
Dari Transition Finance hingga Nature-Based Solutions, Sektor Keuangan Memegang Peran Strategis dalam Akselerasi Ekonomi Rendah Karbon
Marketing.co.id – Berita Financial Services | Dunia sedang bergerak menuju babak baru. Suhu global meningkat, cuaca semakin ekstrem, dan garis pantai mulai menyusut, semua menjadi pengingat bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan, tetapi realitas hari ini. Pertanyaannya kini bukan apakah kita perlu bertindak, tetapi bagaimana kita membangun perekonomian yang tumbuh tanpa merusak bumi.
Di tengah kesadaran itu, pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) muncul sebagai motor utama transformasi menuju ekonomi hijau dan biru. Tidak hanya soal menyalurkan dana ke proyek ramah lingkungan, melainkan mendukung sektor yang sedang bertransisi menuju praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan.
Helge Muenkel, Chief Sustainability Officer, DBS Bank mengatakan bahwa krisis iklim tidak akan terselesaikan tanpa mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak finansialnya sudah nyata, mulai dari rantai pasok terganggu hingga hasil panen menurun. Karena itu, pembiayaan berkelanjutan bukan lagi tren, tetapi kebutuhan mendesak untuk menjaga ketahanan bisnis dan stabilitas ekonomi jangka Panjang.
5 Tren Utama yang Kini Membentuk Arah Pembiayaan Berkelanjutan Global
Menurut Helge, terdapat lima tren utama yang kini membentuk arah pembiayaan berkelanjutan global.
1. Transition Finance
Meskipun belum sepenuhnya “hijau”, transition finance menjadi konsep penting dalam membantu perusahaan bertransformasi secara bertahap menuju emisi rendah. Pendekatan ini mendukung investasi dalam teknologi efisien, energi bersih, dan pengurangan emisi di sektor-sektor dengan intensitas karbon tinggi (hard-to-abate sectors).
Model ini sangat relevan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dengan ketergantungan tinggi pada energi fosil dan tuntutan pertumbuhan sosial-ekonomi, transition finance menjadi jembatan antara kebutuhan pembangunan dan komitmen dekarbonisasi, membuka ruang bagi inovasi dan inklusi keuangan.
2. Inovasi Keuangan untuk Transformasi Iklim
Dunia tidak hanya butuh teknologi baru untuk menuju target net zero, tetapi juga model pembiayaan baru. Salah satu inovasi penting adalah carbon credit yang memberikan nilai ekonomi pada upaya pengurangan emisi.
Melihat potensi besar pasar karbon, DBS Bank bersama Temasek, Singapore Exchange, dan Standard Chartered mendirikan Climate Impact X (CIX) — bursa karbon global yang memfasilitasi perdagangan kredit karbon berkualitas tinggi dengan standar transparansi dan verifikasi ketat.
Tak berhenti di situ, kini juga muncul transition credit, yaitu skema penghargaan bagi perusahaan yang sedang dalam proses dekarbonisasi. Meski masih dalam proses, Helge menyebutnya sebagai bentuk “pembiayaan realistis” karena mendukung langkah nyata menuju keberlanjutan.
3. Keberlanjutan Adalah Bisnis yang Baik
Pandangan bahwa keberlanjutan hanya soal tanggung jawab sosial kini berubah. ESG (Environmental, Social, Governance) terbukti menjadi pendorong profitabilitas jangka panjang. Studi Corporate Governance Institute menunjukkan bahwa perusahaan dengan strategi ESG kuat memiliki risiko operasional lebih rendah, loyalitas pelanggan lebih tinggi, dan daya tarik investasi lebih besar.
“Tidak selalu ada kompromi antara imbal hasil dan keberlanjutan. Justru, memasukkan aspek keberlanjutan ke inti bisnis membuat perusahaan lebih tangguh menghadapi ketidakpastian global,” tambah Helge.
4. Melindungi Alam, Melindungi Ekonomi
Menurut laporan PwC Global, lebih dari 55% PDB dunia bergantung pada alam. Namun, hanya sedikit perusahaan yang menyadari keterkaitan ini. Di sinilah Nature-Based Solutions (NBS) menjadi kunci dengan proyek seperti restorasi mangrove, rehabilitasi lahan gambut, dan konservasi hutan.
Indonesia memiliki potensi besar dalam NBS—menjadi rumah bagi 20% hutan mangrove dunia dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Proyek seperti ini terbukti menghasilkan manfaat ganda, mulai dari penyerapan karbon hingga perlindungan pesisir dari bencana alam yang bisa menyebabkan kerugian ekonomi miliaran dolar.
5. Kolaborasi Lintas Sektor Kunci Transisi Hijau
Transformasi menuju ekonomi hijau dan biru tidak bisa dilakukan sendirian. Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, lembaga keuangan, industri, dan masyarakat sipil menjadi faktor penentu keberhasilan.
Salah satu contohnya adalah proyek blended finance Bank DBS bersama Karian Water Services, ADB, dan IFC untuk menyediakan air bersih bagi dua juta warga di wilayah Jabodetabek. Inisiatif ini menandai penerapan pertama blended finance di sektor air Indonesia dan membuka jalan bagi proyek serupa di energi dan infrastruktur berkelanjutan.
“Kami tidak bisa mencapai perubahan ini sendirian. Visi kami adalah menjadi Best Bank for a Better World, dengan mendorong inovasi keuangan berbasis dampak dan kolaborasi lintas sektor,” ungkap Helge.
Menuju Ekonomi Hijau dan Biru
Dengan tantangan iklim yang semakin nyata, sektor keuangan kini berada di garis depan perubahan. Melalui panduan “Our Path to Net Zero”, DBS Group menargetkan dekarbonisasi di sembilan sektor utama, termasuk energi, pangan, otomotif, dan pelayaran.
Untuk memperkuat langkah di Indonesia, Bank DBS Indonesia juga membentuk Indonesia Sustainability Council (ISC) yang berperan mengarahkan strategi ESG nasional. Salah satu kontribusi nyatanya adalah menjadi koordinator ESG dalam penerbitan obligasi sosial BRI, yang membantu memperluas akses pembiayaan hijau di Tanah Air.
Tren sustainable financing menunjukkan bahwa masa depan ekonomi global tidak lagi diukur hanya dari pertumbuhan, tetapi juga dari dampak jangka panjang terhadap manusia dan planet. Dengan inovasi, kolaborasi, dan komitmen yang kuat, sektor keuangan berpotensi menjadi katalis utama dalam mewujudkan transisi menuju ekonomi rendah karbon yang inklusif dan tangguh.


