Survei Manulife: Masyarakat Hadapi Tekanan Finansial Akibat Meningkatnya Biaya Perawatan Kesehatan

[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Marketing.co.id — Berita Financial | Masyarakat Indonesia semakin merasa tertekan oleh meningkatnya biaya perawatan kesehatan dan biaya hidup, menurut survei terbaru dari Manulife Asia Care Survey 2024. Survei ini menunjukkan bahwa tekanan finansial yang meningkat mendorong individu untuk mengevaluasi kembali kesiapan mereka dalam menghadapi masa pensiun serta kebutuhan medis yang tidak terduga.

Survei yang melibatkan 1.054 responden di Indonesia ini mengungkapkan, hasil dari MyFuture Readiness Index (Indeks Kesiapan Masa Depan) Manulife, yang mengukur persepsi masyarakat terhadap kesejahteraan fisik, mental, dan finansial mereka saat ini dan di masa depan. Dengan skala 1 sampai 100, indeks ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menginginkan skor kesejahteraan sebesar 89, melebihi rata-rata negara-negara lain di Asia.

Namun, skor untuk mereka yang merasa dapat mencapai kesejahteraan yang diinginkan adalah 81, mencerminkan kurangnya kepercayaan diri mengenai masa depan mereka, meskipun skor ini masih berada di tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia.

Kekhawatiran utama responden adalah prospek kesehatan yang memburuk di usia tua dan biaya perawatan medis yang meningkat. Sekitar 67% dari responden menyatakan bahwa kenaikan biaya perawatan kesehatan adalah tantangan terbesar bagi kesejahteraan finansial mereka. Mereka juga menilai kesehatan fisik sebagai faktor terpenting yang mempengaruhi kesejahteraan finansial (33%) dan mental (31%) mereka dalam 10 tahun ke depan.

Untuk mempersiapkan masa pensiun dan kebutuhan medis yang tidak terduga, para responden mengatakan bahwa tujuan finansial utama mereka adalah memiliki tabungan yang cukup untuk hari tua (46%), kebebasan finansial di masa pensiun (43%), pendapatan pasif di masa pensiun (38%), dan tabungan yang cukup untuk kebutuhan perawatan kesehatan (28%). Mengingat usia harapan hidup di Indonesia yang semakin panjang—sekarang mencapai 73 tahun dibandingkan 64 tahun pada 1990—perencanaan jangka panjang menjadi semakin krusial.

Dalam hal kesejahteraan finansial saat ini, Indonesia memperoleh skor 73 dari skala 100, lebih tinggi dari rata-rata negara-negara lain di Asia (67). Pasangan yang sudah menikah (75%) melaporkan tingkat kesejahteraan finansial yang lebih baik dibandingkan mereka yang masih lajang (64%), dan di antara pasangan tersebut, mereka yang sudah memiliki anak merasa lebih sejahtera.

Ryan Charland, Presiden Direktur Manulife Indonesia mengatakan, “Masyarakat di negara-negara Asia semakin menua dan kebutuhan perawatan kesehatan meningkat. Dengan kenaikan biaya medis yang mungkin melebihi inflasi, kekhawatiran ini sangat beralasan. Menemukan solusi untuk mengurangi dampak inflasi adalah salah satu fokus kami. Seorang profesional keuangan dapat membantu menemukan produk yang tepat untuk memberikan perlindungan kesehatan dan melindungi aset.”

Untuk mencapai tujuan keuangan mereka, 45% dari total responden Indonesia mengatakan, bahwa mereka akan menggunakan tabungan dan deposito bank, sementara 27% mencari pekerjaan tambahan dan 24% berinvestasi dalam saham, obligasi, dan instrumen keuangan lainnya. Responden yang masih lajang menunjukkan kekhawatiran lebih besar terhadap kurangnya pendapatan (57%) dan tabungan (52%) dibandingkan pasangan yang sudah menikah (52% dan 48% masing-masing). Hal ini menunjukkan tingkat literasi keuangan yang lebih rendah di antara mereka yang masih lajang, dengan hanya 42% lajang yang memiliki perencana keuangan dibandingkan dengan 63% dari pasangan yang sudah menikah.

Secara keseluruhan, empat dari lima responden di Indonesia memiliki asuransi (80%), dan 40% di antaranya mengaku memiliki asuransi kesehatan. Namun, responden yang masih lajang memiliki lebih sedikit produk tabungan dan asuransi dibandingkan mereka yang sudah menikah. Survei juga menunjukkan bahwa 92% responden memiliki produk perbankan, terutama tabungan dalam mata uang lokal (85%), sementara 78% memiliki investasi, termasuk saham (28%), emas (57%), reksadana (31%), dan obligasi (11%).

“Walaupun masyarakat Indonesia memiliki investasi yang lebih beragam dibandingkan negara lain di Asia, mereka masih sangat bergantung pada tabungan. Ini berisiko tinggi karena uang mengalami depresiasi seiring waktu. Tanggung jawab kami adalah membantu masyarakat memahami asuransi dan investasi lainnya agar bisa melindungi dan mengembangkan tabungan mereka untuk masa depan,” kata Ryan.

Survei juga mengungkapkan, bahwa persepsi responden terhadap inflasi biaya perawatan kesehatan selama 12 bulan terakhir adalah sebesar 26%, di atas rata-rata negara-negara Asia (23%) dan dua kali lipat dari angka yang sebenarnya. Responden sangat khawatir dengan kenaikan harga pada resep obat (61%), perawatan kesehatan pencegahan (42%), dan rawat inap (41%). Penyakit yang paling dikhawatirkan adalah penyakit jantung (40%), stroke (35%), obesitas (24%), serta kanker dan diabetes (masing-masing 22%).

Sebagian besar responden di Asia, termasuk Indonesia, merasa tunjangan dan cakupan kesehatan dari perusahaan mereka tidak memadai. Sekitar 74% responden Indonesia merasa perlu menambah tunjangan pensiun dan hari tua dari perusahaan—angka tertinggi di kawasan Asia. Selain itu, 60% dari mereka yang sudah menikah ingin menunda masa pensiun karena tanggung jawab finansial terhadap keluarga.

Di Indonesia, 44% responden mengatakan mereka tidak mengharapkan anak-anak mereka untuk menafkahi mereka di masa pensiun, meski angka ini masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya kecuali Jepang (70%) dan Filipina (58%). Di seluruh Asia, separuh responden menyatakan bahwa mereka tidak berencana memiliki anak, dengan rata-rata di Indonesia mencapai dua anak per keluarga.

“Survei ini menunjukkan kebutuhan masyarakat Indonesia untuk merencanakan perlindungan kesehatan dengan lebih baik, dan peran perusahaan asuransi sangat penting dalam membantu mereka. Dengan mengubah persepsi mengenai biaya kesehatan dan berfokus pada kebutuhan individu, setiap orang dapat menemukan cara untuk mengatasi kendala dalam perencanaan keuangan mereka secara lebih efektif,” tutup Ryan Charland.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here