampir semua responden menggunakan WhatsApp setiap hari, dan Instagram, Facebook, serta TikTok juga digunakan secara masif. Dengan paparan sebesar ini, literasi AI yang rendah jelas menimbulkan risiko besar penyebaran hoaks dan disinformasi, apalagi jelang pemilu.
“Kalau kita ingin membangun masyarakat yang tahan terhadap disinformasi, kita perlu edukasi yang luas dan merata. Bukan cuma untuk kaum muda, tapi untuk semua lapisan masyarakat,” jelas Dinita Putri dari Luminate.
Kerangka Kerja Literasi AI Indonesia
Organisasi ICT Watch meluncurkan Kerangka Kerja Literasi AI Indonesia untuk mengatasi tantangan ini. Direktur Program ICT Watch Prasasti Dewi menyebutkan bahwa kerangka ini menekankan pada hak asasi manusia, kesetaraan gender, inklusi sosial, serta kesejahteraan masyarakat. “Penggunaan AI yang bertanggung jawab harus mampu memberdayakan kelompok rentan dan memperkuat partisipasi warga dalam demokrasi digital,” tambah Prasasti.
Ternyata, kegelisahan soal AI bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara maju seperti Prancis, Jerman, dan Inggris pun menunjukkan tren serupa. Lebih dari 70% warga yang paham teknologi deepfake menyatakan kekhawatiran terhadap dampaknya terhadap pemilu. Di Amerika Latin, dukungan terhadap regulasi AI mencapai 65% di kalangan masyarakat yang memahami teknologi ini.
Semua ini menunjukkan satu hal bahwa semakin paham seseorang tentang AI, semakin sadar pula terhadap risikonya. Riset ini menjadi pengingat penting bahwa literasi digital saja tidak cukup, kita butuh literasi AI yang menyeluruh. Dibutuhkan kerja sama dari pemerintah, platform digital, komunitas, pendidik, dan masyarakat sipil untuk memastikan masyarakat Indonesia menjadi pengguna AI yang cerdas dan kritis.