Tren Wisata 2025: Orang-Orang Gak Lagi ke Mal, Tapi ke Alam!

0
Ilustrasi wisatawan
Ilustrasi wisatawan
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Ilustrasi wisatawan

Tahun 2025 bukan hanya tentang liburan, tapi tentang kembali ke alam, menyatu dengan tanah, air, dan membawa pulang bukan hanya oleh-oleh, tapi juga pengalaman yang mengubah cara pandang.

Marketing.co.id – Berita Pariwisata | Memasuki 2025, lanskap pariwisata Indonesia menunjukkan perubahan signifikan. Data dan tren menunjukkan bahwa wisata alam bukan lagi sekadar alternatif, melainkan telah menjadi arus utama. Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam, tetapi melalui proses panjang yang dipercepat pandemi COVID-19.

Selama bertahun-tahun, pusat perbelanjaan, taman hiburan urban, dan destinasi berbasis konsumsi mendominasi pilihan wisata masyarakat. Namun, pandemi menjadi titik balik. Ketika ruang tertutup menjadi sumber kekhawatiran, masyarakat mulai mencari ruang terbuka yang menenangkan—alam.

Dulu, healing sama dengan belanja. Sekarang, healing sama dengan naik bukit atau gunung sambil menghirup udara segar. Gaya hidup back to nature lagi naik daun. Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Secara global, ada pergeseran menuju ekowisata dan pengalaman berbasis alam, seiring meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, keberlanjutan, dan koneksi manusia dengan lingkungan.

Indonesia, Raksasa Wisata Alam yang Belum Terbangun Sepenuhnya

Indonesia dengan kekayaan alam dan budayanya jelas memiliki modal besar. Gunung, laut, hutan dan lembah tersedia dalam satu negara. Ini tentu saja bukan soal pemandangan, tapi tentang pengalaman. Namun, kekuatan besar ini belum sepenuhnya dimaksimalkan dalam ekosistem pariwisata nasional.

Storynomic tourism atau pariwisata berbasis cerita mulai berkembang. Wisata bukan lagi hanya soal foto pemandangan, tapi bagaimana tempat itu bisa menciptakan ikatan emosional antara wisatawan dan tempat yang dikunjungi – membangkitkan emosi, imajinasi, dan koneksi.

Berwisata ke alam bukan hanya menyenangkan, tapi juga menyehatkan. Banyak orang mulai sadar, berada di tengah alam bisa membantu mengurangi stres, menyegarkan pikiran, bahkan memperbaiki konsentrasi. Setelah hari-hari melelahkan di kantor atau kampus, beristirahat di alam terbuka jadi pilihan terbaik.

Studi Kasus Transformasi Strategis; Taman Safari Indonesia

Indonesia jelas punya segalanya, memiliki lebih dari 17.504 pulau, garis khatulistiwa, gunung berapi aktif, dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Ini bukan hanya potensi, tapi peluang nyata untuk menjadikan alam sebagai kekuatan utama pariwisata.

Taman Safari Indonesia adalah salah satu pelaku industri yang siap menyambut tren ini. “Kami melihat perubahan besar dalam perilaku masyarakat sejak pandemi. Dulu orang suka ke mal, sekarang lebih memilih hiking, mendaki, atau sekadar menikmati udara segar,” ujar Direktur Taman Safari Indonesia Aswin Sumampau di kanal YouTube CNBC Indonesia dikutip Marketing.co.id pada Jumat (2/5).

Taman Safari Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana pelaku industri mulai membaca arah angin. Dengan tujuh unit aktif dan dua lagi dalam tahap pengembangan, mereka tidak hanya memperluas skala usaha, namun juga meredefinisi makna rekreasi. Langkah mereka pun tak lagi terpaku pada hewan eksotik. Unit terbaru mereka akan menghadirkan alam sebagai panggung utama: tanpa hewan, tapi dengan petualangan. Hiking, eksplorasi lembah, dan kegiatan luar ruang lainnya akan menjadi inti.

“Pasca pandemi, kami melihat pergeseran perilaku. Orang tidak hanya ingin melihat hewan, mereka ingin merasakan alam. Mereka ingin petualangan, interaksi, dan koneksi,” ujar Aswin.

Meski begitu, Taman Safari tetap berpegang pada tiga pilar yang menjadi keunggulannya: hiburan, konservasi, dan edukasi. Tanpa interaksi yang bermakna, kata Aswin, rasa cinta terhadap alam sulit tumbuh. Dan tanpa cinta, edukasi serta konservasi hanya menjadi slogan kosong.

Tren Wisata Alam 2025 ini adalah peluang strategis. Bukan hanya untuk pelaku usaha, tetapi juga bagi pemerintah daerah, pegiat lingkungan, dan pengembang destinasi. Setidaknya, ada tiga hal penting yang harus dicermati, yaitu:

  1. Wisata berbasis pengalaman akan menang. Semakin autentik, semakin besar daya tariknya.
  2. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Pariwisata tidak bisa berdiri sendiri; perlu keterlibatan budaya, pendidikan, hingga teknologi.
  3. Keberlanjutan harus jadi fondasi. Kita tidak sedang menjual alam, kita sedang merawatnya sambil berbagi keindahannya.

Jika dikelola dengan tepat, wisata alam bukan hanya bisa meningkatkan devisa, tapi juga membangun hubungan emosional warga dengan tanah airnya. Inilah waktunya bagi Indonesia untuk tidak sekadar jadi destinasi, tetapi menjadi narasi besar dunia tentang harmoni manusia dan alam.