“Jika Anda berteriak di dalam stadion yang sepi suaranya berpeluang lebih besar didengar ketimbang berteriak saat stadion sedang ramai.”
Marketing.co.id – Berita Marketing | Biasanya, dalam kondisi krisis banyak brand yang mengendurkan aktivitas marketingnya lantaran permintaan pasar yang sedang menurun. Namun di sisi lain, banyak juga brand yang berpikir sebaliknya.
Mereka percaya bahwa selalu ada peluang di balik krisis. Oleh karena itu, mereka tetap gencar beriklan setelah melihat para kompetitornya mengendurkan intensitas iklan. Jika dalam kondisi normal saja sebuah brand bisa disalip oleh kompetitornya, tidak menutup kemungkinan di saat krisis brand juga bisa terjungkal, kan?
Tentunya, peluang untuk meningkatkan awareness dan share of voice akan menjadi lebih besar jika aktivitas marketing terus dilakukan selama krisis. Ibaratnya, jika Anda berteriak di dalam stadion yang sepi, suaranya berpeluang besar untuk didengar ketimbang berteriak saat stadion sedang ramai. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dalam kondisi krisis sebuah brand dapat mempertahankan bahkan meningkatkan market share-nya.
Penggagas Top Brand Award Handi Irawan kepada Majalah Marketing mengatakan, setidaknya ada 4 strategi agar brand mampu mempertahankan dan meningkatkan market share-nya saat krisis, yakni:
Retargeting
Retargeting adalah strategi paling sederhana namun sering kali dilupakan. Saat terjadi kriris atau perubahan lanskap pasar, strategi retargeting seharusnya menjadi pilihan pertama.
Misalnya, retargeting dari B2B ke B2C atau sebaliknya. Banyak perusahaan yang tadinya fokus ke B2B kesulitan memasok produk ke peritel karena adanya kebijakan PSBB saat pandemi Covid-19, karantina wilayah atau penutupan akses.
“Kalau kita terpaku saja, pangsa pasar kita akan tergerogoti. Karena itu, bisa disiasati dengan strategi B2C dengan menjual langsung ke konsumen akhir (end users),” kata Handi.
Fokus on retention
Strategi focus on retention bisa diterapkan dengan melakukan cross selling ke pelanggan lama. Dalam kondisi pandemi atau krisis, sering kali biaya untuk mengakuisisi pelanggan baru lebih mahal. Kalaupun berhasil mendapatkan pelanggan baru, nilai pembelian mereka biasanya lebih kecil daripada pelanggan lama.
Oleh karena itu, pandemi menjadi momentum yang tepat untuk melakukan cross selling. Misalnya, perusahaan asuransi bisa menawarkan jenis asuransi lain kepada pelangan lama dan bank yang menawarkan nasabahnya untuk mencoba fitur m-banking atau internet banking. Strategi ini juga bisa dilakukan dengan menambah item penjulanan produk lain (add on selling) atau menambah customer lifetime value (CLV).
Strategi ini bisa lebih mudah dilakukan jika perusahaan sudah memiliki program membership dan manajemen database yang baik. “Kalau sudah terbiasa berkomunikasi dengan pelanggan dan menggunakan omnichannel, akan mempermudah melakukan cross selling,” ujar Handi.
Shifting product portfolio
Harus diakui strategi shifting product portfolio relatif tidak mudah dilakukan. Adapun pilihan strategi yang bisa ditempuh di masa pascapandemi yakni product extension. Misalnya menambahkan elemen atau fitur lain seperti kesehatan pada produk. Meskipun sudah bisa ditanggulangi, masyarakat diperkirakan akan tetap memerhatikan aspek kesehatan dan kebersihan karena sudah terbiasa selama pandemi.
Strategi brand extension juga bisa dilakukan dengan cara membuat produk baru menggunakan produk lama. Langkah ini diambil karena butuh waktu dan upaya yang besar untuk membangun brand baru.
Namun, cara ini hanya bisa dilakukan oleh brand yang sudah top atau terkenal. Misalnya, brand yang sama bisa digunakan di kategori baru karena demand-nya sedang tinggi.
Shifting to digital supply chain
yang tak kalah penting yaitu strategi shifting to digital supply chain, mulai dari logistic, ordering system, dan distribution. Membuat official store di eCommerce saja belum cukup. Membuat official store itu sangat mudah, yang sulit adalah mendatangkan trafik karena ada ribuan brand melakukan hal yang sama seperti Anda.
Kalau mendatangkan trafik saja sulit bagaimana mendatangkan penjualan? Jika online hanya menyumbang 1% – 2% dari total penjualan, mungkin saja penyebabnya karena telat masuk ke digital.
Anda bisa membaca artikel tentang Strategi Meningkatkan Market Share Saat dan Pascapandemi ini dengan lebih mendalam di sini