Di era otomasi dan disrupsi AI, organisasi yang mampu menempatkan manusia sebagai pusat nilai akan menjadi pemimpin baru dalam loyalitas, inovasi, dan keberlanjutan.
Marketing.co.id – Berita Marketing | Saat membuka konferensi global IFTDO 2025, Menteri Ketenagakerjaan RI Yassierli menyampaikan bahwa masa depan ketenagakerjaan bukan lagi soal menekan upah atau meningkatkan jam kerja, melainkan soal menciptakan ekosistem yang menjadikan manusia sebagai center of gravity, atau pusat dari desain, budaya, dan strategi organisasi.
Baca Juga: TODAK Academy Jawab Kebutuhan Talenta Digital di Indonesia
Konsep ini dikenal sebagai Human-Centered Organization. Seperti yang disampaikan Yassierli, berikut 5 pilar utama yang wajib dipahami pemimpin bisnis, HR, hingga praktisi brand dan CX.
Purpose sebagai kompas organisasi
Menurut Yassierli, organisasi bukan hanya tempat bekerja, tapi ekosistem makna. Human-centered organizations memiliki purpose yang jelas dan personal. Bukan hanya menghasilkan laba, tapi memberikan dampak. Ketika visi perusahaan selaras dengan nilai-nilai individu, loyalitas dan energi kolektif akan muncul secara organik.
Kesejahteraan karyawan adalah investasi
Dalam era burnout massal dan tekanan produktivitas, kesejahteraan tidak bisa jadi opsi. Yassierli mengatakan bahwa kesehatan mental, ruang tumbuh, fleksibilitas kerja, hingga psychological safety adalah fondasi kinerja berkelanjutan. Perusahaan yang peduli pada wellbeing tak hanya menurunkan turnover, tapi juga meningkatkan kreativitas. Studi Deloitte 2024 menunjukkan bahwa perusahaan dengan kebijakan wellbeing aktif memiliki tingkat retensi 2,3 kali lebih tinggi.
Kolaborasi sebagai budaya
Human-centered organization menumbuhkan trust culture, di mana gotong royong, keberagaman, dan kerja lintas fungsi menjadi cara kerja default, bukan sekadar jargon. Bukan hanya membangun struktur organisasi horizontal, tapi menciptakan ruang aman untuk bertanya, mendengar, dan mengambil risiko secara kolektif. Menurutnya, kolaborasi tidak tumbuh di struktur, tapi di relasi dan rasa dimiliki.
Pembelajaran berkelanjutan dan adaptif
Talenta masa kini tidak hanya mencari penghasilan, tapi juga peluang berkembang. Yassierli mengatakan bahwa organisasi human-centered membangun ekosistem pembelajaran yang agile: mentoring, reskilling, akses digital learning, hingga coaching kepemimpinan. Karyawan bukan sumber daya, mereka adalah investasi berkembang.
Kepemimpinan yang melayani (servant leadership)
Pemimpin bukan pusat kekuasaan, tapi pusat pelayanan. Dalam organisasi berbasis manusia, pemimpin hadir untuk mendukung timnya tumbuh, bukan sekadar mengatur. Ini berarti mendengar lebih banyak, memberi kepercayaan, dan memfasilitasi ruang berekspresi.
Menurut Yassierli, konsep ini sangat relevan untuk brand dan CX karena pengalaman pelanggan dimulai dari dalam. Karyawan yang merasa dilihat dan dihargai, akan menciptakan customer experience yang otentik. Brand yang ingin human, harus dimulai dari budaya yang human. “You can’t deliver a human brand with an inhuman culture,” pungkasnya.
Membangun Organisasi dengan Hati
Human-centered organization bukanlah konsep lembut yang hanya cocok untuk HR. Ini adalah strategic edge dalam memenangkan pasar, talenta, dan relevansi jangka panjang. Saat dunia makin dikendalikan AI dan efisiensi, justru yang paling “manusiawi” akan paling menonjol. Dan, masa depan bukan milik organisasi yang paling cepat, tapi yang paling bermakna bagi manusia di dalamnya.