Laporan Fortinet menemukan adanya korelasi yang semakin kuat antara pelanggaran keamanan siber dengan kurangnya tenaga ahli di Indonesia
Marketing.co.id – Berita Digital | Sebanyak 92% organisasi di Indonesia mengalami pelanggaran tahun lalu. Sebagian besar disebabkan oleh kurangnya keterampilan di bidang keamanan siber dan sebanyak 80% mengaitkan peningkatan risiko siber dengan kesenjangan keterampilan.
Laporan berjudul Global Cybersecurity Gap Report tersebut menekankan agar organisasi dapat memastikan mereka terlindungi dari ancaman kompleks saat ini, mereka harus memiliki gabungan teknologi keamanan yang tepat. Ini merupakan peluang bagi para tenaga ahli keamanan saat ini untuk meningkatkan keterampilan melalui pelatihan dan sertifikasi, serta tenaga kerja yang sadar siber secara keseluruhan.
Menurut Country Director Fortinet Indonesia Edwin Lim, tenaga kerja keamanan siber yang terlatih dengan baik dan tersertifikasi merupakan garis pertahanan pertama dalam menghadapi lanskap ancaman yang terus meningkat. Di Indonesia, 92% organisasi mengalami pelanggaran karena kesenjangan keterampilan keamanan siber, Fortinet berkomitmen menjembatani kesenjangan ini.
“Program pelatihan komprehensif kami dirancang agar dapat diakses siapapun, terlepas dari latar belakang mereka. Melalui kolaborasi dengan badan pemerintahan, lembaga akademis, dan para pemimpin industri, kami bertujuan untuk menciptakan kumpulan tenaga kerja yang beragam dan tangguh yang mampu melindungi organisasi dari ancaman siber yang semakin canggih saat ini,” katanya.
Diperkirakan, 4 juta tenaga profesional dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan tenaga kerja di bidang keamanan siber yang terus meningkat. Di saat yang sama, 2024 Global Cybersecurity Skills Gap Report menemukan bahwa 80% organisasi di Indonesia kekurangan tenaga ahli di bidang keamanan siber menciptakan risiko tambahan untuk organisasi mereka.
Karena kekurangan tenaga kerja di bidang keamanan siber terus berlanjut, beberapa organisasi mendiversifikasi kelompok rekrutmennya untuk menyertakan kandidat yang kredensialnya berada di luar latar belakang tradisional, seperti gelar sarjana empat tahun di bidang keamanan siber atau bidang terkait, untuk menarik bakat baru dan mengisi posisi yang kosong. Mengubah persyaratan perekrutan ini dapat membuka kemungkinan baru, terutama jika organisasi juga bersedia membayar sertifikasi dan pelatihan.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa 92% responden mengatakan organisasi mereka telah menetapkan tujuan perekrutan yang beragam untuk beberapa tahun ke depan. Meskipun sertifikasi dinilai penting oleh banyak manajer perekrutan, beberapa organisasi masih lebih memilih kandidat dengan latar belakang tradisional. Banyak responden mengatakan mereka menghargai sertifikasi, sebanyak 96% organisasi di Indonesia masih mensyaratkan gelar empat tahun, dan sebanyak 50% hanya mempekerjakan kandidat dengan latar belakang pelatihan tradisional.
Meningkatnya frekuensi serangan siber yang merugikan, dikombinasikan dengan potensi konsekuensi pribadi yang serius bagi anggota dewan dan direktur, mengakibatkan desakan untuk memperkuat pertahanan siber di seluruh perusahaan. Akibatnya, organisasi berfokus pada three-pronged approach atau pendekatan tiga cabang terhadap keamanan siber yang menggabungkan pelatihan, kesadaran, dan teknologi.